Reporter: Edy Can, Anna Suci Perwitasari | Editor: Edy Can
Dana Moneter International (IMF) akhirnya memperoleh komitmen pembelian surat utang dari pemerintah Indonesia. Pada pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dan Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde, Selasa (10/7) lalu, Indonesia menyatakan kesediaannya membeli surat utang IMF sebesar US$ 1 miliar dengan menggunakan dana cadangan devisa Indonesia.
Komitmen ini merupakan tindak lanjut dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang berlangsung di London, Inggris, pada April 2009 silam. Ketika itu, para kepala negara dan gubernur bank sentral sepakat memperbesar kapasitas peminjaman dana IMF sebesar US$ 750 miliar untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi emerging markets dan negara berkembang lainnya.
Komitmen itu kemudian dipertegas kembali dalam KTT G20 terakhir yang berlangsung di Los Cabos, Meksiko seiring dengan krisis utang yang membelit Eropa dan belum pulihnya ekonomi Negeri Uwak Sam. Dalam pernyataan bersama, negara kelompok 20 ini sepakat memperbesar komitmen melebihi US$ 450 miliar.
Kesediaan Indonesia membeli surat utang IMF tak lepas dari krisis utang yang mendera Benua Biru sejak 2010 hingga saat ini dan belum ada tanda-tanda akan sembuh. IMF membutuhkan dana sangat besar untuk menolong negara-negara Eropa itu keluar dari jeratan utang.
Karena itu, Lagarde berusaha menyakinkan negara-negara emerging markets seperti China, Brasil dan Indonesia untuk ikut berpartisipasi membantu IMF. Sebab, dia mengatakan, lambat laun dampak krisis yang terjadi di Eropa dan resesi di Amerika Serikat juga akan berdampak bagi negara-negara emerging markets yang perekonomiannya sedang tumbuh pesat. “Tak ada satu negara pun kebal terhadap krisis,” katanya usai pertemuan dengan SBY.
Dan Indonesia pun sepakat dengan Lagarde. Komitmen pembelian surat utang IMF ini disebutkan sebagai bagian kerjasama internasional untuk menyembuhkan perekonomian dunia. "Indonesia merupakan anggota IMF dan saat ini kebutuhan dana lembaga tersebut sangat besar untuk menjaga kestabilan ekonomi global," kata Direktur Eksekutif Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Komitmen Indonesia itu pun disambut baik sejumlah kalangan. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, komitmen itu menunjukkan peran Indonesia dalam pemulihan ekonomi global. "Itu membuktikan Indonesia masuk dalam solidaritas internasional dan membantu ekonomi internasional," katanya.
Pendapat yang sama disampaikan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani yang sekaligus Direktur Pelaksana Bank Dunia. Sri Mulyani menganggap, Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional sudah menunjukkan tanggung jawabnya bukan hanya pada G20 tetapi diluar G20.
Dengan partisipasi aktif Indonesia ini, Direktur Eksekutif Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Dody B. Waluyo menambahkan, Indonesia bisa mengarahkan persyaratan yang diperlukan dalam pencairan dana IMF. Menurutnya, persyaratan dalam penggunaan dana harus dibarengi oleh komitmen negara-negara Eropa untuk menanggulangi krisis secara komprehensif. “Juga inisiatif kontribusi memastikan tersedianya kecukupan dana bagi Indonesia,” lanjutnya.
Secara ekonomi, keuntungan yang diperoleh kemungkinan sangat kecil. Juru bicara Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah mengaku tidak tahu berapa biaya atas komitmen terhadap IMF tersebut. Namun, menurutnya, apabila ada fee atau bunganya nilainya sangat kecil.
Apalagi, seperti yang dikatakan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, probalitas IMF untuk mencairkan komitmen tersebut sangat tipis. Alhasil, Indonesia belum tentu menikmati imbal hasil selama IMF tidak merealisasikan komitmen tersebut.
Secara diplomasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin IMF mendukung kebijakan pemerintah Indonesia. SBY dalam perbincangannya dengan Lagarde, menurut Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Firmanzah, meminta IMF mendukung inisiatif financial inclusion yang digagas Indonesia, Meksiko dan Chili. Ini artinya, pemerintah mendesak IMF mengalir pinjaman bukan hanya ke negara Eropa melainkan juga ke negara-negara miskin seperti di Afrika.
