Reporter: Dimas Andi, Lailatul Anisah, Sabrina Rhamadanty, Tendi Mahadi, Vendy Yhulia Susanto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) resmi menerbitkan aturan baru perdagangan melalui sistem elektronik. Aturan itu adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 31 tahun 2023 yang mulai berlaku pada 26 September 2023.
Zulhas mengatakan, aturan tersebut merupakan penyempurnaan Permendag 50/2020 tentang perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.
Zulhas menambahkan, latar belakang penerbitan aturan itu di antaranya untuk meningkatkan perlindungan terhadap UMKM, konsumen, dan pelaku usaha di dalam negeri. Serta untuk mencegah persaingan usaha yang kurang adil atau kurang fair.
"Pemerintah dimanapun di seluruh dunia tentu akan melindungi UMKM dalam negeri nya," ujar Zulhas dalam konferensi pers, Rabu (27/9) lalu.
Baca Juga: Anies Baswedan Kritik Larangan TikTok Shop, Lebih Penting Hentikan Impor Ilegal
Beberapa pengaturan utama dalam Permendag 31/2023 antara lain, pertama, pendefinisian model bisnis penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik seperti lokapasar (marketplace) dan social commerce untuk mempermudah pembinaan dan pengawasan.
Kedua, penetapan harga minimum sebesar US$ 100 per unit untuk barang jadi asal luar negeri yang langsung dijual oleh pedagang (merchant) ke Indonesia melalui platform e-commerce lintas negara. Ketiga, disediakan positive list, yaitu daftar barang asal luar negeri yang diperbolehkan cross border langsung masuk ke Indonesia melalui platform e-commerce.
Keempat, menetapkan syarat khusus bagi pedagang luar negeri pada marketplace dalam negeri. Yaitu menyampaikan bukti legalitas usaha dari negara asal, pemenuhan standar (SNI wajib) dan halal, pencantuman label, berbahasa Indonesia pada produk asal luar negeri, dan asal pengiriman barang. Kelima, larangan marketplace dan social commerce untuk bertindak sebagai produsen.
Keenam, larangan penguasaan data oleh PPMSE dan afiliasi. Kewajiban PPMSE untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan penguasaan data penggunanya untuk dimanfaatkan oleh PPMSE atau perusahaan afiliasinya.
Zulhas mengatakan, latar belakang penerbitan aturan itu di antaranya untuk meningkatkan perlindungan terhadap UMKM, konsumen, dan pelaku usaha di dalam negeri. Serta untuk mencegah persaingan usaha yang kurang adil atau kurang fair.
"Pemerintah dimanapun di seluruh dunia tentu akan melindungi UMKM dalam negeri nya," ujar Zulhas.
Sorotan terhadap social commerce seperti TikTok memang makin menyeruak belakangan ini. Termasuk dari sisi perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa Tiktok Shop hingga saat ini belum dikenakan pajak e-commerce, meski perusahaan tersebut sudah melakukan transaksi jual beli.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP, Ihsan Priyawibawa mengatakan, saat ini Tiktok hanya terdaftar sebagai perusahaan yang dipungut pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Artinya, Ditjen Pajak hanya menerima pajak pengiklan yang ditayangkan di Tiktok.
Baca Juga: Kalau Sosial Commerce Bandel Jalankan Transaksi Jual-Beli, Mendag Ancam Cabut Izin
"Tiktok terdaftar di kami sebagai salah satu pemungut PPN PMSE. Jadi Tiktok melakukan setoran pajak terhadap aktivitas pemungutan PPN atas transaksi-transaksinya di Indonesia. Jadi orang Indonesia memanfaatkan jasa Tiktok, maka mereka pemungut PPN-nya," tutur Ihsan.
Ia mengatakan, pihaknya saat ini masih akan mempelajari model bisnis yang dilakukan Tiktok jika perusahaan tersebut mendaftar sebagai e-commerce.
"Perlakuannya akan sama, seperti dengan yang lain. Artinya apakah Tiktok sebagai wajib pajak dalam negeri atau luar negeri. Jadi kita akan pelajari dulu model bisnis yang akan dilakukan Tiktok," jelas Ihsan.
Respons TikTok
Pihak Tiktok pun buka suara tentang beleid baru tersebut. TikTok Indonesia menyayangkan regulasi pelarangan social commerce sebagai media berdagang di Indonesia. Tiktok Indonesia mengatakan pelarangan ini akan berdampak pada enam juta UMKM dalam negeri yang berjualan di TikTok Shop. Selain itu, juga ada hampir tujuh juta kreator yang menggunakan jasa TikTok Shop.
"Kami sangat menyayangkan terkait pengumuman hari ini, terutama keputusan tersebut bisa berdampak pada mereka," kata TikTok Indonesia melalui keterangan yang diterima Kontan.co.id, Rabu (27/9).
Namun demikian, TikTok menghormati peraturan yang baru saja ditetapkan oleh pemerintah terkait hal ini.
