Reporter: Bidara Pink, Dikky Setiawan, Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perekonomian China tengah dirundung awan kelabu. Sejumlah data ekonomi Negeri Panda menunjukkan kelesuan pada bulan lalu. Di antaranya China masuk ke jurang deflasi. Menurut Reuters, Biro Statistik Nasional China melaporkan indeks harga konsumen (IHK) China pada Juli 2023 turun 0,3%.
Selain itu, Bea Cukai China mencatat bahwa impor China turun 12,4% dan ekspor pun turun 14,5% pada bulan yang sama.
Kondisi ekonomi di Negeri Panda ini tentu memantik kekhawatiran akan berefek terhadap perekonomian di negara lain. Termasuk Indonesia.
Penurunan IHK di China sendiri menjadi deflasi pertama China sejak Februari 2021.
Baca Juga: Kemenperin Ungkap Efek Berganda Hilirisasi Nikel di Indonesia
Pemerintah China bilang penurunan IHK pada Juli terutama disebabkan penurunan harga daging babi sedalam 26%,yang dipicu musim penghujan yang mengganggu kelancaran pasokan daging.
Pemulihan ekonomi China pasca pandemi Covid-19 juga terus melambat seiring melemahnya permintaan konsumen di dalam dan luar negeri. Serangkaian kebijakan stimulus pemerintah China gagal menggenjot daya beli.
China merupakan anggota G20 pertama yang melaporkan penurunan harga konsumen secara tahunan. Ini sejak laporan terakhir Jepang yang juga mencatat penurunan IHK pada Agustus 2021.
Ekonom senior Asia Pasifik Natixis Gary Ng menilai, di sisa tahun ini, ekonomi China akan bergantung pada percepatan pertumbuhan industri manufaktur dan jasa. Ini terutama karena masalah di properti muncul kembali.
Kondisi ini juga menunjukkan, pemulihan ekonomi China yang lebih lambat dari perkiraan, tidak cukup kuat mengimbangi lesunya permintaan global dan tren melandainya harga komoditas. Ini tercermin dari nilai ekspor dan impor China yang anjlok pada Juli 2023.
Xia Chun, Kepala Ekonom Yintech Investment Holdings Hong Kong bahkan memperkirakan, deflasi China akan berlangsung enam hingga 12 bulan ke depan.
Efek bagi Indonesia
Di Indonesia, penurunan ekonomi di China juga disebut sudah bisa dirasakan. Misalnya saja dari data Bea Cukai China mencatat, impor Tiongkok turun 12,4% dan ekspor pun tertekan 14,5% pada Juli 2023.
Penurunan aktivitas perdagangan internasional ini bisa menjadi salah satu tanda bahwa pertumbuhan ekonomi China di kuartal III-2023 untuk melambat. Apalagi ditambah aktivitas konstruksi, manufaktur dan jasa, juga aliran investasi asing langsung yang melemah.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengungkapkan, pelemahan ekonomi China akan berdampak pada aktivitas ekonomi Indonesia. Mengingat, Indonesia dan China memilik hubungan ekonomi yang erat, baik itu dari sisi perdagangan maupun investasi.
Pada tahun lalu, porsi ekspor Indonesia ke China mencapai sekitar 22,6% dari total ekspor Indonesia. Sedangkan impor dari China mencapai 28,5% dari total impor Indonesia.
Sedangkan dari sisi investasi, China menjadi investor asing terbesar di Indonesia, setelah Singapura.
Baca Juga: Kemenkeu Bantah Program Hirilisasi Nikel Hanya Untungkan China Saja
Nah, David mengatakan bahwa dampak melemahnya perekonomian China ini sudah dirasakan Indonesia pada kuartal II-2023.
"Dampaknya sudah dirasakan oleh Indonesia. Makanya kinerja ekspor menurun pada kuartal II-2023," jelas David kepada Kontan.co.id, Kamis (10/8).
Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor Indonesia periode April 2023 hingga Juni 2023 memang turun 2,75% secara tahunan atau year on year (YoY).
