kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.016.000   36.000   1,82%
  • USD/IDR 16.859   -49,00   -0,29%
  • IDX 6.503   57,52   0,89%
  • KOMPAS100 935   8,14   0,88%
  • LQ45 727   5,57   0,77%
  • ISSI 208   1,50   0,73%
  • IDX30 377   1,54   0,41%
  • IDXHIDIV20 455   2,05   0,45%
  • IDX80 106   0,88   0,84%
  • IDXV30 112   0,91   0,82%
  • IDXQ30 123   0,27   0,22%

Indonesia Mengarungi Jalur Negosiasi untuk Meredam Tarif Resiprokal Trump


Selasa, 22 April 2025 / 08:53 WIB
Indonesia Mengarungi Jalur Negosiasi untuk Meredam Tarif Resiprokal Trump
ILUSTRASI. Pemerintah Indonesia resmi menempuh jalur negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait pengenaan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Trump.REUTERS/Dado Ruvic/Illustration


Reporter: Arif Budianto, Dendi Siswanto, Diki Mardiansyah, Herlina KD, Nurtiandriyani Simamora, Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia resmi menempuh jalur negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait pengenaan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump kepada negara-negara mitra dagangnya. 

Untuk melakukan negosiasi dengan AS di Washington, Indonesia telah mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. 

Sejumlah pejabat yang turut serta dalam tim negosiasi ini antara lain Menteri Luar Negeri Sugiono, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Witjaksono dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu.

Tim delegasi negosiasi ini telah berangkat pada Kamis (17/4). Negosiasi dijadwalkan berlangsung hingga Rabu (23/4).

Baca Juga: Soal Negosiasi Tarif Trump, INDEF: Jangan Sampai Terjebak Mengikuti Mau AS

Asal tahu saja, Amerika Serikat mengenakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Trump mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% untuk Indonesia. 

Di antara negara-negara tetangga di Asia, tarif resiprokal yang dikenakan untuk Indonesia masih lebih rendah dari Vietnam yang mencapai 46%, namun lebih tinggi dari Malaysia sebesar 24%, India sebesar 26%, Jepang 24% dan Singapura sebesar 10%.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi ketimbang retaliasi.

Airlangga mengklaim, Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang mendapat tanggapan dari pemerintah AS dalam upaya memperkuat hubungan dagang.

Lewat jalur negosiasi, pemerintah Indonesia menawarkan sejumlah klausul. Di antaranya yakni meningkatkan impor berbagai komoditas dari Amerika Serikat, seperti komoditas energi (minyak mentah dan LPG), komoditas pertanian seperti kedelai dan gandum. 

Namun Airlangga menekankan, peningkatan impor dari AS sifatnya pengalihan impor komoditas serupa dari negara lain. Artinya, peningkatan impor ini tidak akan menambah alokasi impor Indonesia. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, upaya meningkatkan porsi impor komoditas energi dari AS dilakukan demi menciptakan keseimbangan neraca dagang AS dan Indonesia. 

“Salah satu strategi untuk kita membuat keseimbangan adalah kita membeli LPG, minyak, dan BBM dari Amerika. Nilainya bisa di atas US$ 10 miliar dari sektor BBM, minyak mentah, LPG, maupun BBM,” ujar Bahlil usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (17/4).

Baca Juga: 10 Poin Hasil Negosiasi Indonesia dengan AS Soal Tarif Trump

Asal tahu saja, selama ini, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan dengan AS.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),  pada tahun 2015 AS menyumbang surplus neraca perdagangan sebesar US$ 8,65  miliar, dengan puncak tertinggi pada 2022 yakni mencapai US$ 16,67 miliar. Bila ditotal sejak 2025 hingga Maret 2025, maka AS telah menyumbang surplus sebanyak US$ 115,78 miliar.

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS tersebut paling didorong oleh peningkatan neraca perdagangan non minyak dan gas (migas).

Beri Insentif

Selain peningkatan impor, pemerintah Indonesia juga menawarkan insentif dan fasilitas bagi perusahaan AS yang ada di Indonesia.  

