Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Dalam satu dekade terakhir, dunia mengakui betapa spektakuler perekonomian China. Lihat saja, pada saat perekonomian AS dan Eropa diterpa krisis, China berhasil survive dan memacu perekonomiannya. Bahkan prestasi China tampak menonjol dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Tak jarang, banyak negara yang berharap China menjadi negara penyelamat krisis ekonomi global.
Namun, kondisi berbeda mulai tampak sejak awal tahun ini. Kekuatan ekonomi China secara berangsur-angsur melemah. Lihat saja, pada Kongres Rakyat Nasional, penentu kebijakan di China menetapkan target pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di level 7,5% untuk tahun ini. Angka tersebut turun dari pencapaian 2013 lalu di mana pertumbuhan PDB China mampu tumbuh sebesar 7,7%.
Hal ini semakin memberikan konfirmasi bahwa ekonomi China memang tengah dilanda prahara. Sebenarnya, tak sulit membuktikan hal ini. Apalagi, Bank Dunia sudah memprediksi, perekonomian China akan mengalami pelemahan dengan mencatatkan pertumbuhan sekitar 7,6%, turun dibanding tahun lalu yang mencapai 7,7%.
Sejumlah data ekonomi China yang baru dirilis beberapa waktu belakangan juga menunjukkan bahwa ekonomi Negeri Panda sudah mulai melambat sejak awal tahun 2014. Namun, yang perlu diingat, sebagian perlambatan ekonomi China memang disengaja oleh pemerintah China. Tujuannya yakni untuk menurunkan persyaratan pengucuran kredit serta menyeimbangkan kembali ekonomi China menuju pertumbuhan yang disokong permintaan domestik.
Hanya saja, masih belum jelas seberapa besar mereka mampu mengontrol atas perlambatan yang terjadi.
Nah, berikut ini merupakan sejumlah indikasi penting yang menunjukkan perlambatan ekonomi China seperti yang dirangkum oleh situs Business Insider pada 14 Maret lalu:
1. Indeks Manufaktur China (PMI)
Data PMI China terlihat mengecewakan sejak Februari lalu. Data resmi yang dirilis pemerintah menunjukkan, PMI China jatuh ke level terendah dalam delapan bulan terakhir pada Februari lalu, ke level 50,2. Sementara, data PMI tidak resmi yang dirilis HSBC merefleksikan terjadinya kontraksi yakni melorot ke posisi terendah dalam tujuh bulan terakhir ke leve; 48,5. Yang paling mencolok adalah penurunan sebagian besar sub indeks dari data PMI yang dirilis pada Maret. Meski demikian, Biro Statistik Nasional setempat melaporkan, Purchasing Managers' Index China di bulan Maret sebesar 50,3.
2. Tingkat ekspor China
Tingkat ekspor China mencatatkan penurunan terbesar sejak krisis finansial global melanda dunia. Berdasarkan data yang dirilis pemerintah China kemarin (9/3), tingkat pengiriman barang ke luar negeri pada Februari anjlok 18,1% dibanding tahun sebelumnya. Angka tersebut jauh di bawah estimasi 45 ekonom yang disurvei Bloomberg yang mematok kenaikan sebesar 7,5%.
Sementara itu, tingkat impor China pada periode yang sama malah naik 10,1%, melampaui prediksi. Kondisi ini menyebabkan China mengalami defisit neraca perdagangan senilai US$ 23 miliar. Posisi defisit ini merupakan yang terbesar dalam dua tahun terakhir.
Selain itu, data yang sama juga menunjukkan redanya tingkat inflasi ke level terendah dalam 13 tahun terakhir pada Februari dan indeks harga produsen turun untuk bulan yang ke-24.
3. Indeks Harga Konsumen dan Produsen
Indeks Harga Konsumen dan Produsen mencatatkan penurunan pada Februari. Indeks Harga Konsumen, misalnya, turun ke level 2,0% dari sebelumnya 2,5% pada Januari. Sedangkan Indeks Harga Produsen berada di level -2% pada Februari dari sebelumnya -1,6% bulan sebelumnya. Meredanya data CPI memberikan banyak ruang bagi bank sentral China untuk melonggarkan kebijakan. Namun, Indeks Harga Produsen sudah mengalami penurunan selama dua tahun saat ini. Kondisi itu memicu kecemasan akan terjadinya deflasi di Negara Panda tersebut.
4. Kucuran kredit perbankan baru
Pengucuran kredit perbankan baru China pada Februari turun menjadi 645 miliar yuan saja. Pencapaian tersebut lebih rendah dari ekspektasi pelaku pasar dan turun tajam dari pengucuran kredit bulan sebelumnya yang mencapai 1,32 triliun yuan. Jumlah pembiayaan sosial juga tak sesuai ramalan, yakni hanya 939 miliar yuan. Angka tersebut lebih rendah dari pengucuran pembiayaan sosial pada Januari yang mencapai 2,58 triliun yuan.
