kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Era baru sertifikasi halal


Senin, 16 April 2018 / 17:26 WIB
Era baru sertifikasi halal
ILUSTRASI. Logo Halal MUI


Reporter: Havid Vebri, Lamgiat Siringoringo, Merlinda Riska, Ragil Nugroho | Editor: Mesti Sinaga

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla tampak seksama menyimak presentasi Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) Nur Syam. Begitu pengakuan Syam.

Syam yang siang itu berbalut batik dengan warna cokelat gelap melaporkan perkembangan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Produk Halal (RPP JPH).

Kepada Wapres, Syam menjelaskan alotnya pembahasan RPP yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal tersebut. “Setelah selesai harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM, begitu sampai di Kementerian Sekretariat Negara dikembalikan lagi ke Kementerian Agama dan kementerian/lembaga terkait untuk dibahas lagi,” katanya.

Dalam pertemuan yang berlangsung Rabu (7/3) lalu, turut hadir Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso, Staf Ahli Menteri Agama Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Janedjri, serta Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Siti Aminah.

Tak bisa dipungkiri, pembahasan RPP JPH memang sangat alot. Mulai digodok sejak 2015, calon beleid ini tidak kunjung terbit hingga kini. Target awal: RPP JPH terbit 2016.

Mastuki, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag, mengungkapkan, pembahasan rancangan aturan  itu lamban lantaran sulit menyatukan persepsi antarkementerian dan lembaga. Ada sekitar sembilan kementerian dan lembaga yang terlibat dalam pembahasan RPP JPH.

“Jadi, bukan hanya domain Kemenag, ada banyak kementerian yang bersinggungan dengan kewajiban sertifikasi halal,” ungkap Mastuki.

Pembahasan yang liat itu gara-gara ada permintaan sejumlah kementerian yang ingin produk di bawah wewenang mereka dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal.

Misalnya, permintaan dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian. “Bahkan, Menteri Kesehatan pernah menemui Menteri Agama membahas soal ini, mereka minta vaksin dikecualikan,” sebut Mastuki.

Ya, Pasal 4 UU JPH memerintahkan, produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Produk itu mencakup semua barang dan jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau yang dimanfaatkan oleh masyarakat.

Alhasil, Mastuki bilang, permintaan sebuah produk dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal sulit dipenuhi. Namun, untuk Kementerian Kesehatan, BPJPH akan memberikan pasal pertimbangan. Yakni, sepanjang produk obat dan vaksin memang untuk keselamatan jiwa, maka masih diperbolehkan beredar tanpa mendapat label halal.

Di luar itu, seluruh barang dan jasa tetap wajib memiliki sertifikat halal. Cuma, menurut Syam, Kemenag tetap akan berhati-hati dalam merumuskan aspek sosial terkait jaminan halal suatu produk. Terutama, untuk barang gunaan.

Soalnya, barang gunaan terkadang dipahami dengan berbagai makna. Contoh, produk mode. “Barang gunaan seperti fashion macam-macam maknanya. Padahal, di situ hanya menyangkut bahan gunaan dari kulit. Hal-hal ini harus kami selesaikan,” tutur Syam.

Kelar bulan ini

Meski belum ada titik temu, Kemenag sangat berharap, RPP JPH bisa terbit dalam  waktu dekat. “Mudah-mudahan Maret bisa selesai. Kami butuh penyelesaian lebih cepat. Ada banyak hal yang harus kami lakukan ke depan,” imbuh Syam.

Maklum, tanpa ada PP JPH, BPJPH yang sudah terbentuk tak bisa bekerja maksimal. Kemenag sendiri meresmikan BPJPH, Oktober 2017. “Karena RPP belum kelar, pekerjaan kawan-kawan BPJPH jadi terkendala,” imbuh Syam.

Kalau tidak ada aral melintang, pemerintah bakal memberlakukan aturan kewajiban sertifikasi halal mulai Juni 2019 mendatang. Sejak saat ini, semua barang dan jasa yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah negara kita mesti bersertifikat halal.