"Indonesia juga memfasilitasi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang selama ini beroperasi di Indonesia, dan tentunya ada hal-hal yang terkait dengan perizinan dan insentif yang dapat diberikan," ujar Airlangga dalam Konferensi Pers di Washington DC yang dipantau secara daring, Jumat (18/4).

Di sektor strategis, Indonesia menawarkan kerjasama dalam pengelolaan critical minerals dan penyederhanaan prosedur impor untuk produk hortikultura dari AS.

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Akan Dipengaruhi Hasil Negosiasi Tarif Trump

Dari sisi investasi, Indonesia juga mendorong investasi strategis dengan skema business to bussiness. Fokus pengembangan diarahkan pada sektor pendidikan, sains, teknologi, engineering, matematika, ekonomi digital, hingga layanan keuangan.  

Airlangga juga menyoroti, khususnya sektor tekstil dan garmen yang kini menghadapi lonjakan tarif bea masuk hingga mencapai 47%. 

Kekhawatiran tersebut mencuat seiring dengan diberlakukannya tarif tambahan sebesar 10% oleh Amerika Serikat selama periode 90 hari. 

Airlangga menjelaskan bahwa tarif ekspor produk tekstil dan garmen Indonesia sebelumnya berkisar antara 10% hingga 37%. Dengan penambahan 10% dari kebijakan baru ini, maka tarif total dapat mencapai 47% untuk produk tertentu.

Untuk itu, Indonesia juga meminta penetapan tarif yang lebih rendah dari negara kompetitor untuk produk ekspor utama yang tidak bersaing dengan industri lokal di AS. Seperti garmen, alas kaki, tekstil, furnitur dan udang.

"Saat sekarang untuk produk ekspor utama Indonesia seperti garmen, alat kaki, tekstil, furniture, dan udang itu menjadi produk yang Indonesia mendapatkan tarif bea masuk lebih tinggi dibandingkan beberapa negara pesaing, baik dari ASEAN maupun non-ASEAN negara Asia yang lain," ujar Airlangga dalam Konferensi Pers di Washington DC yang dipantau secara daring, Jumat (18/4).

Pemerintah berharap, proses negosiasi ini akan rampung dalam 60 hari ke depan.

Selama periode tersebut, kerangka atau framework perjanjian sudah disepakati, yang mencakup beberapa aspek penting, termasuk kemitraan perdagangan dan investasi, kemitraan di sektor mineral penting, serta upaya untuk meningkatkan ketahanan dan keandalan koridor rantai pasok yang memiliki resiliensi tinggi. 

"Kami berharap dalam 60 hari kerangka tersebut bisa ditindaklanjuti dalam bentuk format perjanjian yang akan disetujui antara Indonesia dan AS," kata Airlangga.

Keluhan AS

Selama proses negosiasi, Indonesia juga menerima berbagai keluhan dari AS terkait aturan maupun kebijakan di Indonesia yang dinilai menghambat. Salah satunya, perusahaan AS mengeluhkan praktik bea cukai Indonesia yang dinilai menghambat perdagangan.

Dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) mengungkap berbagai tantangan yang secara konsisten dihadapi perusahaan Amerika Serikat saat berurusan dengan sistem Bea Cukai Indonesia.

Menurut laporan tersebut, petugas bea cukai Indonesia kerap menggunakan jadwal harga referensi (reference prices) sebagai dasar penilaian nilai barang impor, alih-alih menggunakan nilai transaksi aktual seperti yang diwajibkan oleh WTO Customs Valuation Agreement (CVA). 

Praktik ini dianggap bertentangan dengan standar internasional dan seringkali menyebabkan nilai bea masuk menjadi tidak sesuai dengan kenyataan.

Tak hanya itu, AS juga menilai aturan bea cukai barang digital seperti konten unduhan dan perangkat lunak. Bea Cukai Indonesia menetapkan berbagai persyaratan dokumen dan prosedur pelaporan yang harus dipenuhi untuk produk tak berwujud (intangible goods). 