Sejumlah ekonom memprediksi, data pengucuran kredit akan kembali naik beberapa bulan ke depan. Sementara, analis Societe Generale Wei Yao mencatat bahwa terjadinya perlambatan pengucuran kredit mayoritas dipicu oleh kenaikan tingkat suku bunga bank yang memang disengaja oleh People's Bank of China (PBoC).
5. Tingkat produksi industri
Tingkat pertumbuhan produksi industri melambat menjadi 8,6% pada periode Januari-Februari dari sebelumnya 9,7% pada Desember 2013. Ini merupakan data terendah sejak April 2009 lalu.
6. Fixed Asset Investment (FAI)
Data pertumbuhan fixed asset investment (year to date) melambat menjadi 17,9% pada periode Januari-Februari. Pencapaian tersebut lebih rendah dari bulan Desember 2013 yang mencapai 19,6%. Penurunan disebabkan oleh anjloknya kapasitas produksi dan investasi manufaktur.
7. Penjualan ritel
Pada periode Januari-Februari, penjualan ritel China melambat menjadi 11,8% dari sebelumnya 13,6% pada Desember. Sebagian besar kondisi ini terjadi disebabkan korupsi. Ada juga yang berpendapat bahwa banyak konsumen yang saat ini berbelanja melalui online sehingga tidak terefleksi dalam data yang ada.
8. Penjualan properti
Penjualan properti di China pada periode Januari-Februari juga menurun. Penjualan rumah baru, misalnya, hanya naik 1,2% pada periode Januari-Februari. Angka tersebut turun dari 7,2% di kuartal IV 2013. Sedangkan jika dilihat dari nilai penjualan properti, terjadi penurunan menjadi 5% dari sebelumnya 13,15 di kuartal IV 2013. Catatan saja, penjualan properti sering dipertimbangkan sebagai kunci utama dari permintaan komoditas China.
9. Harga tembaga
Harga tembaga jatuh ke level terendah dalam empat tahun terakhir. Pemicunya adalah kecemasan investor akan perlambatan ekonomi China dan kucuran kredit ke sektor tembaga. Yang perlu diingat, pengetatan kredit akan mendongkrak tingkat suku bunga pasar uang. Pada saat seperti ini, impor tembaga juga naik karena banyak perusahaan yang menggunakan tembaga sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman.
10. Penurunan outlook pertumbuhan China
Sejumlah ekonom dari JPMorgan Chase & Co dan Goldman Sachs Group Inc pada awal bulan ini sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China. Langkah tersebut dilakukan setelah fixed-asset investment mencatatkan kenaikan terlemah pada periode Januari-Februari sejak 2001.
Hasil survei Bloomberg menunjukkan, tingkat pertumbuhan PDB di kuartal pertama tahun ini akan turun menjadi 7,4% di Maret dari sebelumnya 7,6% di Februari. Sedangkan hingga akhir tahun, hasil survei juga menunjukkan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi China menjadi 7,4%. Hal ini merupakan pertumbuhan terlemah sejak 1990 silam.
Pemerintah tembakkan peluru
Sejumlah ekonom berpendapat, perlambatan ekonomi China belum akan berakhir dalam waktu dekat. Bahkan sejumlah ekonom lainnya juga memprediksi perlambatan ekonomi China akan semakin parah pada kuartal II/2014.
Terkait adanya sinyal perlambatan tersebut, pemerintah China pun bersiap menyiapkan sejumlah strategi untuk menstabilkan perekonomian, baik melalui kebijakan fiskal atau stimulus moneter.
Sejatinya, pemerintah China sudah menembakkan beberapa peluru untuk mengatasi terjadinya market bubbles di berbagai sektor. Sebut saja wealth management (neraca bank bayangan senilai US$ 6 triliun), kredit korporasi, dan real estate.
Selain itu, beberapa waktu belakangan, bank sentral China juga sangat akomodatif. Misalnya saja, bank sentral tak lagi ngotot melakukan apresiasi yuan. Bahkan, faktanya, mata uang yuan diperbolehkan untuk terdepresiasi demi membantu para eksportir. Bank sentral juga membiarkan terjadinya penurunan suku bunga jangka pendek. Sebagian dari penurunan suku bunga diakibatkan oleh turunnya pengajuan kredit seiring langkah pengetatan kredit oleh perbankan di sektor tertentu.
Rupanya, strategi yang sudah dilakukan pemerintah China tersebut masih dirasa kurang. Pada 3 April 2014, pemerintah China kembali menembakkan peluru untuk pertama kalinya tahun ini. Tujuannya tak lain untuk menggairahkan kembali perekonomian mereka.
