kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%
FOKUS /

Kimung, buruh anak yang terpinggirkan


Rabu, 12 Desember 2012 / 19:12 WIB
Kimung, buruh anak yang terpinggirkan
ILUSTRASI. Asteroid ini menandai bahwa lebih dari 1000 asteroid pernah mendekati Bumi


Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Edy Can

Di tengah hiruk pikuk gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah, pekerja anak yang bekerja di sektor informal ternyata masih belum memperoleh perhatian yang besar. Padahal, nasib dan upah mereka jauh lebih buruk ketimbang pekerja di sektor formal.

Malam menjelang pukul 01.00 WIB, di deretan kafe-kafe di tepi pantai Cilincing, Jakarta Utara. Orang menyebut tempat itu Kojem,kependekan dari kolong jembatan. Lokasinya dekat Kampung Nelayan Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Tanjung Priok.

Seorang anak perempuan 15 tahun sebut saja Kimung masih terjaga. Dia melewati malam panjang di tengah dentuman musik, asap rokok dan belasan lelaki yang menenggak  minuman keras. "Aku seharusnya di rumah belajar untuk sekolah besok,bukannya ngejablay di sini," ujar Kimung malam itu.

Sehari-hari, Kimung bekerja di Cafe Primadona,yang terletak di tepi pantai di daerah Kojem. Ayahnya orang Makassar dan bekerja sebagai nelayan. Sedangkan ibunya, asal Brebes, bekerja sebagai ibu rumah tangga. Kimung punya seorang adik laki-laki berusia 12 tahun dan kini tidak bersekolah lagi.

Dari pekerjaan itu, Kimung memperoleh penghasilan sebesar Rp 200.000 sebulan. Dia juga memperoleh tambahan penghasilan dari tips para tamu dan “uang botol”. Biasanya seorang tamu memberikan tips Rp100.000 hingga Rp 200.000. Sementara uang botol ini merupakan bonus dari minuman yang ditenggak para tamu. Setiap satu botol, Kimung menerima Rp 1.000.

Tak jarang, pekerjaan Kimung menemani tamu itu berakhir di ranjang hotel di sekitar kafe. Rata-rata Kimung melayani dua hingga tiga orang tamu per malam. "Capek, Mas, kerja di sini," keluhnya.

Kimung belum setahun bekerja di kafe itu. Saban hari, dia berangkat sekitar pukul 18.00 dan pulang pukul 03.00 dini hari.  Dia sempat ingin berhenti. Namun, kemiskinan dan utang keluarga kepada Mami Ijah, si pemilik kafe mengkandaskan keinginannya itu. Dalam sebulan, keluarganya harus membayar Rp 350.000 untuk kontrakan.

Sepulang bekerja, ia tak langsung tidur. Kimung membantu ibunya membantu pekerjaan rumah seperti masak dan mencuci piring. Menjelang pagi ia baru bisa terlelap.

Tak seorang teman dan bekas gurunya di SMP dulu yang tahu kalau Kimung bekerja di warung remang-remang itu. Jika ada teman dan mantan gurunya yang bertanya tentang sekolah, dia hanya menjawab sudah tak bersekolah lagi dan hanya tinggal di rumah.

Kimung adalah satu diantara ribuan pekerja anak di Indonesia. Nasib dan hak-haknya seperti terabaikan di tengah gerakan buruh yang masif menuntut kenaikan upah dan penghapusan praktik pekerjaan alih daya.

Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2012 menunjukan ada 1,7 juta pekerja anak. Sedangkan data ILO tahun 2008  menunjukan bahwa ada lebih dari 4 juta anak usia 5-17 tahun melakukan pekerjaan berbahaya.

Sebagian besar menjadi pekerja seks anak. Jumlahnya diperkirakan mencapai 30% dari pekerja seks di Indonesia yang sebesar 180.000 orang.

Direktur Yayasan Anak dan Perempuan Azizah mengatakan anak-anak perempuan yang bekerja di sektor prostitusi dan tempat-tempat hiburan malam didorong oleh kemiskinan keluarga dan sindikat perdagangan. Dalam banyak kasus, dia mengungkapkan anak-anak itu dijual oleh orangtuanya kepada para germo. Dia memastikan hampir 80% anak-anak perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam di kawasan Jakarta Utara juga memberikan layanan seks.

