kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45936,09   7,74   0.83%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Sudah ada payung hukum, bisnis pembangkit listrik tenaga surya bakal bangkit?


Sabtu, 08 Desember 2018 / 01:05 WIB
Sudah ada payung hukum, bisnis pembangkit listrik tenaga surya bakal bangkit?


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pengembang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ketiban rezeki nomplok. Terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN, membuat gerak bisnis pengembang makin leluasa.

Bukan saja melayani PLTS skala besar, tetapi juga masuk ke ritel yakni rumah tangga. Bahkan ada indikasi peralihan pemakaian listrik dari memakai jaringan PLN menjadi memakai PLTS secara mandiri.

Founder and Chief Executive Officer (CEO) Baran Energy Victor Wirawan mengungkapkan, dengan aturan tersebut pihaknya merasa sangat terbantu lantaran apa yang dirintis Baran Energy kini sudah dimudahkan. "Saya juga kaget dengan aturan itu, ternyata memudahkan kami berbisnis," kata dia kepada Kontan.co.id, Jumat (7/12).

Tahun depan, Baran Energy menyediakan PLTS sampai 62 megawatt (MW) dengan total investasi mencapai US$ 1,2 triliun. Keperluan PLTS sebanyak itu banyak diminta kawasan industri, pabrik, pebisnis menengah, kafe, restoran, rumahsakit, dan sampai ke rumah tangga.

Victor mengatakan, dengan keluarnya regulasi tersebut, banyak pabrik yang meminta pemasangan PLTS hingga 100% on grid. Maksudnya, mereka ingin memasang PLTS sampai sesuai daya yang selama ini mereka beli dari PLN.

Misalnya, untuk pabrik dengan pemakaian 12 MW, perusahaan tersebut bisa memasang PLTS rooftop atau atap senilai Rp 12 miliar per 1 MW, atau Rp 144 miliar untuk 12 MW. Dia mengatakan, pemakaian PLTS rooftop bisa mencapai 15 tahun. "Saya kasih garansi sampai 10 tahun," ujar dia.

Bandingkan dengan memakai listrik PLN yang tarifnya bisa naik 10% per tahun, pengeluaran akan jauh lebih besar. "Tetapi pemakaian PLN tetap jangan diputus, ini untuk efesiensi saja memakai PLTS, karena memang pemakaian PLTS tergantung cuaca," ujar dia.

Victor memang tak menyangkal dengan terbitnya aturan tersebut banyak kliennya dari pabrik, pebisnis menengah, dan rumah tangga meminta PLTS rooftop 100% on grid. "Mereka ingin pasang sesuai daya mereka saat ini yang dibeli dari PLN," ujar dia.

Saat ini Baran Energy juga tengah bekerjasama dengan 19 pengembang perumahan untuk pemasangan PLTS rooftop. Victor mengklaim, produknya memakai produk baterai yang dipakai Tesla, produsen mobil listrik asal Amerika Serikat.

Setali tiga uang, Founder & CEO PT Enertec Mitra Solusi Mada Ayu Habsari mengatakan, setelah Permen ESDM tersebut terbit, banyak partner bisnis meminta perusahaannya memasang PLTS rooftop di atap pabriknya. "Sekarang orang banyak kontak saya, contoh saja beberapa pabrik yang cukup besar sudah mulai kontak untuk bangun PLTS," ungkap dia kepada Kontan.co.id, Jumat (7/12).

Dia menilai, dengan aturan ini banyak orang tidak takut lagi memasang PLTS di atap pabrik atau rumahnya. Dus, Mada menilai, dengan adanya regulasi baru dari Kementerian ESDM tersebut, 11 pabrikan solar cell yang ada di Indonesia akan kembali hidup.

Namun, yang masih menjadi kendala produk dalam negeri masih lebih mahal dibandingkan produk impor solar cell impor. "Kalau produk dalam negeri US$ 0,7 per 1 watt peak (wp). Sedangkan produk impor hanya US$ 0,4 per 1 wp," imbuh dia.

Alhasil, para pengembang atau engineering, procurement, and construction (EP) proyek PLTS masih memilih produk impor. Ini berimplikasi terhadap harga jual panel surya ke pelanggan.

Saat ini, kata Mada, pihaknya sedang menjajaki pengembangan PLTS berkapasitas 20 MW-30 MW lewat joint venture dengan perusahaan asing. Enertec akan mengerjakan PLTS skala besar 20 MW-30 MW dengan investasi Rp 500 miliar di Kalimantan.

Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Harris menegaskan, Permen ESDM ini sudah cukup akomodatif untuk meningkatkan pangsa pasar energi terbarukan. “Itu untuk mendorong bisnis dan industri panel surya,” ungkapnya.

Ancam PLN?

Melihat animo besar dari pelanggan yang ingin beralih menggunakan PLTS rooftop, pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhy menyatakan, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) pada saatnya akan menggantikan energi konvensional. EBT bisa menjadi barang subsitusi atas energi pembangkit yang saat ini. "Tak bisa dihindarkan (Permen ESDM No 49/2018) akan mengurangi pendapatan PLN," ujarnya.