Menurut AS, peraturan tersebut menciptakan beban administratif yang signifikan pada industri AS dengan memberlakukan persyaratan penyimpanan dokumen baru yang tidak jelas dan tidak pasti.

Baca Juga: Waspada Dampak Negosiasi Tarif AS Mengancam Surplus Neraca Perdagangan Indonesia

Hal lain, AS juga menyoroti lambatnya proses restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas impor di Indonesia. Pelaku usaha AS mengaku kesulitan dalam mendapatkan pengembalian pajak atau restitusi pajak yang telah dibayarkan di muka.

Di bidang keuangan, USTR mengkritisi penerapan QRIS yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PDAG) nomor 21/18/PDAG/2019 yang dinilai membatasi ruang gerak perusahaan asing. 

Terkait hal ini, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti menyampaikan, baik QRIS ataupun sistem pembayaran lainnya (fast payment), Indonesia selalu menjajaki Kerjasama dengan negara lain tanpa membeda-bedakan.

"Itu memang sangat tergantung dari kesiapan masing-masing negara. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa enggak?," ungkap Destry Senin (21/4).

Waspadai Dampak Negatif

Pemerintah menempuh upaya negosiasi tarif resiprokal dengan Amerika Serikat demi mendapatkan tarif yang lebih rendah dari yang diberlakukan. Namun, sejumlah pihak mengingatkan agar pemerintah juga mempertimbangkan efek negatif dari negosiasi ini.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan, jika kesepakatan negosiasi yang dihasilkan mengharuskan Indonesia meningkatkan impor dari AS, maka perlu dianalisis secara menyeluruh karena dapat mempengaruhi surplus neraca perdagangan Indonesia.

Saat ini Amerika Serikat (AS) merupakan mitra dagang dengan surplus terbesar bagi Indonesia. Sepanjang Januari hingga Maret 2025, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 4,32 miliar.

Meski demikian, Josua menilai, peningkatan impor dari AS, khususnya pada komoditas seperti minyak, gas, gandum, kedelai, dan alat utama sistem persenjataan (alutsista), berpotensi menekan surplus tersebut secara signifikan.

“Maka (apabila impor meningkat) surplus tersebut berpotensi menyusut signifikan, atau bahkan dalam skenario ekstrem, bisa berubah menjadi defisit dalam hubungan bilateral Indonesia-AS,” tutur Josua.

Baca Juga: Pesan Beijing bagi Negara Mitra: Jangan Buat Kesepakatan dengan AS yang Rugikan China

Josua juga menilai, bahwa peningkatan impor dari AS bisa menjadi titik balik bagi tren neraca perdagangan nasional secara keseluruhan. Hal ini terutama berlaku jika peningkatan impor tersebut tidak diimbangi oleh kenaikan ekspor ke negara-negara lain.

Tren penyempitan ini dikhawatirkan berlanjut apabila tekanan impor dari kesepakatan bilateral semakin besar.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho mengatakan, dalam melakukan negosiasi, Indonesia perlu mengajukan proposal yang konkret dan jangan terjebak pada posisi yang defensif dan hanya mengikuti apa mau Amerika Serikat.

Andry menjelaskan, negara lain saat tengah memperkuat posisi industrinya masing-masing dengan mencoba mengurangi ketergantungan terhadap AS. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan oleh Indonesia meskipun perlu memperbaiki beberapa Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“Karena kebijakan TKDN menurut saya di semua negara itu bahkan di AS sendiri ada dan jangan terpaku terhadap hal-hal yang memang ditudingkan oleh AS kepada kita seperti QRIS, produk palsu di Mangga Dua,” jelasnya.

Lebih lanjut, Andry menegaskan, pemerintah perlu fokus melakukan penguatan tersebut industri dalam negeri bukan malah membuka impor seluas-luasnya.

“Ini jangan sampai kita malah didikte dengan posisi-posisi seperti ini,” tandasnya.

Selanjutnya: Begini Rekomendasi Saham Emiten Prajogo Pangestu PTRO dan CUAN yang Berikan Dividen

Menarik Dibaca: Edukasi Trading, Training Super Cluster Digelar di Berbagai Kota

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×