kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Ekonomi Indonesia 2022: Antara Kenaikan Suku Bunga, Harga Komoditas dan Geopolitik


Senin, 08 Agustus 2022 / 07:20 WIB
Ekonomi Indonesia 2022: Antara Kenaikan Suku Bunga, Harga Komoditas dan Geopolitik


Reporter: Anna Suci Perwitasari, Bidara Pink | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kombinasi dari membaiknya konsumsi rumah tangga dan ledakan ekspor akibat kenaikan harga komoditas membuat pertumbuhan Indonesia meroket di kuartal II-2022.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 mencapai 5,44% secara tahunan (yoy). Ini juga menjadi tingkat pertumbuhan ekonomi tercepat Indonesia dalam 1 tahun.

Realiasi ekonomi Indonesia yang tumbuh 5,44% di periode April-Juni 2022 ini juga lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2022 yang hanya 5,01% yoy.

Pada kuartal II-2022, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor utama bagi produk domestik bruto Indonesia.

Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2022 sebesar 5,51% yoy. Dengan ini, konsumsi rumah tangga memberikan andil sebesar 2,92% terhadap angka pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dengan adanya pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan keputusan pemerintah yang memperbolehkan mudik Lebaran pada bulan Mei silam, memang menjadi pendorong bagi konsumsi masyarakat.

“Itu (bulan Ramadhan dan Lebaran) meningkatkan aktivitas belanja kelompok masyarakat, terutama kelompok menengah atas,” tutur Margo dalam pembacaan hasil pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 secara daring, Jumat (5/8).

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Kuartal II-2022 Capai 5,44%

Sementara itu, keputusan pemerintah yang tetap memberikan bantuan sosial di kuartal II-2022 turut membantu konsumsi masyarakat kelompok bawah.

Selain konsumsi masyarakat yang kuat, ekspor di kuartal II-2020 yang meningkat hampir 20% dibanding periode yang sama tahun lalu juga dianggap mengesankan. Sekedar mengingatkan, ekspor naik 16,22% di kuartal I-2022.

Indonesia, yang merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, merupakan pengekspor utama minyak sawit, batubara, nikel dan timah. Dengan perang di Ukraina yang memicu kenaikan harga komoditas di tahun ini, ekspor Indonesia pun ikut melonjak, dan menopang pertumbuhan ekonomi.

Walau sempat terjadi pembatasan ekspor minyak kelapa sawit atawa crude palm oil (CPO) dan turunannya, hal tersebut seakan tidak terlalu berpengaruh lantaran harga CPO yang sempat lompat tinggi.

Dari sisi jasa, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara melonjak, seiring dengan kebijakan kemudahan keimigrasian khusus wisata. Ini pun kemudian mendorong pertumbuhan ekspor jasa pada periode tersebut.

Sedangkan komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi tercatat tumbuh 3,07% yoy, dengan andil 0,94%. Pertumbuhan PMTB di kuartal II-2022 didorong oleh pertumbuhan barang modal seperti mesin, kendaraan, bangunan, dan konstruksi lainnya, serta peningkatan realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Baca Juga: Menko Airlangga Masih Optimistis Pertumbuhan Ekonomi 2022 Capai 5,2%

Selain berhasil mencetak kenaikan di beberapa pos yang mengerek pertumbuhan ekonomi, ternyata konsumsi pemerintah malah mengalami kontraksi di periode April-Juni 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, konsumsi pemerintah sudah kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut. Hal tersebut terjadi karena kemampuan membelanjakan atau mengelurkan anggaran di awal tahun 2022 ini masih sangat terbatas.

"Makanya kalau kami akan menambah belanja dengan kapasitas untuk dibelanjakan dan belanja berkualitas harus hati-hati. Sehingga kami tidak menggunakan fiskal yang ekspansi atau sembrono,” jelas Sri Mulyana.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut, konsumsi pemerintah pada kuartal II-2022 disokong oleh penyerapan belanja pemerintah pusat yang sepanjang periode tersebut tumbuh 26% yoy. Namun, perlu diingat, pertumbuhan belanja pemerintah ini didorong oleh belanja pembayaran bunga utang. Sementara itu, belanja pegawai dan belanja barang tercatat masih tumbuh negatif yakni -1,7% yoy.

Kenaikan suku bunga BI

Dengan ekonomi yang masih sangat bergantung pada konsumsi masyarakat, pemerintah sebenarnya berharap Bank Indonesia tidak menaikkan suku bunga dalam waktu dekat. Padahal, inflasi Indonesia di bulan Juli 2022 sudah mencapai 4,94% yoy.

Ini juga menjadi tingkat inflasi tahunan tertinggi sejak Oktober 2022. Kala itu, inflasi Indonesia sebesar 6,25%.

Bahkan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan, seharusnya BI segera menaikkan suku bunga untuk menahan laju inflasi agar lebih terkenali.

"Saat ini, inflasi sudah mendekati 5% dan sudah menjadi lampu kuning bagi pemerintah," kata dia.

Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bilang, sebaiknya tak perlu buru-buru untuk mengerek suku bunga acuan karena progres pemulihan ekonomi sedang berjalan.

“Kami berharap BI tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga acuan, karena ekonomi kita masih dalam proses pemulihan,” tutur Airlangga saat ditemui awak media di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (5/8).

