kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.924   6,00   0,04%
  • IDX 7.177   36,16   0,51%
  • KOMPAS100 1.104   8,89   0,81%
  • LQ45 875   9,22   1,06%
  • ISSI 220   0,53   0,24%
  • IDX30 447   4,78   1,08%
  • IDXHIDIV20 539   4,07   0,76%
  • IDX80 127   1,18   0,94%
  • IDXV30 134   0,38   0,29%
  • IDXQ30 149   1,18   0,80%
FOKUS /

Relaksasi kredit properti, pemanis di tengah pahitnya kenaikan bunga


Selasa, 17 Juli 2018 / 07:05 WIB
Relaksasi kredit properti, pemanis di tengah pahitnya kenaikan bunga
ILUSTRASI. Ilustrasi Kredit Pemilikan Rumah


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk, Galvan Yudistira, Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang, Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memutuskan melonggarkan kebijakan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk menolong daya beli masyarakat. Langkah ini bisa dibilang merupakan kompensasi karena BI telah menaikkan bunga acuan yang justru mengetatkan ekonomi.

Pelonggaran ketentuan loan to value (LTV) pengajuan KPR di bank ini bakal dimulai 1 Agustus 2018 mendatang.  LTV adalah besaran kredit yang bisa diberikan bank untuk nasabah, dari total harga hunian yang diajukan.

Jika bank menerapkan LTV atau hanya bisa mengabulkan 85%, maka calon penerima KPR harus menyediakan uang muka atau down payment (DP) 15% dari harga rumah. Artinya, semakin longgar atau semakin tinggi LTV, semakin ringan uang muka yang perlu disiapkan nasabah.

Pelonggaran LTV ini diberikan sebagai stimulan lantaran BI menaikkan bunga. Sebagai gambaran, dalam waktu dua bulan, BI menaikkan bunga acuan 100 basis poin menjadi 5,25% per akhir Juni 2018 lalu. Bank sentral menaikkan bunga bukan karena pertumbuhan ekonomi sudah bergairah, tapi dengan alasan menjaga kurs rupiah tak lebih jatuh.

Karena itu, untuk mendorong ekonomi tetap bergairah, BI menyiram dengan pelonggaran kebijakan. Dengan begitu, BI berharap, konsumsi masyarakat pun tetap terjaga.

Kenapa BI menyasar perumahan? Sektor properti bisa menyerap tenaga kerja dengan cepat dan jumlah besar, sehingga berdampak berantai pada sektor lainnya. Berdasarkan studi yang dimiliki Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), sektor properti berkaitan erat dengan hampir 174 industri penunjang ikutan di belakangnya atau backward linkage.

Secara forward linkage, akan menciptakan investasi baru di kawasan itu, menyumbang pajak buat negara, dan membuka lapangan kerja, sehingga kemampuan ekonomi masyarakat lebih baik. Sebagai contoh, di mal saja dapat tercipta 2.000 lapangan kerja, sedangkan di hotel sekitar 1.000 orang.

Sektor properti bisa menjadi indikator tren kesejahteraan ekonomi suatu negara karena menggambarkan kekayaan dan aset rumah tangga.

Lagipula, sektor properti masih memiliki kesempatan besar mendorong ekonomi. Kebutuhan rumah (backlog) yang belum dipenuhi mencapai 11 juta unit. Andai pemerintah sukses mewujudkan program 1 juta rumah pun, backlog ini baru bisa dipenuhi sebelas tahun lagi.

Selain itu, sektor ini belum jenuh. Rasio KPR terhadap produk domestik bruto (PDB) baru 2,9%. Angka ini jauh lebih rendah ketimbang negara tetangga, misalnya Filipina yang KPR-nya berkontribusi 3,8%, atau bahkan Thailand yang mencapai 22%, Jepang 33%, Malaysia 38%, dan Singapura 44% dari PDB.  

BI memperkirakan, efek pelonggaran LTV ini bereaksi cepat pada kenaikan penyaluran KPR. "Diperkirakan setelah implementasi LTV pada 1 Agustus 2018, tiga bulan sampai enam bulan berikutnya langsung berefek ke kredit KPR," kata Filianingsih Hendarta, Asisten Gubernur Bank Indonesia  kepada kontan.co.id, Jumat pekan lalu.

