Reporter: Dadan M. Ramdan, Dina Mirayanti Hutauruk, Elisabet Lisa Listiani Putri, Galvan Yudistira, Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang, Nina Dwiantika | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Perubahan perekonomian dunia menyeret ekonomi domestik pada pusaran ketidakpastian yang cukup panjang. Krisis demi krisis yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di berbagai belahan dunia telah mengubah lanskap ekonomi dunia.
Sebut saja beberapa di antaranya, revolusi di kawasan Arab di 2010 (Arab Spring), devaluasi Yuan di 2015, kebijakan suku bunga negatif di negara maju pada 2015-2016, keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) pada 2016 hingga aksi teror di berbagai kawasan. Hal-hal tersebut membuat ketidakpastian yang tidak terduga.
Hampir tidak ada negara yang imun dengan krisis dan ketidakpastian ini. Negara maju yang selama ini menjadi sumber krisis telah banyak melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi krisis dan ketidakpastian ini. Namun, sampai saat ini belum bisa membalikkan keadaan.
Itulah sebabnya, International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) cenderung menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia. "Bahkan, sampai tahun 2017 tren ini masih akan terus terjadi. Cukup sulit menemukan sumber pertumbuhan baru," ujar Desmon Silitonga, Pengamat Pasar Modal (Opini Harian KONTAN, 29 Agustus 2016)
Tengok saja, IMF awal bulan ini memangkas target pertumbuhan ekonomi Inggris untuk tahun 2017 menjadi 1,1%. Ini lebih rendah dari target pertumbuhan tahun ini yang sebesar 1,8%. IMF juga memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi AS yakni hanya 1,6% dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 2,2%.
Situasi ekonomi global ikut menekan perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor dan investasi melambat. Celakanya, kinerja konsumsi (daya beli) juga melambat. Itulah sebabnya, sejak 2010, tren pertumbuhan ekonomi terus melambat. Bahkan, tahun 2015 menyentuh level terendah di 4,79%.
Pemerintah pun mencari cara untuk bisa menggairahkan ekonomi domestik. Sektor properti menjadi pilihan pemerintah. Mengapa sektor properti? Lantaran dengan bergairahnya properti, akan mendorong paling tidak 170 bisnis turunannya ikut bergerak. Ambil contoh, arsitektur, pasir, semen, kayu, cat, besi dan lainnya. Selain itu, properti juga menyerap ribuan tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran terbuka
Data Survei Harga properti Residensial Bank Indonesia (BI) menyebut, faktor utama penghambat pertumbuhan bisnis properti adalah suku bunga KPR, uang muka rumah, kenaikan harga bangunan, serta perizinan dan pajak. Pada data yang sama disebutkan, penjualan properti melambat juga tecermin dari rendahnya penyaluran kredit perbankan.
Alhasil, hingga semester I-2016, penyaluran kredit hanya tumbuh satu digit. Padahal, pemerintah menargetkan pertumbuhan KPR bisa mencapai dua digit tahun ini.
Data statistik moneter dan fiskal Bank Indonesia (BI) menunjukkan, kredit perbankan pada paruh pertama tahun ini meningkat 8,5% dari periode sama tahun lalu. Pertumbuhan kredit tersebut salah satunya ditopang kredit properti yang mulai naik.
Masih merujuk data BI, segmen KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) tumbuh sejalan dengan kenaikan kredit bank secara umum, yakni 8%. Namun angka ini lebih baik dari pertumbuhan KPR dan KPA Juni 2015 yang sebesar 7,8%.
Untuk mengejar pertumbuhan pasar properti double digit, Bank Indonesia (BI) terus melakukan relaksasi kebijakan, seperti mengeluarkan aturan batas maksimal pemberian kredit alias loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR). Aturan main yang tertuang di PBI No.18/16/PBI/2016 29 itu efektif berlaku per 29 Agustus 2016.
