Reporter: Asnil Bambani Amri, Ragil Nugroho, Melati Amaya Dori | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Booming bisnis penerbangan di Indonesia ibarat mendulang emas di langit Nusantara. Jumlah penumpang penerbangan yang berjejal, membuat maskapai penerbangan terus ekspansi menambah layanannya juga menambah armada.
Beberapa bulan lalu, publik penerbangan dunia dikagetkan dengan aksi korporasi maskapai Lion Air yang memborong pesawat Boeing bikinan Amerika Serikat (AS). Tak lama berselang, PT Garuda Indonesia Tbk juga ikut bikin keputusan serupa, memborong pesawat bikinan Airbus.
Pembelian pesawat oleh maskapai dari Indonesia itu melibatkan pemimpin negara, termasuk Presiden Amerika Serikat, Barack Obama yang ikut menjadi saksi pembelian pesawat itu.
Tak hanya itu, Perdana Menteri Inggris, David Cameron juga mengikuti langkah Obama, menjadi saksi pembelian pesawat Airbus oleh PT Garuda Indonesia. Wajar, jika mata dunia menyoroti Indonesia yang memborong pesawat bikinan negara-negara barat tersebut.
Pembelian pesawat tersebut bukan sekadar gagah-gagahan saja. Pelaku bisnis penerbangan melirik besarnya cerug pasar transportasi udara di negara berpenduduk hampir 240 juta jiwa ini.
Tak hanya maskapai penerbangan domestik menangkap peluang itu, Air Asia maskapai asal Malaysia juga melirik potensi serupa. Tak mau ketinggalan, maskapai dari Negeri Jiran ini ikut menambah armada biar bisa mengimbangi kenaikan permintaan penerbangan di Indonesia.
Seakan tak mau ketinggalan, maskapai penerbangan Tiger Airways asal Singapura juga tak mau melewatkan kesempatan. Dengan menggandeng PT Saratoga Capital, Tiger Airways resmi membawa terbang kembali Mandala Airlines April lalu.
Tengku Burhanuddin, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional (INACA) menilai, ekspansi maskapai penerbangan ini seiring dengan kenaikan permintaan transportasi udara di Indonesia yang meningkat drastis.
"Kenaikan penumpang pesawat mencapai 15% hingga 20%, kenaikan ini sangat realistis," kata Tengku. Banyak alasan yang membuat jumlah warga Indonesia gemar naik kapal terbang ini, salah satunya adalah faktor ekonomi yang mendongkrak daya beli.
Uniknya, ekspansi bisnis penerbangan itu tak hanya milik maskapai reguler saja. Maskapai perintis seperti Susi Air juga tak mau ketinggalan menambah armada. Sama dengan penerbangan reguler, Susi Air juga menambah 16 unit armada baru dengan nilai belanja US$ 100 juta.
Penumpang terus bertambah
Jika tahun-tahun terdahulu, kuartal I terkenal sebagai masa sepi bisnis transportasi, maka tidak dengan kuartal I tahun ini. Selama Januari sampai Maret jumlah penumpang penerbangan di Indonesia tetap tumbuh positif.
Ini dibuktikan oleh PT Garuda Indonesia Tbk yang mencatat kenaikan penumpang domestik kuartal I sebesar 26% , dan kenaikan penumpang internasional 20%. Begitu pula dengan PT Metro Batavia Air, operator maskapai Batavia Air, mencatat kenaikan total penumpang domestik dan internasional sebesar 5%.
Sebagai gambaran, kenaikan jumlah penumpang maskapai penerbangan awal tahun ini sudah terlihat dari data operator bandara, PT Angkasa Pura (AP) II. Perusahaan pelat merah ini melaporkan, Januari-Februari 2012, ada kenaikan penumpang sebesar 18,41% di 12 Bandara.
Panen penumpang selama kuartal I tahun 2011 tak hanya dikuasai maskapai penerbangan domestik saja. Maskapai Air Asia juga mencatat kinerja kinclong di awal tahun. Maskapai ini membukukan kenaikan penumpang 25% menjadi 1,09 juta dibandingkan kuartal I tahun 2011.
Pertumbuhan jumlah penumpang kuartal I tahun 2012 ini melanjutkan kinerja pertumbuhan penumpang penerbangan tahun 2011. Kemhub mencatat, penumpang rute domestik tahun 2011 mencapai 60,03 juta penumpang atau naik 15,96% dibandingkan realisasi penumpang domestik tahun 2010 sebanyak 51,77 juta penumpang.
Berdasarkan data itu, Lion Air menjadi maskapai yang paling banyak membawa terbang penumpang dengan jumlah total 24,97 juta penumpang. Lion Air sukses mendulang pangsa pasar terbesar 41,59%. Inilah alasan Lion Air memborong pesawat Boeing
Melihat angka penumpang kuartal I itu, Herry Bakti S Gumay, Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Kemhub yakin, jumlah penumpang penerbangan di Indonesia tahun ini bisa tumbuh 20%.
Diprediksi, kenaikan jumlah penumpang akan terjadi pada kuartal III dan IV. Pada dua kuartal ini terdapat moment liburan sekolah, arus mudik Lebaran dan juga liburan akhir tahun. Inilah masa terpadat arus lalu lintas penerbangan di Indonesia.
