Reporter: Adi Wikanto, Uji Agung Santosa | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Selamat tinggal ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Meski sudah puluhan tahun dibahas dan dipersiapkan, tapi tampaknya pemerintah Indonesia tak akan meratifikasi FCTC guna pengendalian tembakau.
Babak akhir rencana ratifikasi ini terlihat jelas ketika tengah tahun 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan jajarannya untuk meninjau ulang ratifikasi FCTC. "Sudah ada 183 negara di dunia yang meratifikasi FCTC. Kami nggak mau sekadar ikut-ikutan tren atau karena banyak negara yang telah ratifikasi FCTC. Kita harus betul-betul melihat kepentingan nasional Indonesia," kata Jokowi, Selasa 14 Juni 2016.
Dan akhirnya, pembahasan program ratifikasi FCTC di meja pemerintah berhenti saat ,asuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2017. Dengan begitu harapan satu-satunya pengendalian tembakau di Indonesia hanya berasal dari kebijakan cukai.
Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Ekonomi Donald Pardede mengatakan, dengan masuknya RUU Pertembakauan ke Prolegnas 2017, langkah Kementerian Kesehatan dalam pengendalian produk tembakau mundur lagi. “Kita mundur lagi dan perlu menyamakan persepsi di semua stake holder bahwa rokok harus dikendalikan, bahwa rokok merugikan kesehatan,” kata Donald ditemui KONTAN usai seminar tentang pengendalian rokok belum lama ini.
Sumber: Kemenkes
Apalagi menurutnya, persepsi tentang pengendalian konsumsi rokok antar pemerintahan juga tidak sama termasuk juga dalam ratifikasi FCTC. “Yang kami lihat, Kemkeu mendukung FCTC, tapi apa instansi lain sudah?” katanya. Selama masih banyak yang melihat rokok sebagai sumber pendapatan negara, maka akan susah bagi Indonesia untuk meratifikasi FCTC.
Dia menambahkan, harapan pengendalian rokok tinggal pada revisi UU cukai. Dengan revisi UU cukai dia berekspektasi, revisi itu akan memperbesar tarif cukai, termasuk cukai rokok. “Kami percaya, Kementerian Keuangan merevisi UU cukai juga sebagai bentuk pengendalian konsumsi rokok,” kata Donald.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) walau tidak secara langsung terlibat direvisi UU cukai, pihaknya akan mendorong agar pemerintah merevisi tarif cukai menjadi lebih besar. Dengan tarif cukai yang lebih besar, maka akan ada dampak positif dalam pengendalian konsumsi rokok.
Usaha lain, Kemenkes kembali gencar merayu Presiden Jokowi agar lebih mengutamakan pembahasan pengendalian hasil tembakau dibandingkan RUU Pertembakauan. Kemenkes telah menyurati Presiden Jokowi agar mempertimbangkan masukan Kemkes atas poin-poin yang tidak dapat dikompromikan dalam urusan kesehatan yang berkaitan dengan rokok.
Poin-poin itu antara lain iklan rokok yang tidak boleh bebas. Gambar kemasan peringatan yang besarannya mencapai 80% dari luasan bungkus rokok. Serta, penolakan penghapusan kawasan tanpa rokok.
Produksi berkurang
Peneliti dari Center for Health Economic Policy Studies Budi Hidayat dan Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany. “Kenaikan cukai rokok jadi satu-satunya pengendalian tembakau. Perhitungan kami, kenaikan cukai rokok belum optimal menekan jumlah perokok. Kenaikan cukai rokok selama ini terlalu kecil, sehingga gagal mengendalikan peredaran rokok,” kata Budi Hidayat.
Sumber: BKF
Ini terlihat dari kenaikan cukai rokok tahun 2017 yang rendah hanya sekitar 10,5%, akibatnya harga rokok hanya akan naik 7,12% dan jumlah perokok masih di sekitar 53,9 juta orang. Menurutnya akan paling terasa jika harga rokok naik menjadi Rp 50.000, artinya cukai rokok naik 438%, sehingga harga rokok naik 295,89%, dan efeknya jumlah perokok hanya tinggal 37,95 juta orang. “Pemerintah harus memperbesar kenaikan cukai rokok, jika tak ingin masyarakatnya sakit karena rokok,” kata Hasbullah.
Namun menurut Ditjen Bea Cukai, tarif cukai yang diterapkan saat ini efektif mengendalian konsumsi rokok, terutama dalam dua tahun terakhir. Direktur Cukai Ditjen Bea Cukai Sunaryo mengatakan, penurunan cukai tembakau sangat berpengaruh pada penurunan produksi rokok mencapai lebih dari 1% pada tahun ini. “Stigma orang bahwa konsumsi rokok inelastis dan tidak akan berpengaruh dengan berapapun kenaikan cukai terbantah sudah,” katanya.