Dalam beleid terbaru LTV, BI akan melonggarkan: pertama, calon pembeli rumah tapak pertama dengan tipe di atas 70 m2 di bank konvensional, bisa mendapat pembiayaan hingga 85% dari harga jual rumah. Plafon kredit ini naik dari sebelumnya hanya 80%. Dengan begitu, calon nasabah KPR bank tinggal menyiapkan DP atas kreditnya hanya 15% dari semula 20%.
Kedua, BI menghapus larangan pemberian KPR untuk rumah inden kedua. Syaratnya: kredit bank bisa mengucur jika bangunan sudah setengah jadi. Dan, kredit diberikan secara bertahap. Semisal, pencairan 40% kredit bank jika rumah sudah ada pondasi. Kredit baru cair 100% bila akta jual beli (AJB) dan akta pemberian hak tanggungan (APHT) sudah diteken.
BI menilai, pasca revisi aturan LTV, pertumbuhan kredit perumahan mampu mencapai 10% di tahun ini. Pelonggaran uang muka dilakukan BI sebagai obat kuat bagi KPR yang melempem di tahun 2015 karena hanya mencetak pertumbuhan 7,73%.
BI meyakini bahwa pelonggaran LTV tidak akan memicu letupan (bubble). Sebab, pertumbuhan 10% terbilang sehat ketimbang pertumbuhan KPR sebesar 20%-30% di 2012-2013 yang berpotensi bubble.
Pemerintah juga melakukan terobosan dengan mengeluarkan UU No 11/ 2016 tentang Pengampunan pajak (tax amnesty). Al Hakim Hanafiah, Partner Dan Penasihat Hukum Di Kantor Hukum Hanafiah Ponggawa & Partners dalam rubrik opini di Harian KONTAN pada 3 Oktober 2016 mengatakan, prinsip utama dari amnesti pajak adalah memberikan pengampunan pajak pada wajib pajak di Indonesia yang mengungkapkan harta yang dimilikinya.
Latar belakang dikeluarkannya kebijakan ini adalah untuk menemukan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satunya dengan cara repatriasi, yaitu menarik dana-dana yang tersebar di luar negeri untuk dibawa kembali ke Indonesia. Kebijakan ini selain menambah pendapatan pada APBN dan memperbesar basis pajak.
Kebijakan ini juga akan membuat aliran likuiditas yang nilainya bisa mencapai Rp 1.000 triliun, seperti yang ditargetkan BI. Amnesti pajak periode pertama telah berakhir (Juli-September). Kini memasuki periode kedua (Oktober-Desember) dari tiga periode yang direncanakan dengan total periode sembilan bulan. Hingga Kamis (13/10) sore, dana repatriasi tercatat sebesar Rp 143 triliun.
Banyak pihak yang memperkirakan bahwa sektor properti akan menjadi salah satu saluran investasi yang paling populer bagi para peserta amnesti pajak. Prediksi tersebut cukup masuk akal seperti yang tertera di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 122/PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pengalihan Wajib pajak Ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Penempatan Pada Investasi di Luar Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampunan pajak (PMK No 122/2016). Di situ disebutkan, dana yang telah dialihkan dan ditempatkan dalam rekening khusus dapat diinvestasikan dalam bentuk investasi pada properti dalam bentuk tanah dan atau bangunan yang didirikan di atasnya.
Dalam PMK 122/2016 tersebut, pemerintah memberikan waktu paling singkat tiga tahun, sejak dana (yang disimpan di luar negeri) dialihkan ke rekening khusus pada bank persepsi yang ditunjuk sebagai gateway. "Atau sejak pengalihan pengelolaan bank persepsi lain yang ditunjuk sebagai gateway, agar dana dari amnesti pajak dapat diinvestasikan. Dengan ketentuan ini, sektor properti dianggap sebagai salah satu instrumen investasi yang cocok bagi peserta amnesti pajak," ujar Al Hakim Hanafiah.