Meski memang dampak sudah terasa, David mengungkapkan ekonomi China tak akan terpuruk selamanya. Masih ada harapan ekonomi negara Panda tersebut akan menggeliat.
Harapan tersebut datang dari proyek yang tengah dikembangkan China, seperti One Belt, One Road. Selain itu, China juga ingin bersaing dengan Amerika Serikat (AS) terkait perkembangan teknologi.
Dalam mengembangkan teknologi ini, pasti China tetap membutuhkan bahan baku, seperti semi konduktor, nikel, bauksit, juga batubara untuk energi pembangkit listrik.
"Yang ini tentu saja akan menguntungkan Indonesia. Karena China akan mengimpor barang-barang tersebut ke Indonesia," tandas David.
Lebih lanjut, David memperkirakan pada tahun 2023 ekonomi Indonesia tetap tumbuh di kisaran 5,2% YoY. Ada kemungkinan ekonomi tumbuh lebih tinggi pada tahun 2024, yaitu menjadi 5,25% YoY.
Meski memang ada gejolak global dan berbagai peristiwa dunia, David yakin pertumbuhan tahun depan akan ditopang oleh permintaan dalam negeri.
Baca Juga: Pelemahan Ekonomi China Berpotensi Gerus Surplus Neraca Dagang Indonesia di Juli 2023
Langkah antisipasi
Sementara itu, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan bahwa dampak perlambatan ekonomi China bakal terasa di Indonesia. Dampak tersebut datang dari jalur perdagangan. Mengingat, Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.
Pada tahun lalu, porsi ekspor ke China sekitar 22,6% dari total ekspor Indonesia. Sedangkan total impor dari China mencapai 28,5% dari total impor Indonesia.
"Dampak paling signifikan ke Indonesia akan datang dari sisi perdagangan. Ada perlambatan permintaan perdagangan dari China," tutur Riefky kepada Kontan.co.id, Kamis (10/8).
Riefky melanjutkan, dampak perlambatan ekonomi China ini sudah dirasakan Indonesia berupa penurunan ekspor. Bahkan, Riefky menilai dampak ini belum seberapa. Masih ada kemungkinan perlambatan permintaan dari China lebih besar lagi, sehingga menjadi lampu merah bagi kinerja ekspor.
Riefky mendorong pemerintah untuk mengambil kuda-kuda. Selain itu, menanggulangi dampak negatif saat ini, juga untuk mengantisipasi kemungkinan yang sama di masa depan. Yang perlu dilakukan adalah dengan diversifikasi pasar ekspor dan impor.
"Sehingga, kita tidak bergantung besar pada China," tambah Riefky.
Lebih lanjut, dengan mempertimbangkan dinamika tersebut, Riefky pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 sebesar 4,9% hingga 5,0% YoY . Ini melambat dibandingkan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 yang sebesar 5,31% YoY.
Baca Juga: Anak Buah Sri Mulyani Ukur Dampak Perlambatan Ekonomi China ke RI
Respons pemerintah
Dari sisi pemerintah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N. Kacaribu mengaku, pelemahan ekonomi China memang akan berdampak ke Indonesia. Namun, ia mengira dampaknya tak akan terlalu signifikan.
"Dampak (perlambatan ekonomi China) ke Indonesia masih relatif terukur," tegas Febrio dalam konferensi pers APBN KiTa, Jumat (11/8).
Ini juga dengan menimbang ekspor Indonesia ke China yang masih tumbuh cukup tinggi, yaitu sekitar 46%. Yang berarti menunjukkan, tetap ada permintaan dari negara Panda, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.
"Dengan demikian, kami tetap melihat ada peluang dampak positif dari pembukaan kembali ekonomi China," tambahnya.
Selain itu, Febrio menilai perekonomian Indonesia kuat, ditopang oleh permintaan domestik. Salah satunya, tercermin dari PMI Manufaktur Indonesia yang berada dalam zona ekspansif.
Dengan kata lain, Indonesia akan tahan banting dari ketidakpastian dinamika yang terjadi di dunia luar, karena kondisi dalam negeri pun masih solid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News