Menurutnya jika dalam 3 tahun terakhir produksi rokok stagnan, tahun ini produksi turun lebih dari 1%. Selain kenaikan tarif cukai yang tinggi mencapai 13% di tahun 2016, penurunan produksi rokok, menurut Sunaryo, juga terjadi karena banyak aspek. “Kebijakan tarif cukai tahun kemarin yang naik 13% ternyata cukup berat,” katanya.
Sumber: BKF
Dia bilang tanda-tanda penurunan konsumsi akibat kenaikan tarif cukai 13% sudah ada sejak lebaran bulan Juli 2016. Jika biasanya saat lebaran selesai, stok rokok di distributor habis, menurut Sunaryo, pada tahun kemarin masih menumpuk. Tanda kedua adalah sampai dengan bulan September 2016, jika biasanya pabrikan rokok sudah bisa mentransfer seluruh kenaikan harga ke konsumen akhir, pada tahun kemarin tidak bisa dilakukan. Hal itu terindikasi dari harga di transaksi pasar masih 99% dari harga jual eceran (HJE). Dua indikasi itulah yang menunjukkan kenaikan tarif terlalu berat.
Selain kenaikan tarif yang berat, kebijakan di luar tarif juga cukup efektif. Adanya larangan merokok di tempat umum, kantor, peringatan kesehatan di kemasan, menurut Sunaryo, juga berdampak. “Jadi akumulasi baik fiskal maupun non fiskal membuat produksi rokok tidak naik bahkan turun, lebih dari 1%,” katanya.
Harus realistis
Untuk tahun 2017, menurut Sunaryo, pihaknya membuat kebijakan dengan mempertimbangkan semua aspek, baik fiskal dan nonfiskal, sehingga ketemu kenaikan tarif 10,5%. “Angka kita, angka yang realistis,” katanya. Kenaikan tarif cukai 10,5%, menurut Sunaryo, juga memperhatikan aspek pengendalian, tenaga kerja, penerimaan, dan inflasi.
Sumber: BKF
Menurutnya, Ditjen Bea Cukai dalam menentukan kenaikan tarif cukai selalu melihat aspek pengendalian dan penerimaan. Sunaryo bilang dalam hal pengendalian, secara riil selama tiga tahun produksi stagnan. “Bahkan kalau melihat pertumbuhan produksi, slopenya negatif, kemudian tahun lalu lebih dari 1% penurunannya,” katanya. Dengan angka-angka itu, menurutnya aspek pengendalian berjalan dan aspek penerimaan juga berjalan.
Tarif cukai juga mempertimbangkan, jangan sampai rokok ilegal semakin banyak. “Itulah sebabnya kita tidak berani menaikkan cukai secara gegabah, diatas yang mereka mampu. Kalau kita mau ikutin pengendalian saja, maka naikkan saja cukainya tinggi sekali. Tapi nanti yang kecil tidak mampu, sehingga menjadi ilegal,” kata Sunaryo.
Jika kemudian tarif cukai dinaikkan tinggi sekali, sehingga jeda antara golongan bawah dan atas sangat besar, maka potensi untuk ilegal akan meningkat. “Kita berusaha dekatkan,” kata Sunaryo.
Menurut Sunaryo negara yang terlalu eksesif menaikkan tarif malah rokok ilegalnya marak. Jika porsi rokok ilegal sudah sampai 20% di suatu negara, maka pengendaliannya akan susah.
Peneliti Lembaga Demografi UI Abdillah Ahsan mengatakan, pihaknya telah merekomendasikan reformasi kebijakan cukai di Indonesia. Kebijakan cukai harus direformasi karena sistem cukai yang ada tidak efektif menurunkan konsumsi rokok akibat struktur rumit dan bertingkat.
Struktur bertingkat mencerminkan bahwa kebijakan cukai tidak efisien dan simple. Kebijakan yang baik, menurut Abdillah semakin simple semakin baik, kebijakan yang rumit itu untuk melindungi satu pihak dan menekan pihak lain.
Tujuan cukai berdasarkan UU adalah untuk pengendalian konsumsi, sehingga kebijakan teknisnya seharusnya tujuan utamanya mengendalikan konsumsi. Kalau mengendalikan konsumsi, maka cukainya harus sangat tinggi. Supaya perokok terbebani, sehingga dia berhenti merokok.