Di atas kertas, kebijakan-kebijakan yang diluncurkan pemerintah dan otoritas tersebut diyakini mampu menggairahkan sektor properti yang melempem. Sejatinya, rencana pelonggaran LTV ini direspons positif oleh para pengembang properti. Sebab, bagi konsumen, ini menjadi momen yang tepat untuk membeli rumah karena uang muka semakin terjangkau. Lagi pula, sejumlah bank pemain KPR telah menjalankan strategi bunga KPR satu digit.
Seperti Bank Permata menawarkan suku bunga KPR di bawah 8% berjangka waktu 2 tahun-3 tahun dengan syarat calon debitur punya simpanan dana di bank Permata. Bank Mandiri juga telah menawarkan bunga KPR rendah bagi nasabah baru yaitu 8,5% fix selama tiga tahun.
Bank Central Asia (BCA) juga memberikan bunga KPR satu digit, yakni 7,99% untuk tiga tahun sampai enam tahun pertama, kemudian naik jadi 8,99% untuk tiga tahun berikutnya. "Bunga KPR BCA sudah paling rendah," ujar Henry Koenaifi, Direktur Konsumer BCA.
Namun hingga kini para pengembang properti mengaku belum banyak mendapatkan angin segar dari kebijakan-kebijakan tersebut. Menurut Harun Hajadi, Managing Director Grup Ciputra, pertumbuhan penjualan masih belum memenuhi target. "Memang, kelonggaran LTV membantu mendongkrak penjualan properti, tapi kenaikan masih belum terasa," katanya.
Meskipun begitu, Harun mengakui, penjualan properti di Grup Ciputra, khususnya hunian memang sudah tumbuh. Jumlahnya, menurut dia, masih belum terlalu bagus, yakni sekitar 12%. Tapi pertumbuhan penjualan ini baru berlangsung di periode Agustus hingga September. Sedangkan penjualan di bulan Juli, menurut dia, tidak terlalu bagus.
Target pra penjualan PT Ciputra Development Tbk yang sebesar Rp 9,3 triliun di tahun ini masih optimistis bisa terkejar. Padahal, hingga akhir Agustus lalu, pra penjualan pengembang ini baru 43% dari target, yakni sekitar Rp 4,03 triliun.
Sejumlah pengembang lainnya malah telah memangkas target pra penjualan atau marketing sales karena kondisi pasar properti masih belum beranjak naik. PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) misalnya, memangkas target pra penjualan 22,2% di tahun 2016, dari Rp 4,5 triliun menjadi Rp 3,5 triliun.
Pencapaian pendapatan pra penjualan yang masih jauh dari target juga mendorong PT Pakuwon Jati Tbk menurunkan target tahun ini. Marketing sales per akhir Agustus 2016 sebesar Rp 1,46 triliun atau 47,09% dari target tahunan Rp 3,1 triliun.
Meski begitu, Pakuwon Jati belum memberikan kepastian besar revisi target marketing sales tersebut. Selain revisi target, kemungkinan perusahaan urung merilis tiga proyek baru. "Ada kemungkinan diundur tahun depan," kata Ivy Wong, Direktur Pakuwon.
Sementara, PT Intiland Development Tbk (DILD) masih belum merevisi target pendapatan penjualan yang dipatok tahun ini yakni sebesar Rp 2,5 triliun. Tapi target tersebut rupanya belum memasukkan efek pengampunan pajak yang efeknya kemungkinan baru terasa tahun depan.
Al Hakim Hanafiah berpendapat, dalam situasi saat ini, pelaku bisnis di Indonesia masih bersikap wait and see atas program amnesti pajak serta implementasi di instrumen investasi. Ini yang membuat dampak amnesti pajak pada pertumbuhan sektor industri properti belum langsung terlihat.
Promo mendompleng amnesti pajak
Meski kondisi industri properti belum menggembirakan, para pengembang tidak lantas berpangku tangan. Berbagai langkah promosi dengan menunggangi program amnesti pajak pun dilakukan. Harapannya, ada sebagian dana mengucur ke proyek properti mereka.
