kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Nasib buruh rumahan pelipat amplop Telkomsel


Senin, 03 Juni 2013 / 14:18 WIB
Nasib buruh rumahan pelipat amplop Telkomsel
ILUSTRASI. 4 Manfaat Bakuchiol untuk Kulit Wajah Pada Skincare, Sudah Tahu?


Reporter: Agustinus Beo Da Costa |

Keramaian masih terasa di lorong-lorong sempit kawasan Jati Bundar , Tanah Abang seusai magrib malam itu. Sebagian warga asyik bercengkrama di teras rumah, sembari menonton orang lalu lalang di kawasan yang terbilang padat penduduk.

Di sebuah rumah sempit , dua orang perempuan asyik di depan TV 21 inch. Tuti (54 ) dan Teti (43) melepas lelah seusai kerja hari ini. Seperti ibu-ibu rumah tangga umumnya sinetron jadi hiburan utama mereka. Sesekali mereka tertawa, sesekali merenggut, larut dalam alur cerita opera sabun itu. 

Tapi tak seperti ibu-ibu rumah tangga lainnya, Tuti dan Teti tak sekadar menonton. Sambil menatap layar kaca, tangan -tangan terampil mereka tetap sigap melipat satu-satu kartu voucher perdana sebuah operator telekomunikasi. Sesekali perhatian mereka teralih, menarik potongan-potongan kertas dari tumpukan yang belum dilipat. Sesekali juga mereka mengikat dan menyusun kartu-kartu yang sudah dilipat dalam kotak -kotak kayu di hadapan mereka. 

Yah kerjanya santai mas, bisa sambil nonton atau melayani pembeli," ujar Tuti yang kebetulan juga membuka kios kelontong kecil di depan rumah mereka. Sehari sebelumnya  Tuti dan Teti mendapatkan borongan  melipat 8.000 bungkus kartu pesanan anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) yakni Telkomsel.

Sudah 13 tahun Tuti  dan Teti menjalani  pekerjaan sampingan sebagai pelipat kartu voucher telepon seluler. Semua berawal pada suatu hari di tahun 2000. Tuti mengantarkan  anak bungsunya ke taman kanak-kanak.

Sambil menunggu anaknya di TK , Tuti melihat sekumpulan ibu-ibu yang sedang asyik melipat kartu perdana Telkomsel. Karena penasaran, ia bergegas mencari tahu apa yang sedang dilakukan perempuan-perempuan itu.  

Setelah ngobrol sebentar, Tuti akhirnya diajak untuk ikut bekerja sambilan melipat kartu-kartu voucher perdana telepon seluler.

"Enak lho, jadi, waktu antar anak ke sekolah, sambil lipat sambil nunggu, buat ngisi waktu senggang, masih ada lowongan lho," ujar Teti mengulang ucapan temannya kala itu. Akhirnya, ia diantar temannya mendaftarkan diri ke PT Kreasi Prima, sebuah perusahaan percetakan yang punya tender memproduksi amplop kartu perdana.

Kawasan sekitar Jalan Lontar Raya, Kebun Melati, Tanah Abang sejak lama memang menjadi sentra industri percetakan skala kecil. Namun berdasar penelusuran KONTAN, hanya PT Kreasi Prima yang punya proyek lumayan besar dan mempekerjakan warga.

Kakak beradik Tuti dan Teti adalah satu di antara 702 pekerja rumahan di Kelurahan Kebon Melati, Tanah Abang. Selain melipat bungkus kartu voucher perdana Telkomsel, LSM  Homenet Indonesia pernah mendata dan mencatat warga di RW 14, kelurahan Kebun Melati itu juga bekerja memasang payet kerudung dan gasper tali bra, semuanya dilakukan di rumah. Seingat Tuti ada 150 orang ibu -ibu dan perempuan muda pelipat kartu voucher perdana Telkomsel di RW 14 Kelurahan Kebon Melati Tanah Abang.

Tak terikat kontrak kerja

Menurut International Labour Organization (ILO), pekerjaan rumahan jenis ini hanya mengejar upah semata. Dalam praktiknya, pekerja rumahan acap kali tak mendapat fasilitas berupa peralatan yang mereka gunakan.

Pekerja informal ini juga menerima upah berdasarkan borongan atau volume pekerjaan, bekerja hanya berdasarkan perjanjian lisan. Poin pentingnya, mereka tidak punya posisi tawar untuk turut menentukan upah. 

Tidak ada perjanjian atau kontrak resmi dalam pekerjaan ini. Teti  mengingat sekitar tahun 2004 dirinya dan perempuan -perempuan pelipat kertas lainnya pernah  diminta  menandatangani selembar dokumen dari perusahaan percetakan itu.  Teti tidak bisa memastikan apakah dokumen tersebut kontrak kerja atau bukan. Setelah ditandatangani, dokumen itu dikembalikan pada pegawai Kreasi Prima.  Ia juga tidak pernah menyimpan dokumen tersebut untuk dirinya.

