kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.904   26,00   0,16%
  • IDX 7.211   70,15   0,98%
  • KOMPAS100 1.108   13,11   1,20%
  • LQ45 880   13,40   1,55%
  • ISSI 221   1,38   0,63%
  • IDX30 450   7,23   1,63%
  • IDXHIDIV20 541   6,43   1,20%
  • IDX80 127   1,62   1,29%
  • IDXV30 135   0,66   0,50%
  • IDXQ30 149   1,87   1,27%
FOKUS /

Menaikkan BI rate, bank sentral salah langkah?


Rabu, 13 November 2013 / 13:36 WIB
Menaikkan BI rate, bank sentral salah langkah?
ILUSTRASI. Ilustrasi harga emas siang ini, Jumat (1/7/2022), produksi Antam dan UBS di Pegadaian./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/28/01/2022.


Reporter: Barratut Taqiyyah, Dea Chadiza Syafina, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis points (bps) mengejutkan pasar. Seperti yang diketahu, BI rate naik dari 7,25% menjadi 7,50%.

Sesuai dengan kenaikan BI rate, BI juga memutuskan untuk menaikkan lending facility rate dari 7,25% jadi 7,5% atau naik sebesar 25 bps. Bank Indonesia juga memutuskan untuk menaikkan fasilitas simpanan Bank Indonesia (Fasbi) rate sebesar 25 bps dari 5,5% jadi 5,75%.

Padahal, sebelumnya, beberapa ekonom memperkirakan, BI akan tetap menahan BI rate di level 7,25%. Salah satunya adalah ekonom PT Bank Mandiri Tbk Destri Damayanti. Sebab menurut Destri, Bank Indonesia tetap harus memberikan sinyal bahwa bank sentral tetap memprioritaskan kebijakan pengetatan moneter atau monetary policy. Hal ini dikarenakan data-data makro ekonomi Indonesia seperti importasi yang masih tinggi.

"Selain itu, BI juga masih ingin mengerem pertumbuhan kredit yang masih tinggi. Itu harus di normalisasi," ujar Destri saat dihubungi KONTAN, Selasa (12/11).

Hal senada juga diungkapkan oleh  ekonom Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Agustinus Prasetyantoko. Hal ini, menurut Prasetyantoko, belum ada alasan yang cukup kuat bagi Bank Indonesia untuk menaikkan BI rate. Prasetyantoko menilai, pasar ekonomi Indonesia maupun nilai tukar atau kurs rupiah masih relatif stabil.

"Inflasi juga sudah kembali normal. Maka perkirakan BI rate akan tetap," kata Prasetyantoko.

Lantas, apa alasan BI menaikkan BI rate?

Direktur Eksekutif Departemen Bank Indonesia Difi A. Johansyah mengungkapkan, kenaikan BI rate ditujukan untuk mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan ke depan. "Hal ini lebih ditekankan kepada sisi demand," ujar Difi di Gedung BI, Jakarta, Selasa (12/11).

Difi menegaskan, keputusan diambil untuk memastikan defisit transaksi berjalan turun ke tingkat yang lebih sehat dan inflasi tetap terkendali menuju ke sasaran 4,5% plus minus 1% di 2014 mendatang. "Sehingga tetap bisa mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi," kata Difi.

Perjalanan Rate 2013

9 Oktober 2013

7,25% 

11 September 2013

7,25% 

29 Agustus 2013

7% 

15 Agustus 2013

6,5% 

11 Juli 2013

6,5% 

13 Juni 2013

6% 

14 Mei 2013

5,75% 

11 April 2013

5,75% 

7 Maret 2013

5,75% 

12 Februari 2013

5,75% 

10 Januari 2013

5,75% 



Ekonom menilai langkah BI keliru

Langkah Bank Indonesia yang kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis points (bps) dinilai keliru.

Guru Besar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Tony A. Prasetiantono mengatakan, kebijakan ini tidak terlalu mendesak untuk dilakukan lantaran tingkat inflasi sudah mulai kembali normal.

"Saya cukup kaget dengan kenaikan BI rate kali ini, yang mestinya tidak terlalu mendesak dilakukan karena inflasi mulai jinak. Mestinya sudah cukup, kecuali inflasinya meningkat dengan hebat misalnya diatas 9%," kata Tony, Selasa (12/11).

Sesuai data Bank Indonesia, inflasi hingga akhir Oktober 2013 mencapai 8,32%. Tingkat inflasi ini diproyeksikan akan dibawah 9% hingga akhir tahun ini. Jadi menurut Tony, kebijakan yang efektif dilakukan BI adalah membiarkan nilai tukar rupiah melemah, sehingga akan mendorong ekspor, menurunkan impor, dan menekan defisit jasa.

Tony mengatakan, kebijakan menaikkan suku bunga ini tidak akan mengurangi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), tetapi justru akan memukul perekonomian nasional secara luas. Meski kenaikan BI rate dinilai akan berdampak positif bagi pergerakan nilai tukar rupiah karena berkesempatan menguat, namun hal ini justru akan memukul daya saing produk Indonesia.

Dampaknya, kinerja ekspor akan kembali tertekan. Dengan pelemahan ekspor ditengah impor migas yang tinggi, defisit perdagangan akan membengkak. "Akibatnya defisit transaksi berjalan justru akan cenderung stagnan atau malah membesar, bukan membaik seperti yang diklaim oleh BI," jelas Tony.

