Reporter: Asep Munazat Zatnika, Hendra Gunawan, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Hari ini sudah masuk hari ke lima di bulan November 2014. Lewat empat hari dari rencana awal pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi yaitu 1 November 2014.
Entah apa yang membuat pemerintah menunda-nunda kenaikan harga tersebut. Sebab sejatinya, pada akhir Oktober kemarin, segala macam tetek bengek untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sudah siap. “Pemerintah sudah siap, tinggal ketok palu Presiden saja,” ujar sumber KONTAN di lingkaran pemerintah.
Seandainya BBM jenis premium dinaikkan tepat 1 November 2014 dengan kenaikan sebesar Rp 3.000 per liter-sesuai dengan rencana awal, maka dalam tempo dua bulan saja, November–Desember, pemerintah bisa menghemat bujet subsidi BBM tahun ini sebanyak Rp 21 triliun.
Pelaku pasar pun menagih janji Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk merealisasikan kenaikan itu. Pasalnya, dengan BBM bersubsidi dinaikkan, maka anggaran untuk pembangunan bakal menjadi lebih besar, yang akan mengalir melalui proyek-proyek pemerintah. Dan tentunya akan diserap pelaku usaha dan menetes ke masyarakat.
Meski begitu Wakil Presiden Jusuf Kalla tetap memastikan bahwa harga BBM bersubsidi akan tetap dinaikkan bulan November ini juga. Meski tidak menyebut tanggal pasti kenaikan harga BBM tersebut, ia menegaskan pengurangan subsidi BBM akan dilakukan sebelum kuota BBM bersubsidi diprediksi habis pada 22 November. "Pokoknya bulan ini lah (naik)," ujarnya, Senin (3/11) lalu.
Dan yang pasti, untuk meredam gejolak kenaikan BBM, pemerintah terlebih dulu mengeluarkan kompensasi kenaikan BBM tersebut. Yaitu melalui Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Kedua kartu tersebut sudah diluncurkan Selasa (4/11) kemarin.
Lalu berapa besar pemerintah bakal menaikkan harga BBM? Jusuf Kalla belum bisa memastikan. Menurutnya pemerintah masih terus menghitung berapa kenaikan yang pantas yang bisa ditoleransi oleh masyarakat.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, mengatakan kalangan pengusaha akan mentoleransi bila kenaikan BBM tersebut mencapai sekitar Rp 2.000 - 3.000.
Lain lagi menurut Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih. Menurutnya akan lebih baik kenaikan BBM yang dilakukan pada tahun ini tidak langsung signifikan, yaitu cukup Rp 1.000. Pasalnya, alokasi anggaran penghematan yang terjadi apabila BBM naik tahun ini tidak akan bisa digunakan karena waktu yang sudah mepet akhir tahun.
Meski begitu, ia mengatakan pemerintah harus segera membuat keputusan. Sebab meski harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) turun namun kenaikan harga BBM subsidi haruslah tetap dilakukan. Sebab ke depan, harga minyak dunia tidak bisa diprediksi. Ada kemungkinan harga minyak dunia tahun depan akan naik seiring dengan kenaikan suku bunga Amerika.
Pada akhir Oktober 2014, adalah sebesar US$ 83,27 per barel. Secara rata-rata selama 10 bulan dari Januari hingga Oktober 2014, ICP berada pada level sekitar US$ 102 per barel.
Hitungan Lana, jika harga BBM naik Rp 3.000 per liter, maka ada penghematan anggaran sebesar Rp 144 triliun selama satu tahun. Sedangkan jika naik Rp 2.000 per liter penghematannya sebesar Rp 95 triliun, dan naik Rp 1.000 penghematannya sebesar Rp 48 triliun selama satu tahun.
Efek berantai
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara bilang, lebih baik harga BBM bersubsidi naik tahun ini. Pasar sudah berekspektasi harga BBM naik. Sehingga, sudah ada pelaku usaha yang menaikkan harga produknya. Kenaikan inflasi pun sudah terjadi. “Setiap naik BBM naik Rp 1.000 per liter, tambahannya ke inflasi 1,1% hingga 1,2%,” kata Mirza.
Itu berarti, kalau harga BBM bersubsidi naik Rp 3.000 per liter, inflasi tahun ini bertambah 3,3% sampai 3,6%. Kalau mengacu ke target inflasi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 yang 5,3%, maka inflasi tahun ini bisa mendekati angka 9%.
