Reporter: Agus Triyono, Elisabeth Adventa, Hendra Gunawan, M. Ghiffari L. Alif P., Siti Maghfirah | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pemerintah kian serius dalam mengatur bisnis minimarket di dalam negeri. Setelah mengeluarkan sejumlah aturan, dalam waktu dekat ini, bakal ada satu lagi aturan baru untuk para pelaku bisnis retail, khususnya minimarket.
Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan aturan mengenai minimarket tersebut akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Adapun isinya akan mengatur mengenai kepemilikan minimarket, hingga produk yang dijual.
Darmin menjelaskan, saat ini 65% minimarket yang tersebar di Indonesia dioperasikan oleh badan usaha besar. Sementara 35% sisanya dioperasikan investor lewat mekanisme franchise atau waralaba.
"Langkah ini adalah bagian dari kebijakan pemerataan ekonomi," kata Darmin saat ditemui di kantornya, Jumat (2/6) malam.
Menurutnya, pemerintah tidak melarang bagi siapapun untuk berkembang, namun perkembangannya yang sewajarnya saja. "Tidak mungkin menahan orang berkembang, itu ekonomi. Tapi persentasenya jangan menambah yang dia miliki. Persentase kepemilikan dari semua outlet itu sewajarnya," kata Darmin.
Ia mengklaim kebijakan ini tidak akan membatasi ekspansi minimarket di Indonesia. "Jumlahnya boleh nambah, asal yang punya orang lain juga nambah di situ," terang Darmin.
Menurut Darmin, saat ini kajian soal kebijakan tersebut ada Kementerian Perdagangan (Kemdag). Yang jelas, kata dia, ada tiga hal penting yang akan diatur.
Pertama, terkait pembatasan rasio atau persentase kepemilikan gerai minimarket. Tujuan pembatasan ditujukan kepada monopoli kepemilikan dari satu grup korporasi atau beberapa investor saja dalam sebuah jaringan minimarket. Nantinya, kepemilikan gerai minimarket oleh grup usaha diatur melalui rasio atau persentase tertentu.
Hingga kini, angkanya sendiri masih dikaji. Artinya, grup korporasi tetap bisa saja menambah gerai minimarketnya, asal rasionya tidak lebih dari yang ditetapkan oleh pemerintah nantinya.
"Rasionya jangan lagi berubah, artinya lebih membuka investor perorangan untuk ikut di dalam jaringan bisnis itu, lewat waralaba," kata Darmin.
Kedua yakni terkait zona minimarket. Darmin menjelaskan, dengan aturan ini, minimarket diharapkan tidak lagi merajalela di permukiman masyarakat, hingga mematikan usaha toko tradisional atau kelontong di sekitar wilayah tersebut.
Jadi, nanti dalam aturan tersebut minimarket hanya akan diperbolehkan berdiri di jalan dengan kelas tertentu, dan tidak masuk ke permukiman.
Ketiga, terkait penggunaan merek produk dari minimarket itu sendiri. Aturan ini bertujuan memberikan kesempatan bagi produk UMKM, sehingga mampu berkompetisi dengan merek yang sudah mapan. Pemerintah akan menerapkan kebijakan setelah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Badan Standarisasi Nasional (BSN).
"Kita harus mempelajari juga aturan yang ada BPOM maupun di BSN karena kita ingin supaya UMKM kita tidak sulit memenuhi," terang Darmin.
Terkait akan adanya penerbitan Perpres tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta meminta agar para pengusaha diikutsertakan berdikusi.
Sebab ini terkait dengan keberlangsugan bisnis pelaku usaha. Apalagi, menurutnya, saat ini sudah ada sejumlah aturan yang mengatur bisnis ritel.
Mulai dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Lalu ada juga Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
"Aturan main semua sudah ada, yang diinginkan itu sudah ada semua," ujarnya. Oleh karena itu, ia tidak megerti apa lagi yang diinginkan oleh pemerintah.
Selain itu, minimarket, juga telah menyerap produk UKM sekitar 10% dari total produk yang dijual. Memang, angka itu masih lebih rendah dari yang diatur yakni 15% dari total produk yang dijual.
Namun hal itu dikarenakan terbatasannya produk yang ada atau yang diproduksi oleh UKM, sehingga pengelola minimarket belum bisa memenuhi batas minimal 15% penyerapan sesuai aturan.
Setelah lahirnya Perpres 112 Tahun 2007, sejumlah daerah juga menerbitkan aturan pembatasan usaha minimarket di daerahnya masing-masing. Misalnya di Surabaya telah megeluarkan Perda 8 tahun 2014 Tentang Penataan Toko Swalayan yang mengatur jarak antara pasar tradisional dengan mini market dan juga batas jam operasional minimarket. Begitupun dengan Jakarta dan kota-kota lainnya.