Sebab rokok adalah barang yang menimbulkan kecanduan, inelastis, sehingga untuk berhenti merokok itu susah. Saat ini ada 12 tingkatan, Lembaga Demografi UI mengusulkan simplifikasi menjadi 2 tingkatan dalam lima tahun.
Dengan sistem cukai bertingkat, maka jarak antara tarif cukai termurah dengan cukai termahal, sangat lebar. Yang paling termurah Rp 4.450 per bungkus rokok legal, yang paling mahal sekitar Rp 18.000 per bungkus. Dengan kondisi ini maka konsumen memiliki banyak pilihan.
Jika dia tidak bisa membeli rokok mahal, maka akan membeli rokok yang murah. “Ini tidak efektif mengendalikan konsumsi dan memperlihatkan kebijakan cukai belum efisien,” katanya. Karena itulah, menurut Abdillah, produksi rokok meningkat menjadi 348 miliar batang di tahun 2015.
Sistem cukai bertingkat tingkat, menurut Abdillah, didasari keinginan pemerintah melindungi perusahaan rokok kecil, alasannya penciptaan lapangan kerja, perusahaan rokok kecil, dan membela rokok kretek. Dengan banyaknya prioritas kebijakan pemerintah tersebut menghasilkan kebijakan yang tidak efisien. Apalagi kalau melihat industri rokok dalam negeri saat ini, di dalamnya itu dikuasai industri rokok besar.
Penyusutan pabrik
Keinginan untuk melindungi pekerja rokok juga tidak maksimal, sebab kalau dilihat porsi kretek tangan menurun, sedangkan porsi rokok kretek mesin meningkat. Hal itu terjadi karena ada mekanisasi, peralihan dari rokok kretek tangan ke mesin.
“Itu yang dimaui oleh industri rokok, dengan begitu industri rokok tidak pro tenaga kerja, dia pro mekanisasi. Jadi kalau pemerintah bertujuan melindungi yang kecil yang labor intensif, sebenarnya industri rokok sendiri sudah menggencet yang kecil dan mulai meninggalkan kretek tangan,” kata Abdillah.
Turunnya jumlah industri rokok dari sekitar 4.000-an menjadi sekitar 700-an pabrik rokok saat ini, menurut Abdillah, juga lebih disebabkan karena ada pertarungan antara industri rokok kecil vs industri rokok besar. Namun yang terjadi adalah yang disalahkan adalah kebijakan cukai, padahal kalau dari kebijakan cukai masih melindungi perusahaan kecil SKT golongan III.
Sumber: BKF
Menurutnya industri rokok kecil juga kerap dijadikan bemper oleh industri rokok besar untuk menghambat upaya pengendalian rokok. Dia mencontohkan di tahun 2011-2012 ada tuntutan dari industri rokok kecil karena peraturan cukai saat itu di atas 57%. Tuntutan diajukan oleh industri rokok kecil (Formasi), padahal yang tarifnya di atas 57% itu industri rokok besar.
“Yang menuntut industri rokok kecil, tapi yang diuntungkan industri rokok besar,” kata Abdillah. Dalam UU Cukai Nomer 39 Tahun 2007, tarif cukai rokok maksimal 57%, sedangkan alkohol tarif cukai maksimalnya 80%.
Dengan kondisi itulah, pihaknya mengusulkan agar kebijakan cukai rokok diberikan sesuai dengan UU cukai. UU cukai bertujuan untuk pengendalian konsumsi rokok, baik rokok kretek, rokok putih, rokok mesin, rokok tangan.
Caranya adalah dengan simplifikasi cukai selama lima tahun yang ujungnya tarif cukai hanya 2 tingkat, yaitu untuk rokok mesin disamakan, mesin putih, mesin kretek disamakan. “Karena orangnya yang punya juga itu-itu saja,” kata Abdillah. Kemudian kretek tangan besar (SKT 1) dengan tarif cukai sendiri.
Dengan kebijakan cukai yang lebih mengutamakan pengendalian konsumsi, maka perekonomian bisa dibangun berdasarkan masyarakat yang sehat, bukan oleh masyarakat yang kurang sehat, bukan juga ekonomi yang disokong oleh industri rokok.
Saat ini, menurutnya, industri rokok juga masuk jaya. Abdillah mengaku mengamati lima kota produsen rokok, yaitu Kudus, Pematangsiantar, Kediri, Pasuruan, dan Jepara. Menurut pengamatannya, hanya di Jepara pekerja industri rokok turun, di empat kota lain pekerja industri rokok naik. Apalagi industri rokok saat ini juga sudah tidak bisa tidak nasionalis, karena sudah dibeli oleh perusahaan multinasional.
