Reporter: Anna Suci Perwitasari, Bidara Pink, Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inflasi yang terkendali membuat Bank Indonesia (BI) berniat untuk mempertahankan kebijakan suku bunga acuan hingga akhir tahun 2023. Seperti diketahui, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) terakhir, yang berlangsung pada 15-16 Februari 2023, bank sentral kembali mempertahankan suku bunga di level 5,75%.
Padahal, sejak Agustus 2022, BI rajin mengerek suku bunga acuan. Tercatat, BI sudah menaikkan suku bunga sebesar 225 basis poin (bps) sepanjang tahun lalu.
"Kami meyakini bahwa tingkat suku bunga acuan saat ini memadai, dalam artian tidak diperlukan suatu kenaikan lagi. Ini stance kebijakan moneter," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo, selepas RDG bulan Februari lalu.
Perry menegaskan, dasar kebijakan suku bunga acuan BI adalah untuk menjangkar ekspektasi inflasi maupun inflasi indeks harga konsumen (IHK).
Sempat membengkak pada tahun lalu, Perry sudah melihat adanya penurunan inflasi inti maupun inflasi IHK dari level tahun lalu.
Baca Juga: Inflasi Inti Turun, BI Tidak Akan Naikkan Suku Bunga Lagi
Di tahun 2023, BI optimistis inflasi inti akan paling tinggi bergerak di level 3,6% yoy pada semester I-2023. Sedangkan inflasi IHK akan kembali di bawah 4% yoy pada semester II-2022 dengan level tertinggi 3,5% yoy.
Dengan dasar tersebut, Perry pun menegaskan bahwa kebijakan suku bunga yang sudah diberikan selama ini berarti telah memadai dalam menahan ekspektasi inflasi dan inflasi.
"Dengan demikian, kami memandang dan meyakini bahwa suku bunga memadai dan tidak diperlukan suatu kenaikan lagi," tegas Perry.
Sejalan, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga melihat kenaikan suku bunga acuan tidak diperlukan lagi. Mengingat, prospek inflasi dalam negeri melandai bila dibandingkan tahun 2022.
Tak hanya melandai, inflasi Indonesia diperkirakan bisa kembali ke kisaran sasaran BI yang sebesar 2%-4% secara tahunan.
"Dengan ekspektasi inflasi yang kembali dalam lintasan target inflasi BI, maka BI berpotensi menahan suku bunganya," kata Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (16/2).
Di sisi lain, BI juga akan melakukan kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah untuk mengendalikan inflasi impor (imported inflation) dengan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE) sesuai mekanisme pasar.
Hal tersebut diperlukan karena nilai tukar rupiah belakangan selalu tertekan. Hingga Jumat (17/2), rupiah spot ditutup di level Rp 15.210 per dolar Amerika Serikat (AS).
Perry menambahkan, BI akan tetap memberikan respon bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Untuk tahun ini, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,1% atau berada dalam kisaran 4,5%-5,3%.
Meski tetap berada di atas 5%, pertumbuhan ekonomi di tahun ini berpeluang melambat dari capaian pertumbuhan ekonomi tahun 2022 yang berada di level 5,31%.
BI pun mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun ini sulit untuk mencapai level seperti di tahun 2022 lalu. "Untuk bisa lebih tinggi dari 5%, mungkin bisa. Perkiraan kami di 5,1%. Namun, apakah lebih tinggi dari 5,3%? Mungkin belum," ungkap Perry.
Sejumlah syarat harus dipenuhi Indonesia bila ingin tumbuh minimal di level sama dengan tahun sebelumnya.
Pertama, kinerja ekspor harus melonjak drastis dengan memanfaatkan momentum pembukaan kembali perekonomian China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia.
Kedua, kinerja konsumsi rumah tangga juga melonjak drastis dengan memanfaatkan momentum berakhirnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Meski begitu, Perry membesarkan hati bahwa perkiraan pertumbuhan 5,1% untuk tahun 2023 sudah jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi negara lain dan level pertumbuhan ekonomi global.