Poin paling penting, Indonesia meminta dukungan IMF menjelaskan kepada dunia internasional tentang kebijakan ekonomi yang mengutamakan komoditas tambang pasar domestik. Maklum, seperti dikatakan Firmanzah, beberapa analis dan media asing menuding Indonesia menerapkan kebijakan proteksi terutama setelah kebijakan ekspor mineral dan barang tambang dibatasi.
Salah satunya kritikan pedas datang Kevin O’Rourke. Chichele Professor of Economic History dari Universitas Oxford menuding kebijakan ekonomi Indonesia dibawah kepemimpinan Hatta Rajasa sedang menjalankan proteksionisme dan memperbesar campur tangan pemerintah. Dia menyebutnya dengan istilah Hatta-nomics.
Minus representasi
Tetapi pertanyaannya, apakah IMF mau membantu Indonesia yang notabene bukan pemegang kuota terbesar di lembaga keuangan tersebut. Apalagi, komitmen Indonesia membeli surat utang IMF itu sendiri tidak berhubungan merepresentasikan kuota Indonesia di IMF.
Catatan saja, kuota menentukan hak suara (voting rights) anggota IMF. Kuota ini ditentukan berdasarkan posisi ekonomi anggota IMF dibandingkan dengan lainnya dengan mempertimbangkan ukuran Pendapatan Domestik Bruto (PDB), transaksi berjalan dan cadangan devisa. Kuota ini juga menentukan iuran modal serta batas jumlah pinjaman yang bisa mereka peroleh dari IMF.
Data IMF per 19 Juli lalu, kuota Indonesia sebesar 0,87% dari total. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan Belgia sebuah negara kecil di Eropa yang sebesar 1,93%. Padahal, PDB Indonesia pada 2011 yang mencapai US$ 834,3 miliar jauh lebih besar ketimbang Belgia yang hanya US$ 529 miliar.
Padahal, sikap IMF yang didominasi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa ini juga kerap kali dikritik negara-negara emerging markets dan berkembang yang kontribusinya semakin tinggi terhadap lembaga tersebut. Mereka menuntut IMF melakukan reformasi sistem kuota secara cepat.
“Tahun lalu, saya mendengar tidak ada rencana IMF atau G20 yang mengindikasikan ada pengakuan Eropa tentang pentingnya perubahan formula reformasi untuk memperbaiki kredibilitasnya,” tulis Direktur Eksekutif IMF asal India, Arvind Virmani dalam sebuah blog.
“Tahun lalu, saya mendengar tidak ada rencana IMF atau G20 yang mengindikasikan ada pengakuan Eropa tentang pentingnya perubahan formula reformasi untuk memperbaiki kredibilitasnya”
Virmani sendiri yakin kredibilitas IMF sebagai institusi internasional bakal pudar bila tak ada perubahan keseimbangan kekuasaan yang mencerminkan perubahan kekuatan ekonomi dunia saat ini.
Aktivis dan gerakan sosial juga sudah menuntut hal yang serupa. Pada pertengahan Mei lalu, pertemuan para aktivis dan gerakan sosial dari berbagai negara Amerika Latin, Asia, Afrika dan Timur Tengah telah mengeluarkan Global May Manifesto yang menuntut kegiatan ekonomi dilakukan secara demokratis di seluruh level, dari lokal hingga global dan selama mereka ada.
Mereka menuntut IMF, Bank Dunia dan Basel Committee on Banking Regulation didemokratisasi secara radikal. Ini sejalan apa yang dikatakan Menteri Keuangan Brasil Guido Mantega bahwa hak suara dalam pendanaan harus proporsional dengan PDB suatu negara untuk memberikan IMF legitimasi yang lebih besar diantaranya anggotanya.
Sejarah juga menunjukkan IMF mempunyai masalah ketika berhubungan Indonesia. Ketika krisis moneter 1997-1998 silam contohnya. Saat itu, Indonesia wajib mengikuti 50 kebijakan yang disusun IMF supaya mendapatkan pinjaman dari IMF.
Namun, bagi Dody, komitmen Indonesia ini harus dilihat sebagai suatu usaha dan bukan hasil akhir. “Paling tidak Indonesia sudah menjadi pertimbangkan yang dapat diterima jika dapat dukungan dari mayoritas,” ucapnya.
Jadi apabila Indonesia memberikan komitmen tanpa reformasi kuota IMF rasanya mustahil bisa mewujudkan apa yang dicita-citakan. Ya, setidaknya, Indonesia sudah berusaha, begitu kata Bank Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News