Reporter: Barratut Taqiyyah, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Posisi mata uang rupiah saat ini bak permainan jungkat-jungkit. Di suatu saat rupiah menguat dan berada di posisi atas, namun, dalam waktu singkat posisinya berubah sebaliknya.
Sebagai gambaran, pada kuartal pertama 2014, rupiah mencatat penguatan sebesar 7,1% versus dollar AS. Namun sejak April hingga saat ini, rupiah kembali tak berdaya dengan pelemahan mencapai 4% terhadap si hijau.
Pada 5 Juni lalu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menyentuh level 11.898 per dollar. Ini merupakan posisi terlemah sejak Februari lalu.
Penyebab rupiah terkulai
Menteri Keuangan Chatib Basri menekankan, pelemahan rupiah yang terjadi pada akhir-akhir ini hingga menembus level 11.800 adalah temporer. Menurutnya, ada dua alasan utama mengapa rupiah melemah secara temporer. Pertama, pemilihan presiden (pilpres). "Pelemahan rupiah sudah dimulai dari dua minggu lalu dari 11.300 ke 11.600," ujar Chatib pada Rabu (4/6).
Kedua, neraca dagang. Defisit neraca dagang April yang mencapai US$ 1,96 miliar mendorong rupiah bergerak lebih melemah lagi ke 11.800 per dolar Amerika Serikat (AS). Chatib optimistis, neraca dagang April yang mengalami defisit besar tidak akan kembali terulang pada bulan Mei. Hal ini diakibatkan ekspor komiditi crude palm oil (CPO) atawa minyak kelapa sawit akan kembali naik di Mei.
Seperti yang diketahui, pada pekan ini, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat ekspor pada bulan April sebesar US$ 14,29 miliar atau turun 5,29% dibanding bulan sebelumnya. Untuk impor sendiri pada bulan April tercatat sebesar US$ 16,26 miliar atau naik 11,93% dibanding Maret 2014. Alhasil terjadi defisit neraca dagang sebesar US$ 1,96 miliar.
Analis pasar uang Bank Mandiri Reny Eka Putri mengatakan, pelemahan rupiah lebih didominasi faktor politik dalam negeri. Menurutnya, pelaku pasar kurang merespons positif atas deklarasi dua pasang calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Sebab, kedua pasang capres dan cawapres ini dianggap memiliki peluang sama besar. “Ketidakpastian politik pasca deklarasi pasangan capres dan cawapres kian tinggi. Dalam hal ini tidak menguntungkan bagi rupiah,” ujar Reny, Selasa (20/5).
Ekonom Mandiri Destry Damayanti berpendapat, ada tiga tekanan yang membayangi rupiah bulan Juni dan Juli. Pertama, pembayaran utang jatuh tempo.
Kedua, repatriasi keuntungan atau pembagian dividen. Ketiga, impor yang akan meningkat akibat lebaran serta investasi yang mulai aktif pada triwulan II.
Ketiga aktivitas itu tentu akan memberatkan rupiah. Sementara itu, pada sisi pasokannya sendiri serba tidak menentu. Menurut Destry, suplai ekspor belum semuanya tinggal di perbankan nasional.
Jika dilihat, arus modal yang masuk ke pasar finansial Indonesia memang terbilang kencang. Destry bilang, dari Januari hingga Mei arus masuk tercatat Rp 120 triliun. Tidak heran apabila kemudian posisi pundi-pundi cadangan devisa pada bulan April 2014 naik menjadi US$ 105,56 miliar.
"Ke depan kita tidak yakin akan ada inflow karena menjelang pemilu. Investor wait and see," tuturnya.
Adapun Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat rupiah yang tergolong masih cukup baik saat ini tertolong dari arus masuk portofolio yang besar.
Menurut David, saat ini porsi kepemilikan asing dalam surat utang negara (SUN) mencapai 35%. Kalau asing tiba-tiba keluar karena pemerintah tidak secara struktural memperbaiki kondisi defisit transaksi berjalan akan menjadi momok bagi rupiah.