"Enggak tahu kontrak apa bukan, cuma satu lembar folio ada deretan nama-namanya, tanda tangan sudah. Katanya buat data di Telkomsel," ujar perempuan lulusan SMEA ini polos.

Bayaran menyusut

Pada selembar kertas itu juga tertera pernyataan  seorang pelipat kartu akan dibayar Rp 17.500 per hari. Meski begitu, Kreasi Prima tidak pernah membayar pelipat kartu sesuai perjanjian dalam dokumen itu. 

Dalam praktik pekerjaan ini memakai sistem borongan. "Ada barang ada uang", ujar Teti.

Mulanya, borongan memang banyak. Harga per amplop lebih tinggi antara  Rp 35 sampai Rp 45 dengan orderan rutin setiap minggunya. Ini karena satu kartu yang dilipat memiliki lebih banyak komponen dan lebih tebal dan jumlah buruh pelipat kartu belum sebanyak saat ini. Bekerja seminggu melipat kartu, Tuti dan Teti bisa meraup lebih dari Rp 200 ribu masing-masingnya. 

Namun situasi kini berubah. Setiap melipat satu amplop kartu perdana merek Simpati /AS Facebook milik Telkomsel dihargai Rp 15, kartu Flash Rp 20 per lembar dan card holder Rp 5. Selain itu , sejak  tahun 2007, jumlah buruh pelipat kartu  PT Kreasi Prima Printing bertambah dua kali lipat dari jumlah sebelumnya 200 yang tersebar di beberapa kawasan di Jakarta. 

Akibatnya, rata-rata dalam seminggu orderan hanya datang 2 sampai 3 kali. Sekali borongan, seorang pelipat kartu jumlah mendapat kuota antara 2.000 sampai 4.000 kartu untuk dilipat. Bahkan pernah dalam satu bulan mereka tidak mendapatkan orderan sama sekali.  Kini untuk bisa mendapatkan Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu mereka harus menunggu orderan hingga sebulan. 

Upah disimpan PT Kreasi

Uang ini, kata Tuti tidak langsung diambil, tetapi ditabung dulu di Kreasi Prima. Setiap buruh pelipat kartu mendapatkan satu buku tabungan yang mencatat jumlah kartu yang sudah mereka lipat dalam satu kali borongan. Jika butuh duit, mereka bisa menarik tabungan tersebut. Biasanya penarikan dilakukan jika uang yang terkumpul dari kerjaan sampingan ini dianggap sudah cukup banyak.  Sekali menarik  Tuti dan Teti membawa pulang  Rp 400 ribu sampai Rp 700 ribu.

"Buat tambah-tambah, masak , atau pas ada kebutuhan apa, yang perlu,” ujar Tuti. 

Ada juga sistem chas-bon, buruh pelipat kartu bisa meminjam uang terlebih dahulu. Kreasi Prima Printing kemudian memotong tabungan mereka. Di luar upah tetap itu, biasanya menjelang Lebaran para pelipat kartu mendapatkan paket hari raya berupa sembako seperti minyak, beras, dan makanan lain. 

Tuti tak pernah berpikir bahwa ia harusnya bisa mendapatkan upah yang lebih besar dari upah melipat kartu saat ini. "Kami gak tahu yang penting dibayar sama percetakan,” ujarnya.  

Teti bilang, dia dan buruh-buruh pelipat lainnya tidak bisa menuntut upah yang lebih, karena status kerja mereka sebagai karyawan tidak tetap atau kuli harian. 

Meskipun bekerja dengan upah yang sangat murah, dan tanpa kontrak yang jelas,  bagi  Tuti dan Teti , kerja sampingan ini  cukup membantu pendapatan keluarga mereka. Suami Tuti hanya seorang cenkau  emas di Tanah Abang. Rata-rata penghasilan suami Tuti Rp 600 ribu sebulan. Pasangan ini memiliki tiga orang anak yang masih bersekolah. 

Sedangkan Teti seorang janda dengan dua anak. Teti sudah lama tinggal bersama keluarga Tuti di rumah sempit itu dan hidup dari kios kecil di rumah mereka.

Apalagi pekerjaan ini juga relatif mudah dan tidak banyak memakan waktu dan tenaga. Pekerjaan melipat ini dilakukan Tuti dan Teti disela-sela kegiatan sehari-hari mereka sebagai ibu rumah tangga seperti masak, cuci, ataupun mengurus anak. 

“Biasanya order datangnya sore jam empat, lalu setelah magrib dan santai, kami mulai melipat sampai malam jam 9. Jika belum selesai ya kita lanjutkan besok paginya, dan disetor jika sudah tuntas kita. Tak ada target harus selesai sekian," kata Tuti.

Menurut cerita mereka, kondisi yang dijalani jauh berbeda dengan pemilik percetakan. Bagimana perbedaannya? Nantikan di kisah selanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×