Nilai plus dari cukai, kalau sudah dinaikkan seluruh orang akan membayar yang sama. Kena semua orang dan menambah income pemerintah, kalau melarang iklan tidak menambah. Yang ideal dari kebijakan cukai adalah, pada saat cukai rokok naik tinggi, konsumsi rokok turun, namun penerimaan tetep naik, karena konsumsi rokok inelestis. Yang tidak ideal, penerimaan pemerintah naik tinggi, tarif cukai naik sedikit, konsumsi masih naik banyak.
Yang saat ini terjadi tarif cukai rokok naik minimal, konsumsi masih naik, produksi masih naik. Sehingga angka angka kesakitan, stroke, hipertensi naik. Data dari Prancis, angka kematian terkait kanker paru-paru di laki-laki menurun, setelah konsumsi rokok menurun dari 30-40 tahun tren. Pada saat dia naikin harga, kemudian baru diikuti penurunan angka kematian akibat kanker paru-paru pada lelaki dewasa.
Perlakuan khusus
Atas rekomendasi itu, Sunaryo mengatakan, bahwa usulan Lembaga Demografi UI untuk mereformasi sistem cukai rokok perlu diuji. “Perlu diuji. Saya pernah diskusi, sebenarnya konsen kita apa? Kalau pengendalian, kita terkendali. Jumlah produksi kita 248 miliar batang, stagnan selama tiga tahun. Itu kan terkendali. Kalau konteksnya adalah pengendalian, maka terkendali,” kata Sunaryo.
Jika kemudian cukai rokok digabung menjadi dua tier, menurut Sunaryo, yang akan dimenangkan adalah pabrikan rokok besar. Dengan mudahnya produksi rokok illegal semakin marak di beberapa wilayah produsen rokok.
Menurut Sunaryo, pihaknya tidak hanya melihat satu aspek saja, jangan sampai penurunan produksi rokok hanya dalam tataran formalitas di atas kertas, sedangkan dalam tataran realitas produksi masih naik karena banyaknya rokok ilegal. “Formalitas bagus banget, idealis. Namun secara riil di lapangan banyak yang ilegal,” katanya.
Indonesia juga tidak bisa menerapkan secara langsung kebijakan cukai di negara lain, sebab karakteristik industri rokok di tiap negara berbeda. Menurut Sunaryo, karakteristik industri rokok yang paling mirip dengan Indonesia adalah India. Walau begitu kebijakan cukai Indonesia dengan India, klaim Sunaryo, Indonesia lebih baik. Sebab di India tembakau linting, dibebaskan dari cukai, sedangkan di Indonesia masih dipungut.
“Ini beban berat bagi kami, kita tidak cuma masalah pengendalian saja. Ada aspek yang sangat majemuk, perlu pertimbangan saja, termasuk juga akibat dari kebijakan yang diberlakukan, baik ke tenaga kerja, makro ekonomi, dll,” kata Sunaryo. Dia bilang secara prinsip, simplikasi setuju, tapi apakah bisa langsung dijadikan solusi. Dengan karakter industri rokok di Indonesia yang berbeda. Itu harus dihitung dengan benar?
Menurutnya, Indonesia tidak hanya bisa merujuk ke Filipina, sebab kontribusi cukai rokok ke penerimaan negara di Filipina tidak sampai 10%, hanya sekitar 6%. Menurutnya selama ini kontribusi cukai rokok ke penerimaan negara paling besar di ASEAN, adalah Indonesia. Ditjen Bea dan Cukai menangani kebijakan cukai degan hati hati, tidak seekstrim Filipina atau Australia, karena banyak yang harus dipertimbangkan, termasuk kepentingan nasional di dalamnya.
Sumber: BKF
Ketua Gabungan Industri Rokok Putih (Gappri) Ismanu Soemiran mengatakan, industri hasil tembakau jika dilihat secara makro adalah industri yg multi complicated. “IHT tentu juga keberatan dengan RUU Pertembakauan. Karena ada pasal-pasal yang bakal menyulitkan industri,” katanya.
Dia mencontohkan, soal aturan soal impor tembakau yang dibatasi hanya 20% dari kebutuhan. Kedua, adanya cukai impor tembakau yang akan menimbulkan double taxation. Dua hal itu akan menyulitkan industri rokok karena industri rokok sudah wajib bayar cukai yang nilainya terus meningkat setiap tahun, selain itu petani lokal belum mampu swadaya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali impor. Dan terkait pembatasan impor 20% dan cukai sebenarnya sudah diatur dalam UU cukai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News