Betul. Bak bensin yang gampang terbakar, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi menyambar ke mana-mana. Harga barang dan jasa segera menyusul kenaikan harga BBM terutama sektor transportasi.
Organisasi Angkutan Darat (Organda) menghitung, kenaikan harga BBM bersubsidi Rp 3.000 per liter akan mengerek tarif angkutan umum sebesar 40%. Soalnya, BBM memakan sekitar 35%–40% komponen tarif angkutan umum.
Dengan kenaikan tarif sebesar itu, Organda khawatir minat masyarakat menggunakan transportasi publik menurun. Itu sebabnya, Organda menolak keras kenaikan harga BBM bersubsidi. “Angkutan umum masih membutuhkan subsidi agar bisa tetap terjangkau oleh masyarakat kecil. Secepatnya kami akan mengirim surat ke Jokowi,” ucap Andriansyah, Sekretaris Jenderal Organda.
Berbeda dengan pengusaha penyedia jasa logistik yang sudah ancang-ancang mengatrol tarif logistik. Iskandar Zulkarnain, Ketua Umum Gabungan Forwarder Penyedia Jasa Logistik dan Ekspedisi Seluruh Indonesia (Gafeksi), menyebutkan, hasil perhitungan asosiasinya, bakal ada kenaikan biaya angkut sebesar 6%–10% bila harga BBM bersubsidi naik
Rp 3.000 per liter. “Efeknya langsung terasa. Ongkos angkut pun naik karena saling terkait dengan BBM,” kata dia.
Makanya, kenaikan tarif logistik tidak bisa dihindari. Sebab, BBM merupakan komponen strategis dalam bisnis jasa angkut barang. “Pengusaha penyedia jasa logistik tentu tidak mau tekor, dong. Tidak ada pilihan selain menyesuaikan tarif angkut,” ujar Iskandar.
Kenaikan tarif di sektor transportasi lalu berdampak ke harga barang dan jasa lainnya. Sebut saja, harga makanan dan minuman. Cuma, Franky Sibarani, Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), menegaskan, kenaikan harganya tidak besar.
Dalam industri makanan dan minuman, yang langsung terkena efek kenaikan harga BBM bersubsidi adalah komponen distribusi. Tapi, biaya distribusi hanya berkontribusi 5% terhadap harga produk. Walhasil, “Kalau harga BBM naik Rp 3.000 per liter, maka dampaknya terhadap kenaikan harga barang hanya 3%. Angka ini tidak besar, bukan?” kata Franky.
Hanya, Franky buru-buru mengingatkan, koreksi harga makanan dan minuman yang terbilang tinggi justru akan terjadi pada awal tahun 2015 nanti. Penyebabnya, selain harga BBM bersubsidi naik, ada kenaikan upah buruh dan penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Sebab, komponen yang paling besar berpengaruh terhadap harga makanan dan minuman adalah bahan baku dan kemasan yang sebagian besar masih impor. Artinya, kalau rupiah terus berfluktuasi, maka pengaruhnya semakin besar.
Namun, Franky menambahkan, kenaikan harga BBM bersubsidi sebetulnya tidak menjadi masalah kalau pemerintah segera memperbaiki infrastruktur, terutama jalan dan pelabuhan. Biayanya, tentu saja, dari penghematan anggaran subsidi BBM. Biaya logistik bisa ditekan jika distribusi lancar.
Stimulus
Kepala Ekonom BII Juniman menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun ini hanya akan tumbuh sekitar 5,1%. Khusus di triwulan IV, ekonomi juga akan berkisar 5,1%. Ada peluang bisa tumbuh 5,2% namun haruslah upaya ekstra terutama pada konsumsi pemerintah.
Satu-satunya harapan yang bisa membuat ekonomi Indonesia membaik adalah stimulus pemerintah. Stimulus pemerintah bisa terjadi apabila ada ruang fiskal. "Satu-satunya hal yang paling efektif adalah menaikkan harga BBM. Uangnya bisa digunakan untuk menstimulus ekonomi," katanya.
Yang perlu dipikirkan adalah dampak jangka menengah panjang agar ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih baik. Selain itu, dengan menaikkan harga BBM kondisi defisit transaksi berjalan Indonesia bisa mengempis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News