Reporter: Adrianus Octaviano, Arif Ferdianto, Ferry Saputra, Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masalah gagal bayar masih membayangi fintech peer to peer (P2P) lending. Celakanya, masalah gagal bayar tak cuma akan berefek pada fintech lending yang bersangkutan.
Sadar bahwa efek dari gagal bayar bisa menyebar kemana-mana, regulator pun makin memagari sejumlah pihak yang bersinggungan dengan fintech lending. Salah satunya adalah sektor perbankan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai menyoroti sektor perbankan yang turut menjadi pendana atau lender di fintech lending. Pasalnya, tren gagal bayar di sejumlah fintech lending bisa berdampak pada perbankan sebagai lender.
Apalagi, beberapa bank, mayoritas bank digital juga menyalurkan kredit kepada fintech melalui skema channeling.
Baca Juga: Hindari Tersangkut Gagal Bayar, OJK Minta Kredit Bank ke Fintech Lending Tak Dominan
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, per Desember 2023, pinjaman yang diberikan perbankan melalui fintech P2P Lending telah mencapai Rp 30,35 triliun dari total pinjaman yang diberikan lender dalam negeri yang senilai Rp 49,3 triliun. Pinjaman dari perbankan tersebut meningkat 45,56% secara tahunan (YoY).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengingatkan agar bank-bank ini tidak ceroboh dalam menyalurkan kredit. Terutama, jika kredit itu disalurkan melalui pihak ketiga.
Dian menyadari saat ini memang ada beberapa bank yang dominasi portofolio kreditnya melalui skema channeling dengan fintech. Oleh karenanya, OJK telah mengirim surat edaran agar bank-bank ini me-review lagi kerja sama kredit dalam hal ini dengan fintech.
“Sekarang masih sifatnya surat edaran ya, kalau nanti dibutuhkan aturannya ya bisa saja dibuatkan (pembatasan),” ujar Dian.
Dian bilang saat ini OJK selalu siap memberikan tindakan tegas apabila ada bank yang memiliki konsentrasi eksposur pada bisnis fintech yang tinggi namun tidak prudent.
“Ya harus ingat kalau mereka itu bukan fintech tapi bank jadi penyaluran kreditnya jangan reckless,” tambahnya.
Seperti diketahui, saat ini ada beberapa bank digital yang memang mayoritas penyaluran kreditnya melalui fintech. Sebut saja, PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang mayoritas melalui ekosistem GOTO.
Baca Juga: Pemerintah Kumpulkan Rp 71,72 Miliar dari Pajak Fintech dan Kripto pada Januari
Head of Sustainabilty & Digital Lending Bank Jago Andy Djiwandono mengungkapkan bahwa Bank Jago didirikan sebagai bank berbasis teknologi yang dirancang khusus untuk tertanam dalam ekosistem digital.
Alhasil, Bank Jago menyalurkan kredit melalui kolaborasi dengan ekosistem dan platform digital, seperti fintech, perusahaan pembiayaan maupun lembaga keuangan lainnya.
“Bank Jago tentu mengukur risiko-risiko dalam memilih atau menyeleksi mitra pembiayaan secara berkala,” ujar Andy.
Andy percaya melalui skema kolaborasi tersebut merupakan cara efektif untuk menyalurkan kredit secara lebih luas ke nasabah.
Sebagai informasi, berdasarkan laporan bulanan November 2023, total kredit Bank Jago telah mencapai Rp 12,68 triliun. Angka ini naik dari periode sama sebelumnya senilai Rp 8,73 triliun.
Sementara itu, ada juga PT Bank Amar Indonesia Tbk yang memang beberapa kali melakukan kredit melalui skema channeling. Salah satunya melalui Investree yang saat ini sedang dilanda gagal bayar.
Meski demikian, Direktur Korporasi, Komersial dan Operasional PT Bank Amar Indonesia Tbk Eka Banyuaji mengungkapkan bahwa saat ini menegaskan sudah tidak ada lagi channeling dengan Investree dan fokus pada penyediaan layanan keuangan digital.
Baca Juga: Masalah Gagal Bayar Tak Kunjung Usai, Lender iGrow Hanya Dicicil dengan Nominal Mini
“Sekarang kegiatan operasional kami berjalan seperti biasa dan berhentinya channeling dengan Investree tidak memiliki pengaruh pada kinerja,” ujarnya
Masalah gagal bayar fintech lending belakangan ini memang menjadi sorotan. Bahkan, sejumlah platform tercatat memiliki kredit macet di atas 5%, seperti Investree, TaniFund, hingga iGrow.
Mengenai permasalahan gagal bayar, Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyampaikan masalah utamanya adalah sistem penggunaan credit scoring yang saat ini belum optimal.
"Credit scoring saat ini hanya berfokus pada kecepatan analisis, bukan ke kualitas pinjamannya," ucapnya kepada Kontan, Kamis (22/2).
Oleh karena itu, Nailul menerangkan perlu diubah juga peraturan maupun teknologi yang digunakan untuk melakukan credit scoring. Misalnya, kata dia, dengan menambahkan data perbankan sebagai data pembanding untuk credit scoring-nya.
Selain itu, bisa juga menambahkan data-data lain yang mampu melihat kemampuan bayar calon borrower.
Menurut Nailul, OJK harus turun tangan mengubah regulasi terkait sistem credit scoring, terutama dalam pemanfaatan data perbankan.
"Sepertinya, belum diberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk mengakses data perbankan melalui pihak ketiga," kata Nailul.
Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan mencatat tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) fintech P2P lending dalam kondisi terjaga di posisi 2,93% per Desember 2023. Angka itu bisa dibilang naik sebanyak 0,12%, jika dibandingkan posisi TWP90 per November 2023 yang sebesar 2,81%.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menilai, penyebab gagal bayar bisa multifaktorial dan dapat melibatkan berbagai aspek.
Baca Juga: OJK Telah Bertemu Dengan Fintech Lending yang Salurkan Pinjaman di Bidang Pendidikan
"Salah satunya perilaku peminjam, regulasi, atau model bisnis dari platform fintech P2P lending itu sendiri," ucap Sekretaris Jenderal AFPI Tiar Karbala kepada Kontan, Rabu (21/2).
Atas dasar itu, Tiar menyampaikan AFPI mempertimbangkan langkah-langkah untuk meningkatkan pengawasan, memberikan edukasi keuangan kepada peminjam, dan terus menyempurnakan proses persyaratan peminjaman.
Dia tak memungkiri kondisi ekonomi, pendapatan, dan pemahaman tentang tanggung jawab keuangan juga memengaruhi kesehatan pinjaman.
Untuk menekan masalah gagal bayar ke depannya, Tiar mengatakan AFPI akan terus melakukan kampanye edukasi yang lebih luas dan mengadvokasi perlunya literasi keuangan yang lebih baik, terutama di kalangan generasi muda.
Dengan demikian, kata dia, pemanfaatan layanan fintech P2P lending dapat terus ditingkatkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News