Kenaikan suku bunga acuan ini akan menghambat ekspansi perbankan dalam menyalurkan kreditnya. Perlambatan kredit di sektor industri keuangan ini akan berdampak tidak langsung terhadap upaya penurunan defisit transaksi berjalan.

Akan tetapi, perlambatan kredit juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Perlambatan ekonomi ini justru akan menyulitkan upaya penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

"Jadi kalau mau mengurangi defisit neraca transaksi berjalan, mestinya BI rate ditahan tetap atau malah diturunkan. Kebalikan dari yang sekarang dilakukan BI," kata Tony.

Senada, pengamat Ekonomi Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko mengatakan, kenaikan BI rate ini merupakan langkah penyelesaian persoalan fundamental dengan instrumen terbatas.

"Ini sama seperti ingin nilai bagus tapi tidak ingin belajar. Ini adalah kebijakan instan," jelas Prasetyantoko.

Karena itu, ia mengaku pesimis, langkah penaikan BI rate ini akan mampu secara efektif menekan defisit neraca transaksi berjalan. Menurut Prasetyantoko, kebijakan yang diambil pemerintah seharusnya adalah merestui kebijakan fiskal dan industri untuk harus lebih progresif lagi.

Kebijakan ini menurutnya justru akan membuat perlambatan kredit, perlambatan investasi serta terkoreksinya pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Bahana Securities, Agra Samudro menilai, kebijakan BI itu merupakan bentuk pengetatan moneter sampai tahun 2014 mendatang.

"Kenaikan BI rate yang tidak terduga ini dipercaya sebagai langkah pre-emptive (pencegahan) untuk merespons reaksi pasar terhadap data current account deficit yang diperkirakan akan berada di atas kisaran bank sentral," kata ekonom Bahana Securities, Agra Samudro di Jakarta, Selasa (12/11).

Arga menambahkan, langkah BI menaikkan BI rate diharapkan bisa membantu memperbaiki neraca berjalan melalui pelemahan impor, akibat melambatnya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).

Karena itu, kata Arga, Bahana Securities memproyeksikan, dampak kebijakan moneter itu akan membuat pertumbuhan PDB 2014 turun mencapai 5,5%. Menurutnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi seiring dengan perlambatan investasi yang bisa menekan impor di 2014.

Menurut Arga, jika impor turun akan ada harapan membaiknya kinerja ekspor. Dengan begitu, defisit neraca transaksi berjalan 2014 bisa turun menjadi 2,5% dari PDB. Selain itu, diharapkan bisa mendukung penguatan rupiah ke posisi Rp 10.600 per dollar Amerika Serikat (AS) akhir tahun depan.

Destri menambahkan, kenaikan BI rate tersebut merupakan respons BI untuk menekan pertumbuhan kredit. Sebab, kata Destri, pertumbuhan kredit saat ini dinilai masih tinggi.

Dengan kenaikan BI rate, BI bisa berkonsentrasi mengurangi defisit neraca transaksi berjalan. "Kenaikan BI rate ini mencerminkan BI masih berkonsentrasi untuk menyeimbangkan sektor eksternal," ujar Destri.

Namun begitu, menurut Destri, seharusnya tidak hanya BI saja yang mengeluarkan kebijakan pengetatan moneter, tetapi juga diimbangi kebijakan pemerintah di sektor riil, seperti pengurangan impor minyak dan gas.

Kenaikan BI rate ini menurut Destri juga mencerminkan BI akan mengurangi intervensi dalam nilai tukar atau currency alias kurs.

Analis asing punya pandangan berbeda

Berbeda dengan para ekonom dalam negeri yang mengkritik langlah BI, para analis asing justru memberikan apresiasi. Menurut para analis asing, kenaikan BI rate merupakan pesan yang sangat jelas bahwa Indonesia akan melakukan langkah apa pun yang diperlukan untuk mendongkrak kinerja mata uangnya. Pemerintah juga berupaya meyakinkan investor bahwa Indonesia mampu mengontrol defisit neraca perdagangan yang kian membengkak.

"Kenaikan suku bunga BI merupakan hal yang tepat dilakukan bank sentral," jelas HSBC ASEAN Economist Su Sian Lim dalam hasil risetnya yang dirilis hari ini (13/11) seperti yang dikutip dari CNBC.

Menurut Sian Lim, langkah BI merupakan penegasan bahwa bank sentral sangat meyakini kecemasan investor akan defisit neraca perdagangan. "BI berupaya menenangkan investor bahwa bank sentral akan melakukan apa pun untuk mengatasi masalah ini," jelasnya.

Sedangkan Cynthia Kalasopatan, market economist Mizuho Corporate Bank, kenaikan suku bunga BI dapat diinterpretasikan sebagai sinyal untuk memperkuat posisi rupiah dan menekan defisit neraca perdagangan. "Kenaikan suku bunga BI juga sebagai langkah untuk menjaga inflasi," tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Robert Prior-Wandesforde, director for non-Japan Asia Economics Credit Suisse. "BI sering dituduh melakukan hal di luar kurva. Namun, cukup jelas bahwa langkah BI menaikkan suku bunganya merupakan langkah yang berani. Dalam pandangan kami, hal ini merupakan hal yang tepat untuk dilakukan," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×