Kelak, kewajiban bersertifikat halal berlangsung bertahap.

Tahun kesatu produk yang wajib memiliki sertifikat halal adalah barang dan jasa yang terkait makanan dan minuman.

Tahun kedua, produk berupa barang dan jasa yang berhubungan dengan kosmetik, produk kimiawi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat. Tahun ketiga, barang dan jasa yang terkait obat dan produk biologi.

Berbekal beleid ini, BPJPH bisa melaksanakan tugas dan wewenangnya secara penuh. Ambil contoh, melakukan registrasi, sertifikasi, dan penentuan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Kendati ruang geraknya masih terbatas, lembaga yang mengakhiri kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengeluarkan sertifikat halal ini sudah mulai bekerja menyiapkan infrastruktur pendukung. Misalnya, sistem pelayanan online untuk masyarakat atau badan usaha yang ingin mengurus sertifikat halal.

Kepala BPJPH Sukoso mengatakan, sampai sekarang, lembaganya masih terus melakukan perbaikan sistem layanan daring itu. “Sistem online ini juga berlaku bagi LPH yang ingin mendaftar atau registrasi ke BPJPH,” tambahnya.

Pembentukan LPH juga merupakan amanat UU JPH. Pasal 7 beleid ini menyebutkan, dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, BPJPH juga bekerjasama dengan LPH.

Padahal, Sukoso membeberkan, cukup banyak pihak yang tertarik menjadi LPH. Saat BPJPH menggelar rapat koordinasi calon LPH belum lama ini, ada sekitar 50 peserta dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta yang mengajukan diri sebagai lembaga yang melakukan pemeriksaan dan pengujian kehalalan produk itu.

Pemerintah memang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat termasuk organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam dan perguruan tinggi mendirikan LPH.

Tapi, Kepala Pusat Kerjasama dan Standardisasi Halal BPJPH Nifasri menyampaikan, LPH wajib terakreditasi. BPJPH bekerjasama dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN) akan melakukan akreditasi.

Selain itu, setiap LPH minimal harus punya tiga auditor halal yang memenuhi syarat. Persyaratannya adalah warga negara Indonesia (WNI), beragama Islam, berpendidikan minimal strata satu (S1) dari bidang ilmu tertentu, memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk, serta mengantongi sertifikat dari MUI.

Sedang syarat pendirian LPH: mempunyai kantor sendiri dan perlengkapannya, akreditasi dari BPJPH, serta laboratorium atau kesepakatan kerjasama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.

Nah, Nifasri menjelaskan, dalam proses sertifikasi halal, BPJPH akan menggandeng LPH yang berwenang mengaudit, menilai, dan menguji kehalalan sebuah barang atau jasa.

MUI tetap dilibatkan
Meski ada BPJPH, kewenangan MUI dalam kewajiban sertifikasi halal tidak benar-benar hilang. Penetapan kehalalan produk tetap jadi wewenang MUI lewat sidang fatwa halal.

Hasil audit LPH menjadi bahan bagi MUI untuk menyelenggarakan sidang fatwa. Hasil keputusan sidang inilah yang jadi dasar penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH. “Saat ini, sudah ada beberapa lembaga yang mengajukan diri untuk mendirikan LPH,” ujar Nifasri.

Salah satunya Muhammadiyah. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tabligh Yunahar Ilyas mengaku, organisasinya sudah memutuskan akan mendirikan LPH. “Bahkan, Ketua LPH-nya sudah kami siapkan,” katanya.

Kemungkinan basis kerjasamanya di kampus-kampus Universitas Muhammadiyah yang memiliki Fakultas Farmasi dan Teknologi Pangan atau fakultas lain yang terkait. “Insya Allah, sumber daya manusia Muhammadiyah cukup untuk mengaudit apa-apa saja yang akan disertifikasi,” ujar Yunahar.

