kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Fed bersiap lepas landas, rupiah ke Rp 14.000


Minggu, 08 November 2015 / 05:30 WIB
Fed bersiap lepas landas, rupiah ke Rp 14.000


Reporter: Adinda Ade Mustami, Namira Daufina, Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Oktober lalu bisa menjadi bulan terbaik sepanjang tahun 2015 dalam catatan angka tenaga kerja Amerika Serikat (AS). Tengok saja, ada 271.000 tenaga kerja (non farm payroll) bertambah di bulan lalu, jauh lebih besar ketimbang perkiraan pasar yaitu penambahan 185.000.

Tak hanya itu, tingkat pengangguran di Negeri Paman Sam itu turun menjadi 5% atau berada di level terendah sejak 2008. Padahal, sebelum kabar baik ini dirilis Jumat (6/11) kemarin, kekhawatiran terhadap dampak perlambatan ekonomi global mulai dirasakan mempengaruhi AS. “Ini adalah yang terbaik atas laporan pekerjaan tahun ini,” kata Andrew Chamberlain, Kepala Ekonom Glassdorr dikutip dari CNN Money.

Sinyal perbaikan perekonomian AS bisa dilihat dari tanda-tanda jumlah orang Amerika yang bekerja paruh waktu karena pelemahan ekonomi turun menjadi 5,7 juta di bulan Oktober.

Head of Global Strategy Andrew Milligan menuturkan, penurunan pekerja paruh waktu menunjukkan bahwa pemilik usaha cukup percaya diri terhadap perekonomian untuk mengambil lebih banyak karyawan penuh waktu. "Perekonomian AS kembali ke tren yang cukup positif," kata Milligan.

Positifnya data ekonomi memiliki implikasi besar bagi Federal Reserve alias Bank Sentral AS. Para petinggi yang dipimpin oleh Gubernur Janet Yellen sangat mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga di bulan Desember mendatang.

Pertama kalinya dalam periode hampir satu dekade ini. Di mana The Fed telah mempertahakan suku bunga acuannya di level nol sejak tahun 2008 lalu.

Laporan yang lebih baik dari perkiraan saat ini meningkatkan kemungkinan The Fed untuk mengambil kebijakannya di bulan mendatang. “Mereka akan mengambil keputusan di Desember,” ujar Brad McMillan, Chief investment Officer Commonwealth Financial Network.

Suramnya ekonomi global

Sebenarnya, Rabu (4/11) Gubernur The Fed Janet Yellen sudah memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga pada pertemuan federal open market committee (FOMC) Desember nanti.  Yellen optimisme perekonomian AS semakin kuat.

Dia mencontohkan perbaikan di pasar tenaga kerja, belanja konsumen dan juga mulai mendorong inflasi ke arah yang ditargetkan The Fed sebesar 2,0%. "Pada titik ini, saya melihat ekonomi AS sebagai berkinerja baik," kata Yellen.

Sudah cukup lama, suku bunga acuan The Fed dikunci di level nol yang tujuannya mendorong laju pertumbuhan pasca resesi 2008.  Tetapi, sekalipun Amerika telah perlahan-lahan pulih dari resesi besar, pertumbuhan global yang lebih lambat telah membuat kenaikan suku bunga pertama ditunda, karena The Fed mempertimbangkan risiko-risiko yang sedang berlangsung terhadap ekonomi AS.

Asal tahu saja, ada tiga hal pokok, menurut Goldman Sachs, yang dapat dipertimbangkan sebagai faktor penentu kenaikan suku bunga (liftoff) seperti yang terjadi September lalu. Yakni, pertumbuhan upah, jebloknya harga minyak, dan suramnya perekonomian global.

Terlepas dari itu, spekulasi pasar terhadap peluang kenaikan suku bunga The Fed di Desember meningkat menjadi 72%. Di mana, sebelum komentar Yellen peluangnya hanya 56% atau jauh lebih besar dari bulan lalu hanya 36%.

Nah, meningkatnya spekulasi kenaikan suku bunga The Fed langsung ,menguatkan otot dollar AS. Pasangan EUR / USD turun ke level terendah sejak April lalu yakni berada di level 1.0707, Sabtu (7/11).

Kembali sentuh level Rp 14.000

Lalu bagaimana nasib rupiah?. Asal tahu saja, rupiah mulai kehabisan tenaga pada pengujung pekan kemarin. Testimoni Gubernur The Fed menggerogoti kekuatan mata uang Garuda.

Jumat (6/11), di pasar spot, rupiah melemah 0,16% ke level Rp 13.564 per dollar AS. Meski demikian, penguatan yang berlangsung sejak awal pekan masih menyelamatkan posisinya.

Alhasil, sepekan rupiah masih unggul 0,87%. Sementara, kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, kemarin, rupiah terapresiasi 0,38% ke posisi Rp 13.550 per dollar. Adapun, sepekan, penguatan mencapai 0,65%.

Research and Analyst Fortis Asia Futures Sri Wahyudi menyebutkan, pekan kemarin, data domestik menjadi amunisi rupiah. Wajar, dua bulan berturut-turut, Indonesia mencatatkan deflasi. Ini memberi optimisme target inflasi tahunan bisa tercapai. Selain itu, pertumbuhan domestik bruto (PDB) kuartal III lebih baik dari kuartal sebelumnya.

Namun, kekuatan rupiah mulai terkikis pada akhir pekan. Yellen optimistis akan peluang kenaikan suku bunga acuan pada akhir tahun ini. "Dollar AS lebih kuat, sehingga mempersempit penguatan rupiah," ujar Wahyudi.

Analis Pasar Uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto menduga, peluang penguatan rupiah mengecil pada pekan depan. Apalagi, rilis data tenaga kerja Paman Sam cukup solid. “Data tersebut bisa meningkatkan optimisme kenaikan suku bunga AS,” jelasnya.

Di sisi lain, domestik minim sentimen pada pekan depan. Hanya ada rilis data neraca berjalan di akhir pekan. Namun, kata Rully, jika defisit neraca berjalan mengecil, bisa sedikit menopang rupiah.

Prediksinya, rupiah rentan melemah ke kisaran Rp 13.485–Rp 13.800 per dollar AS. Wahyudi menebak, pekan depan, rupiah bergulir antara Rp 13.410–Rp 13.650 per dollar AS.

Sementara itu, ekonom BII Juniman bilang, rupiah justru bisa kembali menyentuh level Rp 14.000-Rp 14.500 per dollar AS. Di samping faktor eksternal seiring spekulasi The Fed, faktor internal pun kian menekan.

Kebutuhan dollar akhir tahun akan naik karena pembayaran utang luar negeri termasuk bunga serta dividen. Di sisi lain, cadangan devisa terus tergerus.

Saat ini, cadangan devisa Oktober mencapai US$ 100,7 miliar, turun US$ 1 miliar dari posisi US$ 101,7 miliar. “Turunnya cadangan devisa akibat kenaikan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta stabilisasi rupiah,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara.

Untuk meredam tekanan rupiah, ekonom Bank Permata Josua Pardede menyarankan BI tetap harus masuk pasar karena masih ada tekanan net sell senilai US$ 300 juta. Di samping itu, butuh langkah lain meredam tekanan rupiah yang bisa dilakukan oleh pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×