Salah satunya Synthesis Development. Pengembang ini memberikan insentif berupa penggantian uang tebusan bagi para pembeli Synthesis yang mengikuti program pengampunan pajak. Program promo pengembang ini adalah Anda Ungkap, Kami Tebus, Anda Lega. Synthesis akan menyesuaikan besaran tebusan dengan nilai investasi di proyek Synthesis.
Berkat program tersebut, pengembang ini mengklaim terjadi lonjakan penjualan. Targetnya, kenaikan penjualan 10%-20% di kuartal IV nanti dibanding kuartal III tahun ini. "Kami senang bila bisa mendapatkan dana repatriasi antara Rp 2 triliun-Rp 2,5 triliun sampai tahun depan," tutur Managing Director Synthesis Square Julius Warouw.
Pada program ini, Synthesis mengincar para investor properti. Produk yang dijajakan mulai harga Rp 500 juta sampai Rp 2 miliar.
Sinar Mas Land juga memasang strategi penjualan properti dengan meluncurkan program pemasaran bernama price amnesty. Program ini juga menunggangi popularitas istilah tax amnesty. Program price amnesty atau pengampunan harga, adalah program potongan harga untuk pembeli properti hingga akhir Desember 2016.
Program hanya berlaku untuk proyek Sinar Mas Land yang sudah meluncur sampai dengan tahun 2015 dan dibagi dalam dua tahap. Sinar Mas Land menyediakan 4.900 unit kaveling tanah, apartemen dan rumah tapak dalam program tersebut.
Ribuan unit produk itu tersebar di berbagai proyek, antara lain BSD City Serpong, The Elements, Kota Wisata Cibubur, Grand Wisata Bekasi dan Grand City Balikpapan. Sinar Mas Land membidik transaksi antara Rp 2,5 triliun-Rp 3 triliun dari price amnesty.
"Penjualan properti kuartal III tumbuh 3%-5% dibanding kuartal sebelumnya, kami optimistis pasar semakin membaik," kata Ishak Chandra, Chief Executive Officer Strategic Development and Services Sinar Mas Land Group.
Pemerintah harus konsisten
Agar program-program pemerintah yang telah berjalan bisa berhasil menggairahkan pasar, Al Hakim berpendapat, konsistensi pemerintah adalah hal utama yang perlu diperhatikan dan dijaga. Karena program ini bersifat jangka panjang dan dampaknya baru terasa setelah beberapa tahun kemudian. Jangan sampai dana yang sudah masuk dialihkan lagi keluar Indonesia.
Mendorong investasi, edukasi pada masyarakat dan developer juga harus dilakukan terus-menerus, termasuk tentang bagaimana perhitungan uang tebusan secara tepat dan prospek instrumen investasi yang ditawarkan oleh pemerintah. Selain itu, juga tentang bagaimana teknis pelaksanaan untuk mengeluarkan dana-dana yang akan dialihkan ke Indonesia serta teknis pelaksanaan investasi dana repatriasi di Indonesia.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menjaga faktor kerahasiaan apabila wajib pajak telah mengungkapkan hartanya yang disimpan di luar Indonesia, serta jaminan dari pemerintah atas dana-dana repatriasi, sehingga dana yang berasal dari repatriasi ini tidak tertahan, dapat digunakan atau diinvestasikan kembali.
Pemerintah juga harus dapat memberikan jaminan agar tidak ada lagi isu pada proses pembebasan tanah, pengalihan tanah, penggunaan peruntukan tanah serta masalah pendanaan properti di Indonesia, baik dari sisi developer sebagai produsen maupun masyarakat sebagai konsumen.
Selanjutnya pemerintah perlu melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap sistem perpajakan kita, seperti menurunkan tax rate untuk peralihan tanah (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan/BPHTB) dan memberlakukan pajak penghasilan tidak saja untuk korporasi tetapi juga untuk perorangan. Perbaikan ini nantinya dapat meningkatkan iklim investasi yang lebih baik.
"Namun, sikap pemerintah dalam hal amnesti pajak patut mendapat apresiasi karena telah memberikan sinyal positif pertumbuhan investasi properti di Indonesia di masa yang akan datang," ujar Al Hakim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News