Dan, Yunahar memastikan, Muhammadiyah tidak mempermasalahkan MUI tetap dilibatkan dalam penerbitan sertifikasi halal. Sebab, MUI sudah berpengalaman selama 30 tahun melaksanakan sertifikasi halal. “Waktu masih ditangani MUI pun sebenarnya kami tak mempersoalkan,” tegasnya.

Endi Astiwara, Anggota Komite Fatwa MUI, juga tidak masalah dengan pencabutan wewenang MUI dalam menerbitkan sertifikat halal. Toh, lembaga yang berdiri 1975 silam ini masih dilibatkan dalam menggelar sidang fatwa halal dan melakukan sertifikasi terhadap auditor halal.

Dengan keterlibatan itu, MUI pun tetap bisa memastikan, kewajiban sertifikasi halal di bawah BPJPH sesuai prinsip-prinsip syariah. Hanya memang, tak mudah mempersiapkan wajib halal ini. “Banyak sekali persiapannya,” sebut Endi.            

Ada Potensi Menghambat Dunia Usaha

Kewajiban sertifikasi halal untuk semua barang dan jasa yang beredar di Indonesia di mata Ekonom Institute for Development Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira kurang tepat. Sebenarnya, aturan main tersebut lebih pas untuk industri makan dan minuman saja. “Karena fungsi sertifikasi halal di situ,” cetus dia.

Sementara untuk sektor lain, pemerintah perlu mengkaji lagi urgensinya.  “Jangan sampai kebablasan, sektor-sektor yang kurang relevan tetap dipaksa melakukan sertifikasi halal,” ujarnya.

Bima khawatir, pemaksaan kebijakan ini bisa menghambat dunia usaha. Soalnya, ada beban biaya baru yang harus ditanggung pelaku usaha.  Biaya pengurusan sertifikat halal cukup mahal. 

Ia mencontohkan, sektor farmasi yang sepanjang tahun lalu hanya tumbuh 4,53%. Bahkan, di triwulan IV 2017 sempat tumbuh negatif 5,46%. “Kalau ini dipaksakan, tentu sektor farmasi akan semakin tertekan,” katanya. Dia juga menilai, wajib halal untuk semua barang dan jasa kontraproduktif dengan semangat deregulasi dari pemerintah.

Pendapat berbeda datang dari Direktur Penelitian Center of Reform on Economic (Core) Mohammad Faisal. Menurutnya, kebijakan tersebut sejalan dengan tren halal di masyarakat.

Beberapa tahun belakangan, ia menyebutkan, kecenderungan masyarakat mengonsumsi produk halal terus meningkat. “Jadi, dalam jangka panjang memang ada kebutuhan produk halal di masyarakat,” imbuhnya.

Meski begitu, penerapan kewajiban sertifikasi halal harus bertahap.   Jika langsung berlaku untuk semua produk dan jasa, tentu membutuhkan kesiapan infrastruktur seperti laboratorium yang banyak.

Bila dipaksakan langsung jalan serentak, jelas infrastruktur yang ada belum bisa mengimbangi banyaknya produk yang akan disertifikasi. Belum lagi, sistem pengawasannya juga tidak sederhana.

Pentahapan ini juga membutuhkan sosialisasi yang gencar ke masyarakat dan industri. Sehingga, mereka benar-benar siap dengan kebijakan baru itu. Bisa jadi, kata Faisal, penolakan kalangan pengusaha dan masyarakat akibat kurangnya pemahaman secara utuh tentang kebijakan tersebut.

Nah, supaya ketentuan ini bisa maksimal, pemerintah perlu menyusun peta jalan tentang tahapan-tahapan dan pencapaian-pencapaian target dalam kewajiban sertifikasi halal.

Berikutnya: Beban baru pebisnis di depan mata

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 12 Maret - 18 Maret 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Menuju Era Baru Sertifikasi Halal"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×