Bahkan, lebih cepat ketimbang pelonggaran LTV tahun 2016 lalu yang dihitung baru berimbas empat triwulan atau setahun kemudian. Ketika itu, ada 64 bank yang mengikuti kebijakan pelonggaran tersebut.

Saat ini, hanya bank dengan rasio kredit macet KPR di bawah 5% yang boleh melakukan pelonggaran LTV pada Agustus 2018 mendatang. Perkiraan BI, pertumbuhan KPR akhir 2018 setelah relaksasi LTV ini bisa mencapai 13,46%.

Bank sentral memproyeksikan, kebijakan relaksasi loan to value (LTV) mampu berkontribusi 0,04% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sampai akhir tahun.

DP 0% dinanti

Ada tiga jenis pelonggaran yang diberikan BI terkait LTV KPR. Yaitu, rasio LTV, aturan mengenai KPR inden, dan termin pembayaran.

Terkait poin pertama, BI membebaskan rasio LTV semua tipe rumah pertama."Besaran rasio LTV diserahkan kepada manajemen risiko masing-masing bank," tulis BI. Sedangkan untuk rumah kedua dan seterusnya akan berlaku rasio LTV 80%-90%. Hal ini terkecuali untuk tipe rumah di bawah 21 meter persegi.

Sedangkan untuk poin kedua mengenai KPR inden, BI mengizinkan pembiayaan melalui mekanisme inden menjadi maksimal lima fasilitas tanpa melihat urutan.

Ketiga, mengenai termin pencairan kredit bertahap untuk properti inden. Pencairan 30% setelah akad kredit, 50% ketika membangun pondasi, 90% pencairan kumulatif pada saat tutup akad. Seluruh pencairan atau 100% dari plafon akan dilakukan setelah penandatanganan berita serah terima dengan akta jual beli dan cover note.

BI menilai, kebijakan ini akan berimbas paling besar pada rumah pertama. Maklumlah, pada tipe rumah pertama, bank diizinkan membebaskan LTV alias memberi pinjaman sampai 100% dari permohonan. Andai dikabulkan, nasabah bisa mendapatkan DP 0%, sesuai dengan pertimbangan masak bank.

Sampai saat ini, bank masih menanti detail aturan dari BI. Pasalnya, BI baru mengumumkan pokok-pokok kebijakan saja.

Bank tengah menimbang produk KPR yang bisa menawarkan bunga rendah, seperti apa kriteria calon debitur, risiko, dan manfaatnya. Tapi, sejauh ini, belum ada bank yang berani menawarkan LTV 100%.

"Terkait penerapan DP 0%, kami belum berani," kata Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA), dalam keterangan tertulis, Rabu (11/7). BCA belum berani menerapkan DP 0% karena risiko kredit properti yang masih menantang. Selain itu BCA memandang, kemampuan masing-masing debitur berbeda.

Apalagi, BCA juga akan menaikkan bunga kredit 25 basis poin - 50 bps atau sekitar 0,25%-0,5% pada Agustus 2018 mendatang, pada produk konsumer seperti KPR. Sebagai gambaran, suku bunga KPR BCA menyentuh sebesar 5,8%.

Sedangkan PT Bank Tabungan Negara (BTN) hanya akan memberikan bunga terendah 1%. Itu pun karena bank yang fokus pada KPR ini sudah memiliki program subsidi ini.

"Seyogyanya kita 1% saja. Enggak nol-nol banget, masa mau kredit 0%, kesannya itu tanggungjawabnya kurang mengikat," ujar Direktur Utama Bank BTN Maryono. Dia yakin, dengan DP 1%, target pertumbuhan KPR hingga 22% di tahun 2018 ini bisa terpenuhi.

Risiko kredit memang menjadi bobot pertimbangan. Tambok Simanjuntak, Direktur Retail Banking PT Bank Nasional Indonesia Tbk (BNI) bilang, kebijakan DP 0% untuk rumah pertama berpotensi membuat risiko kredit meningkat.