Asal tahu saja, pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini diproyeksi 2,3%.
Surplus Neraca Perdagangan Diproyeksi Melandai
Kinerja ekspor Indonesia di tahun 2023 yang tetap ngegas menjadi salah satu syarat agar pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5%. Namun, di kinerja ekspor di Januari 2023 cenderung melandai jika dibandingkan dengan Desember 2022.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Januari 2023 tercatat sebesar US$ 22,31 miliar. Jumlah ini turun 6,26% dibanding bulan sebelumnya.
Baca Juga: Dana Asing di SBN Kembali Menyusut, Apa Penyebabnya?
Di sisi lain, impor Indonesia pada Januari 2023 juga turun. BPS mencatat, nilai impor pada bulan Januari 2023 sebesar US$ 18,44 miliar atau turun 7,15% dibandingkan bulan Desember 2022.
Dengan data tersebut, maka surplus neraca perdagangan Indonesia di bulan Januari 2023 sebesar US$ 3,87 miliar. Jumlah tersebut, turun dibanding surplus neraca dagang di Desember 2022 yang capai US$ 5,89 miliar.
Walau begitu, neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 33 bulan berturut-turut, sejak Mei 2022.
Surplus neraca perdagangan ini ditopang neraca komoditas non migas yang surplus US$ 5,29 miliar. Di mana, penyumbang utama datang dari komoditas bahan bakar mineral HS 27, lemak dan minyak hewan/nabati HS 15, serta besi dan baja HS 72.
Di sisi lain, neraca komoditas migas mengalami defisit US$ 1,42 miliar dengan penyumbang utamanya adalah minyak mentah dan hasil minyak.
Tren penyempitan surplus neraca perdagangan diproyeksi akan terus terjadi di tahun ini. Kendati demikian, defisit neraca perdagangan diprediksi tidak terjadi dalam waktu dekat.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan, potensi perubahan tren neraca perdagangan ini terjadi karena adanya normalisasi harga komoditas. Mengingat, kondisi perekonomian global tidak seburuk yang diperkirakan.
“Meski menyusut, surplus perdagangan bisa bertahan lebih lama sebelum berubah menjadi defisit setelah China membuka kembali ekonominya, yang akan mendukung permintaan eksternal. Indikator utama terbaru juga menunjukkan ekonomi global pada 2023 hanya mencatat perlambatan, bukan resesi,” tutur Faisal beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Gubernur BI Perkirakan Suku Bunga The Fed Sentuh 5,25% di Tahun Ini
Meski begitu, dia tak menampik kemungkinan pertumbuhan ekspor akan menurun seiring berjalannya waktu akibat adanya penurunan harga komoditas. Ini didukung permintaan global yang lesu di tengah lonjakan inflasi di banyak negara dan kenaikan suku bunga.
Faktor yang dapat menahan pelemahan ekspor adalah strategi hilirisasi agar bisa memberikan nilai tambah ekspor dan surplus perdagangan di sektor manufaktur. Hilirisasi nikel terbukti mampu membuat neraca perdagangan sektor manufaktur menjadi surplus dalam tiga tahun terakhir.
“Bahkan ekspor besi dan baja pada tahun 2022 menambah sekitar US$ 4,90 miliar atau 25,7% terhadap peningkatan surplus perdagangan,” jelasnya.
Dari sisi impor, diyakini pertumbuhan impor akan melebihi pertumbuhan ekspor. Pertumbuhan impor tersebut didukung oleh penguatan permintaan domestik, menyusul pencabutan PPKM dan keputusan untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional.
Meski begitu, jika dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun 2022, impor terlihat melemah tahun ini karena harga minyak yang lebih rendah dan antisipasi melemahnya kegiatan ekspor. Sebagian bahan baku untuk memproduksi barang ekspor diperoleh dari impor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News