kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Efek Domino Kolapsnya SVB dkk, Indonesia Masih Aman?


Senin, 20 Maret 2023 / 06:05 WIB
Efek Domino Kolapsnya SVB dkk, Indonesia Masih Aman?


Reporter: Bidara Pink, Selvi Mayasari, Tendi Mahadi, Vendy Yhulia Susanto, Yuliana Hema | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam beberapa hari ke belakang, dunia dihebohkan oleh kolapsnya sejumlah bank di Amerika Serikat. Dimulai dari Silicon Valley Bank (SVB), kemudian diikuti oleh Signature Bank dan First Republic Bank.

Meski tergolong sebagai bank kecil, namun nyatanya ambruknya SVB menjalar ke berbagai sektor, utamanya ke sektor finansial. Bahkan hingga ke lintas negara. Investor dan debitur perbankan merasakan kegelisahan soal keamanan dana yang mereka tempatkan.

Isu SVB juga menjadi sentimen pemberat berikutnya bagi bank sekelas Credit Suisse. Salah satu bank terbesar di dunia ini memang sedang dirundung sejumlah masalah beberapa tahun terakhir. Ditambah dengan kolapsnya SVB dkk, kepercayaan terhadap bank asal Swiss ini pun kian luntur. Regulator setempat sampai-sampai mendorong adanya injeksi dari investor untuk menyelamatkan likuiditas Credit Suisse.

Pasar saham pun tak luput dari efek SVB. Tak cuma di negara asalnya, bursa saham di berbagai belahan dunia juga ikut terimbas. Termasuk di Indonesia.

Baca Juga: Efek SVB: Likuiditas Bank di AS Ketat, BI Sebut Likuidtas Bank di Indonesia Longgar

Sepekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles 1,29% ke posisi 6.678,23 pada Jumat (17/3). Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana bilang sepekan ini pergerakan IHSG lebih dipengaruhi oleh sentimen dari luar negeri khususnya Amerika Serikat (AS) mengenai krisis likuiditas perbankan. 

"Hal tersebut tentunya menimbulkan rush dan berdampak ke IHSG dimana para investor asing lebih cenderung untuk mengamankan asetnya terlebih dahulu," ucap dia kepada Kontan, Jumat (17/3). 

Adapun selama pekan ini investor asing mencatatkan jual bersih alias net sell sebanyak Rp 724,31 miliar. Namun sepanjang tahun ini, asing mencatatkan net buy Rp 3,53 triliun. 

Equity Research Analyst Phintraco Sekuritas Rio Febrian menjelaskan runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) yang akhirnya menekan mayoritas indeks global termasuk IHSG. 

Gejolak itu turut diwarnai oleh spekulasi pasar terhadap kenaikan The Fed Rate sebesar 25 basis poin (bps) dalam FOMC Maret 2023. Dengan terguncangnya sektor keuangan di AS membuat pelaku pasar optimistis The Fed akan mengubah pandangannya. 

Senada, Analis Binaartha Sekuritas Ivan Rosanova bangkrutnya SVB menjadi sentimen pemberat pasar saham secara global terutama pada saham perbankan.

Tingkatkan Kewaspadaan

Efek buruk ambruknya SVB pun menarik perhatian Presiden Joko Widodo. Ia meminta semua pihak mewaspadai efek domino bangkrutnya SVB. Jokowi mengatakan, kegentingan global masih menjadi sebuah ancaman yang tidak ringan. Ketidakpastian global juga memunculkan risiko risiko yang sulit diprediksi dan sulit dihitung.

Jokowi menyebut, saat ini semua negara menunggu akan kemana efek domino bangkrutnya SVB dkk.

"Oleh sebab itu, semuanya harus bekerja keras untuk menghindarkan negara kita dari ancaman-ancaman dan risiko-risiko global yang ada," ujar Jokowi.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai kebangkrutan SVB yang akhirnya ditutup oleh pihak berwenang Amerika Serikat (AS) pada 10 Maret 2023 lalu.