"Kami akan melakukan mitigasi dengan selektif melakukan ekspansi pada nasabah payroll," kata Tambok kepada kontan.co.id. Selain itu, ekspansi nasabah properti BNI juga dilakukan ke profesi seperti PNS/TNI POLRI/BUMN dan perusahaan swasta nasional.

Saat ini, BNI mempunyai produk KPR BNI Griya dengan plafon sampai Rp 500 juta. Permintaan kredit produk KPR ini cukup tinggi dan mempunyai NPL rendah.

Handayani, Direktur Konsumer Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengaku sedang mengkaji segmen yang cocok untuk mendapatkan kebijakan bebas uang muka KPR. "Kami akan melakukan dengan selektif untuk pemberian uang muka 0%," kata Handayani kepada KONTAN, Jumat. Sebelumnya, BRI mempertimbangkan uang muka sebesar 5% dari nilai pokok rumah.

Ekonom sekaligus Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan bahwa DP yang ideal adalah 5% hingga 10%. “Idealnya tidak 0%. Dengan DP 0%, masyarakat itu ibaratnya nanti tidak ada tanggung jawabnya. Jadi, lebih bagus sih 5% hingga 10% sudah cukup,” kata Aviliani di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (25/6).

Dia menilai, risiko memberikan kredit dengan DP 0% lebih tinggi risikonya. Sebab, sewaktu-waktu apabila debitur tidak mampu membayar, maka ia cenderung tidak akan membayar cicilannya. “Tapi, kalau ada uang muka, mereka akan ada usahanya untuk lanjutkan cicilan,” ujar Aviliani.

Pengembang ikut senang

Dewan Pengurus Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) menyambut kebijaan BI merelaksasi kredit  properti. REI menyebutkan, pelonggaran LTV terutama mengenai kebebasan uang muka untuk rumah pertama akan semakin memudahkan orang untuk melakukan pembelian rumah.

Pelonggaran KPR untuk rumah inden sampai rumah kelima juga dinilai akan semakin mendorong penjualan properti. "Kami harapkan pelonggaran aturan LTV itu bisa mendorong penjualan properti sekitar 10% tahun ini," kata Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata. Menurut dia, permintaan KPR akan makin terdorong ke segmen hunian dengan harga Rp 200 juta – Rp 500 juta.

Sementara itu, ada pihak yang pesimistis jika hanya mengandalkan BI untuk mendorong sektor properti. Juga, kebijakan itu dinilai tumpul karena dibarengi dengan kenaikan suku bunga. Di saat yang sama, batasan maksimal tenor Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) juga tidak panjang.

Makanya, Associate Director Investment Service Colliers International Indonesia Aldi Garibaldi menilai, kebijakan dengan membebaskan uang muka KPR tidak akan bisa menarik minat masyarakat menengah bawah untuk melakukan pembelian rumah.

Pasalnya, dengan tanpa DP, konsumen harus menanggung cicilan yang lebih besar, dengan bunga kredit yang tinggi dan tenor KPR yang dibatasi.

"Jadi untuk mendorong penjualan itu, suku bunga juga harus dijaga. Agar cicilan bisa rendah maka tenor juga harus diperpanjang. Harusnya yang diubah juga aturan tenor ini. Kalau tidak, kebijakan tanpa DP ini tidak berpengaruh," jelas Aldi di Jakarta, Rabu (4/7).

Berdasarkan riset yang Colliers lakukan, konsen utama konsumen dalam melakukan pembelian apartemen bukan uang muka melainkan fokus pada suku bunga.

REI sepakat, perlu ada terobosan yang dimaksudkan untuk menggerakkan kembali sektor properti, yaitu lewat sinkronisasi dengan beberapa kebijakan lain.

Pengembang meminta pemerintah meninjau kembali sejumlah peraturan perpajakan yang selama ini kurang ramah terhadap perkembangan industri properti, seperti penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) final, pajak lahan terlantar, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan jenis-jenis pajak lainnya yang sudah tidak relevan.

  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×