Airlangga bilang, ini seiring dengan tingkat inflasi inti yang masih rendah. Adapun pada Juli 2022, inflasi inti tercatat 2,86% yoy. Dan sebagai informasi, inflasi inti ini menjadi acuan BI dalam menaikkan suku bunga acuan, karena menunjukkan fundamental permintaan.

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III-2022 Diprediksi Capai 5,8%, Ditopang Ekonomi Domestik

Selain itu, imbauan untuk tak perlu buru-buru kerek suku bunga acuan juga melihat dari sisi perbankan, yaitu kredit perbankan tercatat tumbuh 10,66% yoy pada Juni 2022, dengan tingkat NPL terjaga pada level 2,86%. Kemudian pertumbuhan dana pihak ketiga jauh lebih tinggi sebesar 9,13% yoy.

Airlangga juga menimbang kondisi eksternal Indonesia di tengah ketidakpastian global yang masih relatif baik dan terkendali. Ini terlihat dari neraca perdagangan sepanjang semester I-2022 yang sebesar US$ 24,89 miliar atau lebih baik dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar US$ 11,84 miliar.

Sebenarnya, Gubernur BI Perry Warjiyo juga pernah mengatakan pihaknya tak buru-buru menaikkan suku bung acuan, meski sederet bank sentral negara lain sudah menaikkan suku bunga kebijakannya, termasuk Federal Reserve (The Fed), Bank of England (BOE) hingga sejumlah negara di kawasan.

Kepala Ekonom BCA David Sumual pun menyebut, sebenarnya selain menaikkan suku bunga acuan, BI sudah mengeluarkan kebijakan lain guna mendorong fundamental ekonomi dalam negeri. Seperti pembelian SBN hingga kenaikan giro wajib minimum (GWM).

Namun, David tetap memprediksi BI akan menaikkan suku bunga di semester II-2022. "Kenaikan suku bunga acuan akan gradual, hingga maksimal di akhir tahun suku bunga acuan berada di level 4,5%," kata dia kepada Kontan.co.id, belum lama ini.

Sementara itu, Josua memprediksi, kenaikan suku bunga acuan naik secara gradual dengan total 75 bps hingga akhir tahun. Itu artinya, suku bunga acuan BI akan berada di level 4,25% di akhir 2022.

Asal tahu saja, suku bunga acuan saat ini berada di level 3,5%. Level tersebut sudah bertahan sejak Agustus 2021 silam.

Terseret Penurunan Harga Komoditas

Selain kenaikan suku bunga acuan, pelemahan harga komoditas bisa menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Fluktuasi harga komoditas global dapat berdampak pada perekonomian domestik. Ketika harga komoditas naik signifikan, maka cenderung akan berdampak positif terhadap ekonomi, meskipun dengan catatan kenaikan inflasi juga membayangi," kata Josua.

Memang sejak awal Juli, sejumlah komoditas andalan Indonesia mengalami penurunan harga. Lihat saja, harga CPI yang kini sudah berada di bawah MYR 4.000 per ton. Padahal di bulan Mei lalu, harga CPO sempat tembus ke atas MYR 6.400 per ton.

Harga batubara dan timah pun cenderung melemah di paruh kedua tahun ini. Per Jumat (5/8), harga batubara berada di level US# 325,80 per ons troi. Sementara harga timah kontrak pengiriman tiga bulanan berada di US$ 24.455 per ton pada akhir pekan lalu. Padahal di kuartal II-2022 harganya sempat berada di atas US$ 37.000 per ton.

"Harga komoditas yang sudah mulai turun saat ini bakal berpengaruh terhadap ekspor impor," tambah David.

Di sisi lain, David juga mengingatkan tentang kondisi geopolitik global. Di mana, invasi Rusia terhadap Ukraina belum kelar, kini muncul masalah baru setelah hubungan China dan Taiwan yang memanas usai kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan.

Baca Juga: Ekonomi Tahun Ini Masih Diyakini Bisa Tumbuh 5,2%, Begini Strategi Pemerintah

Jika tensi antara China-AS dan Taiwan terus memanas, hal itu dapat mempengaruhi kinerja pasar keuangan Indonesia. "Sentimen risk-off terhadap pasar emerging market dapat mengakibatkan aliran modal keluar dari Indonesia yang mendorong nilai tukar melemah, suku bunga pasar meningkat, dan kinerja pasar modal menurun," jelas Josua.

Selain itu, China dan AS merupakan partner dagang utama Indonesia, serta Taiwan adalah salah satu produsen semikonduktor utama dunia. Jika berlanjut, kelangkaan semikonduktor yang terjadi saat ini bisa semakin parah.

Ke depan, Josua berharap pemerintah bisa melakukan upaya ekstra dalam mengurangi ketergantungan bahan baku impor dari luar negeri. Selain itu, untuk mengantisipasi perlambatan dari sisi eksternal, pemerintah juga perlu mengupayakan kebijakan kontra siklus melalui APBN.

Dia pun memprediksi, sepanjang tahun 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam kisaran 4,9%-5,1%. Sementara itu, Menko Airlangga lebih optimistis, dengan menargetkan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,2% di sepanjang tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×