kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Kantong sudah sempit, utang masih dicari


Selasa, 15 September 2015 / 15:14 WIB
Kantong sudah sempit, utang masih dicari


Reporter: Maggie Quesada Sukiwan, Margareta Engge Kharismawati, Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Pemerintah agresif mengumpulkan duit dari utang sepanjang tahun ini. Awal September, pemerintah sudah merilis hampir seluruh pagu surat utangnya. 

Per 1 September, menurut situs resmi Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko di Kementerian Keuangan, pemerintah sudah merilis surat berharga negara (SBN) gross Rp 387,98 triliun. Angka ini sudah 85,8% dari target Rp 452,18 triliun. Itu artinya, pemerintah hanya punya ruang untuk menerbitkan SUN Rp 64,2 triliun sampai akhir tahun ini.

Pemerintah memang sudah mewanti-wanti akan melakukan penerbitan utang lebih besar di awal-awal tahun alias front loading. Alasannya, mengantisipasi rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang dilakukan bank sentralnya Federal Reserve. 

Kapan, The Fed menaikkan bunga? Tidak ada yang tahu. Yang pasti spekulasi mengenai waktu penetapannya sudah tersebar sejak awal tahun, bisa pertengahan tahun, September ini, dan yang terakhir, pasar memprediksi terjadi Desember 2015. 

Ketika bunga AS naik, negara global, termasuk Indonesia akan mengimbanginya dengan menaikkan bunga untuk menarik investor. Itu artinya, pemerintah harus mengeluarkan ongkos lebih dalam untuk membayar bunga utang setelah kenaikan bunga. Belum lagi, kalau rupiah kian tertekan menghadapi dollar AS. 

Pemerintah berasalan mengantisipasi kondisi tersebut dengan menerbitkan utang yang gendut di awal tahun.  The Fed akan menggelar pertemuan 16-17 September besok, dan perhatian pasar akan menuju pada pertemuan tersebut. 

Padahal, tantangan pemerintah menerbitkan utang sebelum The Fed mengetok palu pun, sama besarnya. Saat ini, kekhawatiran di pasar bergerak liar. Rupiah menembus level Rp 14.300 per dollar AS dan tertahan di level terendah sejak tahun 1998. 

Dengan pelemahan rupiah, credit default swap (CDS) Indonesia ikut menanjak. Sepanjang tahun ini, indikator risiko utang Indonesia sudah naik 49%. Dengan CDS yang tinggi, pemerintah tentu harus mengiming-imingi bunga untuk menarik investor.

Tetap cari utang

Bergantung pada mood The Fed memang tak menguntungkan bagi pemerintah Indonesia. Makanya, pemerintah tetap memutar otak mencari utangan untuk membiayai defisit APBN di tengah ketidakpastian ekonomi. Apalagi, pemerintah memperkirakan defisit membengkak menjadi Rp 260 triliun atau sekitar 2,23% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Oiya, sebagai gambaran, begini kebutuhan sumber utang Indonesia untuk pembangunan tahun ini, berdasarkan APBN-P 2015:

- Defisit Rp 260 triliun
- Kebutuhan investasi/PMN Rp 70,37 triliun
- Pembayaran jatuh tempo utang Rp 202 triliun
- Total Rp 532,37 triliun

Sedangkan sumber pembiayaan:
- Pembiayaan SBN Rp 452 triliun
- Penarikan pinjaman luar negeri Rp 48 triliun
- Pinjaman dalam negeri Rp 1,7 triliun
- Total Rp 501,7 triliun

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, tidak akan menerbitkan surat utang di luar pagu. Dari pagu yang tersisa, tahun ini, pemerintah masih akan menggunakannya dengan menggelar hajatan tahunan, yaitu menerbitkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) 012. Obligasi ritel ini akan ditawarkan 21 September sampai 15 Oktober, dengan target penyerapan Rp 20 triliun - Rp 22 triliun.

Analis obligasi BNI Securities I Made Adi Saputra sebelumnya pernah mengatakan, dengan penerbitan utang yang mulai sepi, pemerintah ingin pasar fokus pada penerbitan ORI012. Dengan begitu, pemerintah bisa menawarkan bunga kompetitif di pasar. Kementerian Keuangan akan menentukan kupon ORI012 pada 17 September mendatang.

Selain mencari dari surat utang, pemerintah punya opsi mencairkan pinjaman luar negeri yang saat ini belum maksimal. Pada pagu, penarikan pinjaman luar negeri bisa sampai Rp 48,65 triliun. Tapi, pemerintah baru merealisasikan 27% dari pagu yaitu Rp 13 triliun, per 31 Juli lalu.

Bambang bilang juga akan mencari pinjaman multilateral tambahan, misalnya sekitar US$ 1 miliar - US$ 1,2 miliar. Pemerintah negosiasi utang ini pada Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB). 

Bahkan, setelah mendapat janji suntikan pinjaman US$ 500 juta dari Dubai, pemerintah mempertimbangkan menghentikan menyetop penerbitan SUN. Nah untuk berjaga-jaga seandainya defisit kian melebar, pemerintah akan mengkaji tawaran China yang akan menyuntik dana lewat SUN.

Selain itu, pemerintah masih mengantongi pinjaman siaga dari lembaga dan negara mitra, baik multilateral serta bilateral sebesar US$ 5 miliar, yang sejak tahun 2012 sampai saat ini masih belum digunakan pemerintah. Fasilitas ini dimaksudkan memberi dukungan pembiayaan bagi pemerintah jika kesulitan mengakses sumber pembiayaan dalam negeri dan terjadinya realisasi defisi anggaran yang melampaui target APBN-P 2015. 

Diklaim masih aman

Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko di Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan bilang, penambahan utang pada periode mendatang masih menempatkan rasio utang di level yang aman. Secara teori, rasio utang yang sehat adalah di bawah 25% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dia menyebut, utang yang tidak bisa dikelola adalah yang mencapai rasio 60%.

Porsi utang Indonesia tak pernah melampaui 30% sejak enam tahun terakhir. Sebagai gambaran, per akhir Juli, utang akumulasi Indonesia mencapai Rp 2.911 triliun atau 24,8% dari PDB yang ditargetkan Rp 11.701 triliun. Namun, Robert mengklaim, utang Indonesia tetap sehat karena pengelolaan utang yang baik.

Jejak rekam rasio utang Indonesia terhadap PDB:

2008 Rp 1.636,74 triliun 33%
2009 Rp 1.590,66 triliun 28%
2010 Rp 1.676,15 triliun  26%
2011 Rp 1.803,49 triliun  25%
2012  Rp 1.975,42 triliun  27,3%
2013 Rp 2.371,39 triliun 28,7%
2014 Rp 2.604,93 triliun 25,9%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×