Baca Juga: Efek Kolapsnya SVB, Minat Investor Lelang Sukuk Negara Diperkirakan Rendah

“Bank regional, dengan aset hanya US$ 200 miliar, untuk ukuran Amerika ini sangat kecil. Telah menimbulkan guncangan yang sangat signifikan dari sisi kepercayaan deposan di AS,” tutur Sri Mulyani.

Menurutnya, kasus ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi Indonesia. Sebab, hanya karena bank kecil bisa menimbulkan persepsi yang sistematik.

Sementara Bank Indonesia memandang, mencuatnya kasus penutupan tiga bank di negara maju, akan meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan global. Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, ketidakpastian ini akan menghambat aliran masuk modal asing ke negara berkembang. 

"Sehingga, ini akan meningkatkan tekanan pelemahan nilai tukar di berbagai negara," tutur Perry dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (16/3). 

Perry menyiratkan, ini juga akan membawa dampak kepada Indonesia. Dengan demikian, otoritas akan memasang kuda-kuda untuk menjaga Indonesia.  Dalam hal ini, Perry mengatakan BI akan memperkuat langkah stabilitas nilai tukar rupiah untuk memitigasi ketidakpastian pasar keuangan global tersebut. 

"Kami akan memperkuat stabilisasi rupiah untuk memitigasi ketidakpastian pasar keuangan global, termasuk dampak rambatan penutupan bank di AS terhadap pasar keuangan domestik dan nilai tukar rupiah," tandasnya. 

Indonesia Diklaim Masih Aman

Meski begitu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai kolapsnya SVB tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia yang disebutnya memiliki kondisi yang kuat dan stabil.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.

Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun kripto.

Menurutnya, Indonesia setelah krisis keuangan tahun 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum dan penguatan tata kelola serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilient dan stabil.

Baca Juga: Kebangkrutan Sillicon Valley Bank (SVB) Picu Kenaikan Harga Emas

“Ini tecermin dari kinerja Industri Perbankan yang terjaga baik dan solid serta tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung,” katanya.

Dian menuturkan, kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik antara lain AL/NCD dan AL/DPK di atas threshold yakni sebesar 129,64% dan 29,13%, jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50% dan 10%.

“Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi dana pihak ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga,” tuturnya.

Sejumlah bank di Tanah Air juga mengaku tidak memiliki eksposur terhadap kolapsnya sejumlah bank tersebut. Bank Raya misalnya menyebut akan berkomitmen untuk menjaga likuiditas dengan strategi bisnis yang efisien dan berkelanjutan. 

Akhmad Fazri Direktur Keuangan Bank Raya menjelaskan, untuk semakin memperkuat langkah Bank Raya menjadi digital attacker BRI Group, Bank Raya telah melakukan penambahan modal sebesar Rp 996 miliar, dimana BRI telah berkomitmen untuk melaksanakan seluruh haknya dalam PMHMETD X.

"Tambahan modal ini akan semakin memperkuat langkah kami dalam pengembangan bisnis di antaranya penguatan permodalan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai ekspansi modal kerja dalam menyalurkan pinjaman maupun memperkuat pendanaan kepada segmen market yang baru, terutama segmen gig economy," ungkap Fazri.

Mengenai kolapsnya Silicon Valley Bank, Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi menyatakan, bahwa kejadian tersebut tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia yang dinilai sudah cukup kuat dan stabil.

"Meski secara BUKU 2 dan BUKU 3 memiliki modal yang relatif lebih kecil dari BUKU 4, namun demikian tidak memiliki eksposur terhadap SVB maupun karakteristik portofolio seperti SVB," katanya.

Mengenai modal perseroan, saat ini modal yang dimiliki Bank BJB dinilai masih cukup dengan CAR 19,2% untuk menopang ekspansi usaha yang dilakukan sehingga kata Yuddy, belum perlu untuk melakukan aksi korporasi terkait penambahan modal dalam waktu dekat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×