Reporter: Eldo Christoffel Rafael, Sanny Cicilia, Umi Kulsum | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia tengah sibuk berbenah agar bisa meluncur mulus dalam arus revolusi industri 4.0. Seberapa siap Indonesia menghadapi disrupsi ini beranjak dari posisi Indonesia saat ini?
Revolusi industri 4.0 merupakan langkah lebih maju dari 3.0, yaitu komputerisasi. Ini akan menjadi masa di mana industri berkombinasi antara sistem siber fisik, internet of things, dan sistem internet yang nantinya akan melahirkan smart-factory.
Kementerian Perindustrian menyederhanakannya begini. Revolusi industri 4.0 merupakan sebuah lompatan besar di sektor manufaktur dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara penuh.
Diterapkan tidak hanya dalam proses produksi, melainkan juga di seluruh rantai nilai agar meningkatkan kualitas dan efisiensi dalam proses produksi.
Karena itu, pebisnis akan berlomba-lomba berbenah agar dapat memanfaatkan sistem teknologi dan komunikasi terbaru ini untuk meningkatkan bisnisnya. Terutama pada aspek penguasaan teknologi digital yang menjadi kunci utama meningkatkan daya saing. Misalnya, pemanfaatan teknologi internet of things, big data, cloud computing, artificial intellegence, mobility, virtual dan augmented reality, sistem sensor dan otomasi, serta virtual branding.
Di mana posisi Indonesia?
Chairil Abdini, mantan Deputi Kebijakan di Kementerian Sekretariat Negara menggambarkan Indonesia di posisi nascent atau baru lahir.
Ini adalah negara dengan tingkat produksi terbatas yang menunjukkan rendahnya kesiapan karena lemahnya komponen performa produksi. Komponen yang disebut sebagai drivers of production ini ada enam, yaitu teknologi & inovasi, sumber daya manusia, perdagangan & investasi global, framework institusional, sumber daya berkelanjutan, serta kondisi permintaan.
Di Asia Tenggara, Indonesia ada di posisi nascent bersama dengan Kamboja dan Vietnam.
Posisi nascent adalah posisi paling bontot dibanding kategori lainnya, yaitu leading, high-potential, dan legacy.
Negara tetangga terdekat kita, Singapura dan Malaysia sudah termasuk leading, alias memiliki dasar yang kuat dan posisi yang baik untuk masa depan. "Negara-negara ini memiliki nilai ekonomi paling siap untuk disrupsi masa depan," tulis Chairil dalam risetnya yang diterima KONTAN, Jumat (23/11).
Kelemahan Indonesia ada di berbagai aspek. Misalnya di teknologi & inovasi, korporasi di Indonesia masih lemah mengalokasikan anggaran belanja modal untuk riset dan pengembangan (R&D), publikasi ilmiah, dan pengajuan paten.
Di framework institusi, Indonesia masih lemah di efisiensi regulasi. Sedangkan di sumber daya berkelanjutan, pengolahan limbah air juga masih belum mumpuni di Tanah Air.
Untuk Indonesia, ada beberapa cara agar tetap mengimbangi persaingan di tengah industri 4.0.
Dari sisi stuktur produksi, pebisnis Indonesia perlu meningkatkan kompleksitas, misalnya dengan mengembangkan kecakapan untuk memproduksi berbagai varisasi produk ekspor dan jasa.
Di sisi penopang produksi, pebisnis di Indonesia perlu menambah anggaran belanja R&D, memperluas daya tangkap jaringan telekomunikasi LTE, meningkatkan perdagangan global, mengurangi korupsi, hingga menjaga ketersediaan sumber daya.
Target pertumbuhan
Kementerian Perindustrian menghitung, implementasi Making Indonesia 4.0 yang sukses akan mampu mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil sebesar 1%- 2% per tahun. Dengan begitu, pertumbuhan PDB per tahun akan naik dari baseline sebesar 5% menjadi 6%-7% selama tahun 2018-2030.
Nantinya, angka pertumbuhan ekspor ditargetkan bisa kembali menjadi 10%. Lalu akan ada peningkatan produktivitas dengan adopsi teknologi dan inovasi, serta mewujudkan pembukaan lapangan kerja baru sebanyak 10 juta orang pada tahun 2030.
Dalam tahap awal, pemerintah akan memprioritaskan peleburan digital, internet, dan manufaktur ini menjadi gelombang di lima sektor yaitu, makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia, serta elektronika.
Industri makanan dan minuman mengaku, kesulitan menerapkan industri 4.0 utuh adalah infrastruktur provider teknologi yang masih kurang, serta kelenturan regulasi yang bakal menaunginya. Padahal, diakui, penerapan ke lingkup digital ini agar tak terlindas kompetisi tingkat global.
Adhi Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) pernah menyebut, saat ini, beberapa pabrikan baru menerapkan secara parsial. Jika sudah penuh memanfaatkan teknologi seiring arus 4.0, industri mamin diharapkan bisa tumbuh di atas 10% per tahun. Saat ini, pertumbuhan industri mamin diperkirakan sekitar 8%-9%.
Ancaman PHK
Peralihan tenaga kerja dari manusia pada teknologi juga menjadi perhatian bagi ketenagakerjaan. Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mengatakan, mengacu pada salah satu lembaga riset di dunia, memasuki industri serba teknologi ini diasumsikan akan ada 50 juta orang kehilangan pekerjaan lamanya.
Ada 30 juta orang di antaranya akan mampu mengikuti perkembangan industri 4.0, sementara sisanya sebanyak 20 juta orang yang tidak mampu untuk ikut ke arah sana.
Ancaman ini datang karena masih ada gap di manufaktur Indonesia. "Industri kita masih belum padat modal tapi masih banyak padat karya. Di mana investasi-investasi ini sifatnya menggunakan karyawan yang berjumlah ribuan. Bertransformasi ke digitalitasi, mekanisasi, otomatisasi pasti akan terjadi pengurangan," kata Dede bulan lalu. Belum lagi serbuan tenaga kerja asing yang akan berkompetisi dengan tenaga kerja lokal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News