Namun menurut Darmin, pembuatan aturan oleh pemerintah daerah tersebut kurang disosialisasikan dengan baik sehingga penindakannya juga lemah. Sehingga banyak toko modern yang beroperasi menyalahi aturan.
"Sekarang di daerah juga sudah banyak yang bablas karena selama ini aturannya tidak diekspos. Inti idenya (Penerbitan Perpres) jangan menutup kesempatan rakyat," pungkas Darmin.
Edy Putra Irawadi, Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian menambahkan, dalam rancangan Perpres yang saat ini sedang dibahas tersebut, bentuk kewajiban kemitraan bisnis minimarket juga harus dilakukan dalam bentuk kepemilikan.
"Misal 70% atau berapa porsi milik sendiri, lainnya harus dimitrakan atau dibagikan, pengaturan ini sebelumnya tidak ada," katanya. Detail pengetatan dan kewajiban kemitraan tersebut saat ini masih terus dibahas.
Perumusan aturan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan kemitraan dan pembagian saham kelihatannya tidak akan mudah.
Tumbuh pesat
Berdasarkan catatan KONTAN, pertumbuhan industry ritel minimarket di dalam negeri ini memang cukup tinggi, persentasenya mencapai dua digit. Baik jaringan minimarket milik Alfamart, Indomaret, maupun minimarket lainnya.
Contohnya saja pertumbuhan gerai PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. Tahun lalu, pertumbuhan gerai perseroan dan entitas anak usahanya sebesar 12,13% menjadi 13.745 gerai, yang terdiri dari 12.366 gerai perseroan dan 1.379 gerai entitas anak.
Di mana sebanyak 34,3 % gerai perseroan dan entitas anak tersebar di Jabodetabek, 38% tersebar di wilayah Jawa non Jabodetabek, dan 27,7% lainnya berada di luar pulau Jawa.
Dari gerai yang dimiliki itu, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk membukukan pendapatan neto konsolidasi dan anak usaha selama 2016 sebesar Rp 56,11 triliun.
"Pendapatan neto konsolidasian perseroan dan entitas anak pada 2016 mencapai Rp 56,11 triliun rupiah, meningkat 16,25 % dibandingkan 2015 sebesar Rp 48,27 triliun," kata Presiden Direktur PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk Hans Prawira, usai Rapat Umum Pemegang Saham, Mei lalu.
Pertumbuhan pendapatan tersebut terutama didorong oleh pertambahan gerai perseroan dan entitas anak, di samping pertumbuhan pendapatan gerai yang sudah eksisting.
Pada Kuartal I-2017, perusahaan ini juga membukukan pendapatan sebesar Rp 13,7 triliun, naik sekitar 12,3% dari Rp 12,2 triliun periode yang sama tahun sebelumnya.
Dan rencananya, untuk meningkatkan pendapatannya di tahun ini, perseroan juga bakal menambah sebanyak 1.200 gerai Alfamart dan sekitar 250 gerai Alfamidi yang berada di bawah bendera PT Midi Utama Tbk.
Selain menambah gerai di dalam negeri, Sumber Alfaria juga akan menambah gerai 200 gerai Alfamart di Filipina sampai akhir tahun ini.
"Kami mulai berinvestasi di sana tahun 2014 dan sampai saat ini sudah memiliki 270 gerai Alfamart (di Filipina)," kata Tomin Widian, Direktur Keuangan Sumber Alfaria Trijaya.
Dalam berekspansi di Filipina, Sumber Alfaria Trijaya membentuk perusahaan patungan dengan peritel lokal dengan nama Alfamart Trading Philippines Inc.
Jangan mematikan
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Nicholas Mandey mengatakan, pihaknya sudah menelaah peratuan yang disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.
Ia mengungkapkan, selama ini pedapatan terbesar ritel diperoleh dari ekspansi toko dan peningkatan produk. Jadi, jika peraturan tersebut membatasi persentase kepemilikan dan produk, bisa mempengaruhi pendapatan dari peritel.
Padahal, menurut Roy, perusahaan ritel sudah sejak lama merangkul produksi UMKM untuk masuk ke minimarket. Ia juga mengaku, jumlah ritel modern saat ini di Indonesia ada 35.000 gerai, sedangkan gerai ritel tradisioal bisa jutaan.
"Jangan sampai adanya kesempatan untuk pasar rakyat ini, pasar modern yang berkontribusi untuk pajak, PAD, dan penyedia lapangan kerja, malah tidak bisa berkembang. Kebijakan ini harusnya saling memajukan," ujar Roy kepada KONTAN, Minggu (4/6).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News