Beberapa di antaranya adalah memangkas pajak terhadap perusahaan kecil dan mempercepat pembangunan konstruksi jalur kereta. Sebenarnya, dua kebijakan ini sudah dimasukkan ke dalam rencana pembangunan ekonomi China 2014. Namun, keduanya tidak dimasukkan dalam paket kebijakan yang bertujuan untuk mengerek perekonomian.
"Kami harus mengeluarkan lebijakan yang dapat meningkatkan vitalitas bisnis, sehingga secara efektif dapat meningkatkan lapangan kerja dan tingkat permintaan," jelas pemerintah.
Sementara, untuk jalur kereta, pemerintah China akan meningkatkan jumlah jalur kereta yang akan dibangun sebesar 18% dibanding tahun lalu. Mayoritas dari jalur kereta tersebut akan dibangun di wilayah pusat dan barat China.
Untuk membiayai investasinya, China akan menjual obligasi senilai 150 miliar yuan atau setara dengan US$ 24, 6 miliar.
"Kami akan mencari berbagai strategi inovatif, termasuk metode fiskal dan finansial sehingga perekonomian bisa stabil," demikian pernyataan resmi pemerintah China dalam situs resminya seperti yang dikutip oleh situs BBC.
Turut berdampak ke Indonesia
Perlambatan ekonomi China diyakini turut berdampak negatif pada perekonomian Indonesia. Menurut Menteri Keuangan Chatib Basri, pengaruh pertumbuhan ekonomi China sangat besar bagi perekonomian tanah air. Sebab, China merupakan salah satu negara tujuan ekspor Indonesia. Bila pertumbuhan ekonomi China membaik maka ekspor Indonesia bisa terdorong lebih baik.
Hal senada juga diungkapkan oleh Deputy Country Director Bank Pembangunan Asia (ADB) Edimon. Dia mengatakan, Indonesia harus mencermati kondisi ekonomi China. ADB menilai ekspor manufaktur Indonesia yang membaik pada kuartal IV tahun 2013 diharapkan akan diteruskan pada tahun 2014 ini seiring dengan depresiasi rupiah. Namun, sejalan dengan perlambatan ekonomi Negeri Panda ini, maka volume ekspor Indonesia pun akan terpengaruh.
"Pertumbuhan akan lebih flat. Negara yang penting dicatat adalah China (Tiongkok). Pertumbuhan ekonomi China akan melemah karena ada penurunan pertumbuhan kredit. Dengan demikian pertumbuhan ekspor kita akan tertahan," kata Edimon di Jakarta, Selasa (1/4/2014) seperti yang dikutip dari situs Kompas.com.
Lebih lanjut, Edimon mengungkapkan, Tiongkok merupakan negara utama tujuan ekspor Indonesia, disusul Jepang. Selama Tiongkok menahan pertumbuhan ekonominya, maka ekspor Indonesia pun akan terus tertahan.
Terkait hal tersebut, pemerintah Indonesia pun melakukan sejumlah strategi agar tak terseret arus perlambatan ekonomi China. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) menyatakan akan terus mewaspadai kondisi perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama ekspor komoditas.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi China, telah dibahas saat pertemuan anggota ASEAN di Myanmar. "Hasil rapat (FKSSK) terkait dengan laporan dari pertemuan ASEAN kemarin di Myanmar. Intinya, kondisi ekonomi cukup bagus dan stabil, hanya kami terus mewaspadai pelemahan pertumbuhan ekonomi di China serta down set risk global," ujar Bambang di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Senin (7/4) malam kepada wartawan KONTAN Dea Chadiza.
Bambang menjelaskan, perlambatan pertumbuhan ekonomi di China, baik dalam pantauan yang dilakukan saat pertemuan ASEAN di Myanmar maupun dalam rapat FKSSK, sejauh ini masih dianggap tak seburuk yang diperkirakan.
Menurut Bambang, Indonesia perlu memanfaatkan momentum lain, seperti pemulihan pertumbuhan ekonomi di Amerika, Eropa maupun di Jepang sebagai kompensasi yang terjadi di China. Bambang bilang, kondisi yang terjadi di China belakangan ini merupakan by design yang artinya disengaja guna menjaga pertumbuhan ekonominya sendiri.
"Pelemahan pertumbuhan China adalah by design, untuk menjaga ekonominya sendiri, mereka takut kalau inflasinya terlalu tinggi," jelas Bambang.
Lebih lanjut Bambang menambahkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi di China sedikit banyak mengancam nilai ekspor Indonesia. Hal ini dikarenakan, negara tersebut memilih untuk berubah dari investasi menjadi konsumsi domestik seperti Indonesia.
Karena itu, dalam konsumsi domestik dipastikan China akan tetap membutuhkan impor. "Jadi China bilang meskipun ada penurunan impor sedikit, tapi tetap impor China dari negara lain akan tinggi. Mereka (China) juga bilang, seharusnya hal itu tidak mengganggu perdagangan China kepada negara lain termasuk Indonesia," ujar Bambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News