Banyak pesawat yang gugur
Sebagian dari kita mungkin masih ingat, saat Uni Eropa melarang maskapai Garuda Indonesia mendarat di Eropa tahun 2007 silam. Larangan terbang yang kini sudah dicabut itu dikeluarkan otoritas Uni Eropa karena seringnya kecelakaan pesawat terjadi di Indonesia.
Sebuah lembaga yang konsentrasi dalam mengkaji kecelakaan pesawat, Flight Safety Foundation menyebutkan, ada tujuh kecelakaan yang terjadi di Indonesia tahun 2006, setahun sebelum keputusan itu dikeluarkan. Kemudian tahun 2007, jumlah kecelakaan pesawat itu turun menjadi lima kecelakaan.
Flight Safety Foundation juga mencatat, sejak tahun 1943 ada 252 kecelakaan pesawat terbang di Indonesia. Termasuk jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor Jawa Barat pada Rabu (9/5).
Sekedar mengingatkan, tahun 2011 lalu lembaga yang fokus memantau keselamatan penerbangan ini memantau ada tujuh kecelakaan pesawat di Indonesia. Maskapai yang mengalami kecelakaan tahun lalu itu adalah; Sriwijaya Air, Merpati Nusantara Airlines (dua kasus), Susi Air (dua kasus), Nusantara Buana Air, dan Sabang Merauke Raya Air Charter.
Jumlah kecelakaan pesawat tahun 2011 ini naik ketimbang kecelakaan pesawat yang terjadi tahun 2010 yang hanya enam kecelakaan. Kecelakaan pesawat terbanyak dalam lima tahun terakhir terjadi tahun 2009 dengan jumlah 10 kasus kecelakaan.
Bicara soal kecelakaan penerbangan ini, Indonesia berada dibawah Thailand dan juga Vietnam. Kedua negara sesama anggota ASEAN ini sejak tahun 2010 lalu tidak mencatat adanya kecelakaan pesawat.
Minim sumber daya manusia
Pesatnya bisnis penerbangan di Indonesia ini tentu pantas diapresiasi. Sayangnya, laju bisnis kedirgantaraan itu tak sesuai dengan kesiapan sumber daya manusia (SDM) khususnya pilot.
Hasfriansyah, Ketua Federasi Pilot Indonesia menyebutkan, jumlah pilot di Indonesia tidak sesuai dengan kebutuhan industri penerbangan. Saat ini, pilot lokal yang mengantongi sertifikat baru berjumlah 5.500 orang, atau masih kurang sekitar 800 sampai 900 pilot lagi. "Rata-rata Indonesia kekurangan 300 pilot saban tahun," katanya.
Sementara itu, 13 sekolah pilot yang ada di tanah air, hanya mampu mencetak 650 pilot. Kekurangan Pilot tersebut akhirnya merekrut dari luar negeri. Tak hanya kurang pilot, industri penerbangan juga kesulitan tenaga navigasi atau pengatur lalu lintas udara di menara kontrol.
IGK Susila, Ketua umum Indonesia Air Traffic Control Association (IACTA) mengungkapkan, Indonesia kekurangan 1.000 tenaga pengatur lalu lintas udara atau air traffic controller (ATC) untuk mengimbangi pertumbuhan arus lalu lintas penerbangan.
"Saat ini yang tersedia baru 1.200 orang," kata Susila. Idealnya, jumlah tenaga polisi lalu lintas bandara itu setidaknya mencapai 2.200 orang. Kendala utamanya hampir sama, yakni kekurangan lembaga pendidikan yang bisa mencetak SDM untuk ATC.
Sejauh ini, baru ada empat institusi yang mencetak tenaga ATC ini, yakni Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Tangerang, Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (AKTP) Medan, ATKP Surabaya dan ATKP Makassar.
Namun sayang, lulusan empat sekolah ini belum memenuhi kebutuhan ATC. Kondisi ini diakui Sekretaris Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemhub, Wahyu Satrio Utomo.
Ia bilang, sampai 2014 nanti, Indonesia butuh 1.000 tenaga ATC untuk di seluruh bandara. "Jumlah kebutuhan SDM transportasi nasional belum seimbang dengan kemampuan BPSDM mencetak lulusan yang memadai," ungkapnya. Saat ini, lembaga pendidikan dibawah BPSDM hanya mampu mencetak 100 tenaga ATC.
Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah mengaku, sedang membenahi ATC dengan cara membentuk Perum Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan (PPPNP) atau Single Air Traffic System (ATS).
Pembentukan PPPNP ini akan mempersatukan pengelolaan ATC yang selama ini dikendalikan terpisah oleh PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II. "Pengelolaan ATC ini harus dipisahkan dengan AP I dan AP II lewat Perum agar lebih fokus," jelas Herry Bakti.
Herry bilang, Perum ini akan menjadi jawaban pemerintah mengendalikan arus lalu lintas di bandara. Namun untuk menyatukan dua entitas yang dulu ada di AP I dan AP II itu tidaklah mudah, sebab harus menyatukan SDM juga infrastruktur dari kedua perseroan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News