David juga menambahkan, triwulan dua menjadi periode berat bagi fundamental ekonomi karena impor yang kembali aktif serta pembagian dividen. Pemerintah perlu menjaga defisit agar tidak kembali melebar seperti yang terjadi pada tahun lalu yang mencapai 4,4% dari PDB pada triwulan dua.
Khoon Goh, senior foreign exchange strategist Australia & New Zealand Banking Group Ltd kepada Bloomberg, sepakat dengan faktor defisit. "Dengan mulai adanya kenaikan tingkat yield surat utang AS, ada kecemasan terhadap negara-negara dengan defisit tinggi akan kembali muncul. Indonesia secara mengejutkan mengalami defisit yang besar. Kondisi itu mendorong investor yang masuk ke rupuah keluar dari posisi mereka," papar Goh.
Selain itu, Gooh juga menyebut faktor pilpres sebagai sentimen yang memperlemah posisi rupiah. "Pemilu presiden tahun ini lebih mirip kontes dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sementara, defisit neraca perdagangan masih menjadi isu utama," jelas Goh. Menurut Goh, Jokowi lebih dinilai sebagai tokoh reformasi yang business-friendly. "Namun masalahnya, ada kemungkinan dia gagal memenangkan pilpres," ujarnya.
Tembus 12.000 di akhir tahun?
Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai tukar rupiah sampai akhir 2014 akan ada pada kisaran 11.600-11.800 per dolar Amerika Serikat (US$). Otoritas moneter ini menghitung, asumsi nilai tukar rupiah yang lebih rendah pada tahun ini sebagai akibat tekanan neraca transaksi berjalan.
Gubernur BI Agus Martowardojo, dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengatakan, defisit transaksi berjalan sangat berperan terhadap nilai tukar rupiah.
Pada tahun lalu defisit transaksi berjalan mencapai US$ 29,09 miliar atau 3,33% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan pada triwulan I 2014 kemarin defisit tercatat US$ 4,19 miliar atau 2,06% dari PDB.
Dengan kondisi itu, maka pada tahun ini tidak ada sentimen yang bisa mengubah nilai tukar rupiah kembali ke rata-rata yang diasumsikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 sebesar Rp 10.500 per dollar AS. Pemerintah dalam pengajuan RAPBN Perubahan 2014 menaruh rupiah pada level 11.700 per dollar AS.
Hingga akhir Juni, Destry memperkirakan rupiah bisa berada pada kisaran 11.600-11.800. Kalau hasil pemilihan presiden (pilpres) baik dan disukai pasar, baru rupiah berpotensi menguat ke level 11.400 per dolar AS.
Untuk rupiah, David menilai fundamental mata uang Garuda berada pada level 11.500. Namun bisa saja melemah lebih dalam lagi kalau perekonomian domestik serta global tidak menentu.
Goh memprediksi, rupiah akan terdepresiasi ke posisi 12.000 per dollar AS pada 31 Desember mendatang.
Sementara itu, sejumlah bank investasi asing juga memprediksi pelemahan rupiah pada akhir tahun mendatang. HSBC Holdings Plc, misalnya, memprediksi rupiah akan melemah ke posisi 12.250 per dollar AS. Sedangkan ABN Amro meramal bahwa mata uang Garuda akan merosot hingga ke posisi 12.500. Adapun Morgan Stanley menebak posisi rupiah pada akhir tahun nanti akan berada di level 12.200.
Tim Condon dari ING Groep NV memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, investor bisa mengeruk keuntungan dari pelemahan rupiah seiring datangnya bulan Ramadan pada akhir Juni dibanding fundamental ekonomi. "Data defisit neraca perdagangan akan semakin membengkak seiring datangnya musim Ramadan. Sebab, nilai impor akan meningkat," jelas Condon.
ING memprediksi, rupiah akan reli sekitar 10% hingga akhir tahun ke posisi 10.800 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News