Dengan kata lain, Permen ESDM No 49/2018 juga mengancam kinerja keuangan PLN. Asal tahu saja, hingga kuartal III-2018 lalu, PLN mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 18,48 triliun, padahal pada periode sama tahun sebelumnya PLN masih membukukan laba bersih Rp 3,05 triliun.

Fahmy menyarankan agar PLN juga masuk ke usaha produksi dan penyediaan PLTS atap dalam produk diversifikasi. "Saya kira PLTS atap tidak bisa memenuhi untuk industri, kalau 35.000 MW memang untuk memenuhi listrik industri. Kalau PLTS atap untuk kebutuhan listrik rumah tangga," ujar dia.

Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi  Kementerian ESDM Rida Mulyana menyatakan, penggunaan PLTS atap ini mampu menghemat pembayaran listrik kepada PLN sampai 30%. Kementerian ESDM menargetkan potensi pelanggan PLTS atap dalam tiga tahun bisa mencapai 1.000 MW.

"Nah kemarin (dalam hitungan) kurang lebih target 1 gigawatt (GW) terpasang dalam tiga tahun. Kami sudah hitung dampak nya ke pengurangan revenue PLN berapa," terangnya di Kantor Dirjen Ketenagalistrikan, Rabu (28/11), tanpa mau menyebut detail berapa potensi pengurangan pendapatan PLN itu.

Dengan target kapasitas terpasang hingga 1.000 MW itu, Rida masih khawatir bahwa penyedia jasa belum siap. Sebab, pemasangan ini untuk seluruh pelanggan PLN yang telah terpasang aliran listrik, seperti, rumah tangga, baik komersial atau pemerintah, dan juga industri.

Direktur Bisnis Regional Jawa bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara PLN Djoko R Abu Manan belum menghitung kehilangan pendapatan keuangan PLN dari pemakaian PLTS atap itu. Tapi ia berharap, pemasangan PLTS atap itu dilakukan secara segmented sehingga penggunaannya cukup untuk keperluan pribadi.

"Karena kalau hari ini (tarif listrik) pun menurut saya cukup mahal. Jadi mereka tak berpikir untuk berbisnis. Harusnya lebih kepada ingin energi bersih," terangnya.

Menurut data yang didapatkan Kontan.co.id, jumlah pengguna PLTS atap yang terdaftar oleh PLN saat ini adalah 553 pelanggan dengan kWh ekspor sebesar 164.787. Jumlah itu baru tersebar di sembilan wilayah, yakni di Jakarta Raya, Jawa Barat, Banten, Bali, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, Riau dan Kepri, Sumatera Selatan dan Jambi, serta Sumatra Utara.

Produsen listrik

Dalam Permen ESDM No 49 tahun 2018 memang disebutkan, tujuan dari penggunaan sistem PLTS atap adalah untuk menghemat tagihan listrik. Namun demikian, masyarakat yang memakai PLTS tidak boleh melebihi daya listrik yang saat ini dimiliki. Di pasal 5 beleid tersebut disebutkan, kapasitas sistem PLTS atap dibatasi paling tinggi 100% dari daya tersambung konsumen PLN.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andi Noorsaman Someng menuturkan, ketentuan ini menjadikan masyarakat sebagai konsumen sekaligus produsen listrik. "Tadinya produsen hanya PLN, tapi sekarang masyarakat bisa sebagai produsen," kata Andy.

Hanya saja, tarif listrik ekspor ke PLN dari PLTS rooftop dibatasi. Dalam pasal 6 Permen ESDM No. 49/2018 disebutkan bahwa pelanggan PLTS atap yang diekspor ke jaringan PLN dihitung berdasarkan kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikalikan 65%. Perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih nilai kWh impor dan nilai kWh ekspor.

Masyarakat ataupun industri tidak bisa mendapatkan harga listrik setara tarif PLN menjual listrik ke masyarakat. Misalnya saat ini PLN menjual listrik ke masyarakat Rp 1.352 per kWh. Artinya tarif listrik yang diekspor ke jaringan PLN oleh PLTS rooftop hanya dibayar 65% dari Rp 1.352 per Kwh.

Mengapa harga listriknya separuh dari harga jual listrik PLN ke masyarakat? Menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan, keadilan harga jual listrik harus berdasarkan dua komponen pembentuk dalam penentuan harga jual listrik, yaitu pembangkit dan distribusi.

Atas pertimbangan tersebut, Jonan menilai, perhitungan aturan jual beli energi listrik oleh pelanggan PLTS atap ke PLN sebesar 65% sudah cukup adil bagi keduanya.

"Saya bilang ini fair karena kalau kita memakai pembangkit listrik tenaga surya di rumah. Istilahnya gini, jual listrik dari konsumen ke PLN pakai kabelnya siapa? Kan pakai jaringan transmisi dan distribusinya PLN, gardu induknya juga PLN. Konsumen hanya pembangkit saja," kata Jonan dalam acara Alumni ITS beberapa waktu lalu.

Jonan melihat, biaya investasi PLTS akan semakin murah. Maka itu, ia optimistis PLTS rooftop bakal menjadi bisnis yang menjanjikan ke depannya. "PLTS rooftop ini saya yakin akan tumbuh besar karena harganya makin lama makin murah," ujar Jonan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×