Ivon da Gomez dari Icodesa Institute yang pernah mendampingi pekerja seks anak di kawasan Rawa Malang, Jakarta Utara menambahkan, faktor kebudayaan pada daerah tertentu dimana profesi pekerja seks dianggap sebagai hal yang lumrah dan konsumerisme menjadi salah satu pendorong anak-anak bekerja pada sektor prostitusi atau prostitusi terselubung. "Mereka terbiasa dengan pegang duit banyak dan hidup sangat konsumtif," ujar Ivon.

Penyebab lainnya juga karena pendidikan. Direktur Eksekutif Sekolah Tanpa Batas Bambang P. Wisudo menuding, kebijakan pendidikan nasional Indonesia yang tidak berpihak pada orang miskin sebagai pemicunya. “Pendidikan kita diskriminatif pada anak miskin. Pendidikan kita hanya berpihak pada anak pintar dan anak orang kaya," tegasnya.

Sayangnya, pekerja anak ini masih luput dari gerakan buruh. Ketua Presidium Majelis Pekerja dan Buruh Indonesia Said Abdulah mengakui selama ini gerakan dan serikat buruh belum banyak mengadvokasi para pekerja di sektor informal.

Dia beralasan secara organisasi dan pemahaman hak -hak buruh pada pekerja sektor informal belum begitu kuat. “Pemahaman terkait dengan apa yang menjadi hak yang harus didapatkan masih jauh, apalagi pemahaman mereka soal kebijakan yang berkaitan dengan nasih mereka,” ujarnya .

Selain itu, dia berdalih persoalan di sektor informal jauh lebih kompleks. Karena itu, ke depannya, dia berharap pergerakan buruh dan serikat buruh banyak menginvestasikan waktu dan perhatian untuk mengadvokasi buruh informal.

Pemerintah sendiri mengaku tak berpangku tangan. Kepala Sub Unit Pengawasan Norma Kerja Anak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hendra Rahman mengaku sudah berusaha menarik anak-anak ini keluar dari tempat bekerja mereka. Setelah ditarik, lanjutnya, anak-anak itu kemudian diberikan pendampingan dan pelatihan di shelter-shelter yang sudah disediakan bersama LSM pendamping.

Anak-anak itu kemudian diserahkan pada pemerintah daerah untuk didampingi di shelter-shelter yang sudah disediakan. Bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, anak-anak itu kemudian dikembalikan ke bangku sekolah,baik dalam bentuk pendidikan formal,nonformal maupun pendidikan keterampilan.

Pemerintah juga melakukan pendampingan dan pemberdayaan ekonomi bagi orang tua dan keluarga pekerja anak lewat Program Keluarga Harapan.Logikanya, keluarga yang berdaya secara ekonomi tidak akan lagi mendorong anak-anaknya untuk bekerja.

Data anak yang sudah ditarik Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

No

Tahun

Jumlah anak yang ditarik

1

2008

 8.000 Pekerja Anak

2

2011

 3.360 Pekerja Anak

3

2012

10.750 Pekerja Anak

4

2013

11.000 pekerja Anak (target)

Sumber : Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Pada 2013 nanti, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengaku juga menyiapkan program untuk memberantas pekerja dibawah umur. Program tersebut  mencakup pengawasan, bantuan sosial, pelatihan dan sosialisasi.

Hendra menegaskan, anak-anak tersebut harus dikembalikan ke sekolah apalagi saat ini sudah banyak pendidikan gratis. "Jadi tinggal ada sosialisasi yang berupa pencegahan dan penegakan aturan,” tuturnya.

Ivon da Gomez berharap pendekatan personal untuk membangkitkan kesadaran  juga dilakukan terhadap anak-anak yang terjebak dalam prostitusi. Katanya, pendekatan personal ini lebih efektif untuk mengeluarkan anak-anak tersebut dari pekerjaan terburuk bagi anak.

Dengan begitu, dia berharap tidak ada lagi Kimung-Kimung lain yang akan bernasib serupa. "Aku sih kalau sekolah lagi inginnya jadi pramugari," ujar Kimung.

“Pendidikan kita diskriminatif pada anak miskin. Pendidikan kita hanya berpihak pada anak pintar dan anak orang kaya," tegas Bambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×