Lantas apakah aturan baru ini mampu untuk menyelamatkan UMKM? Menurut Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Harris Sofyan Hardwin, hal yang dikhawatirkan para pelaku UMKM adalah pemain-pemain besar mampu mengikuti perkembangan dengan ikut program afiliator.
“Pemain besar mungkin bisa mendorong tayangnya produk, banting harga, dan lain sebagainya," tuturnya.
Di sisi lain, Harris menyatakan, banyak pelaku UMKM yang mengeluh mau mencoba bertransformasi tapi kurang literasi. Banyak juga yang live di Tiktok Shop, tapi secara penjualan belum maksimal. Oleh karena itu, perlu pelatihan dan program literasi digital utamanya untuk UMKM di daerah supaya mereka mendapatkan manfaat yang optimal dari social-commerce.
Ketua Bidang Business & Development idEA Mohammad Rosihan menilai, masalah yang terjadi bukan semata lantaran adanya peralihan perilaku konsumen ke digital. Salah satu penyebab pasar Tanah Abang sepi adalah menurunnya pembelian dari pelaku usaha di daerah.
“Kami tidak lagi banyak yang membeli ke Tanah Abang, karena penjualan di daerah juga sepi. Mungkin ini juga menyangkut turunnya daya beli,” ungkapnya.
Belum Tentu Efektif
Selain itu, penolakan pun datang dari Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE) yang akan menggugat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 31/2023 yang mengatur pembatasan jual barang impor atau cross border di bawah US$ 100 atau setara Rp 1,5 juta di e-commerce.
Baca Juga: Kantor Pajak Awasi Transaksi Produk Digital Bajakan
Ketua APLE Sonny Harsono menilai pembatasan cross border itu justru akan berdampak negatif bagi industri UMKM dalam negeri karena serangan importasi ilegal. Bukan hanya UMKM, pihaknya sebagai jasa logistik juga akan sangat dirugikan. Kerugian bisa mencapai Rp 60 juta - Rp 100 miliar jika kebijakan ini diterapkan. Pada muaranya, kebijakan ini akan menimbulkan multiplier effect atau efek berganda seperti PHK masal bagi orang yang bekerja di sektor logistik.
"Makanya selanjutnya APLE akan menempuh jalur hukum berupa gugatan judical review ke Mahkamah Agung," kata Sonny pada Kontan.co.id, Rabu (27/9).
Lebih lanjut, menurutnya, kebijakan ini tidak bisa diterapkan jika pemerintah belum mendapatkan solusi terkait predatory pricing dan importasi ilegal yang merugikan negara. Sehingga, penerbitan regulasi untuk melindungi UMKM dalam negeri justru tidak akan tercapai.
Melihat hal ini, Peneliti Ekonomi Digital Institue for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai berangkat dari kasus TikTok, regulasi yang memisahkan media sosial dan e-commerce justru tak bertaji. Sebab, pada akhirnya algoritma yang ada di TikTok Shop bisa digunakan di TikTok sebagai media sosial.
Praktik pemisahan aplikasi ini sudah biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingkan aplikasi utamanya. Maka dari itu, hal yang harus dikejar pemerintah adalah TikTok mesti memiliki izin sebagai social-commerce.
“Praktik social-commerce pun sudah jamak dilakukan dan sudah ada sejak zaman Kaskus lalu,” kata Huda, Senin (25/9).
Di sisi lain, Huda mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang pernah menyebut bahwa terdapat empat platform yang sering digunakan oleh pelaku UMKM untuk berjualan secara online. Instant messenger menjadi platform yang paling banyak digunakan oleh UMKM, disusul media sosial, e-commerce/marketplace, serta website.
Artinya, media sosial justru memegang peranan penting dalam proses digitalisasi bisnis UMKM. Bila media sosial tak bisa dipakai untuk berjualan, maka itu memutus satu langkah UMKM untuk bisa go digital dan menjadi langkah mundur dari pemerintah.
Pemerintah pun mestinya bisa mengatur social-commerce supaya bisa setara dengan e-commerce ataupun pedagang offline. Dengan demikian, tercipta level playing field yang setara di antara masing-masing pelaku usaha tersebut.
“Social-commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya, karena sejatinya interaksi pengguna media sosial tidak dapat diatur apakah mau jual-beli atau interaksi lainnya,” jelas Huda.
Huda pun membeberkan sejumlah poin agar social-commerce tidak menimbulkan kontroversi di Indonesia. Pertama, pemerintah mesti memasukkan detail pengaturan social-commerce untuk disetarakan dengan e-commerce, baik dari sisi persyaratan administrasi hingga perpajakan.
Kedua, online commerce harus melakukan penandaan (tagging) barang impor. Setelah itu, ada dua hal yang bisa dilakukan perusahaan online commerce, seperti memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya admin lebih tinggi dan tidak memberikan promo kepada produk impor tersebut, serta memberikan insentif promo kepada produk lokal.
Pihak online commerce juga perlu menyediakan minimal 30% etalase platform-nya untuk produk-produk lokal.
Ketiga, pemerintah dan platform commerce harus memastikan bahwa produk-produk impor harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM, dan sebagainya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News