kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Benarkah era harga minyak murah akan berakhir?


Kamis, 16 April 2015 / 11:21 WIB
Benarkah era harga minyak murah akan berakhir?
ILUSTRASI. Promo JSM Alfamart Periode 3-5 November 2023.


Sumber: CNBC,Bloomberg | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

NEW YORK. Rabu kemarin (15/4), harga minyak dunia bergerak ke atas level US$ 56 untuk pertama kalinya di 2015. Dengan demikian, ini merupakan hari kelima kenaikan harga minyak dunia. 

Padahal, beberapa waktu terakhir, konsumen AS menikmati bulan madu berupa murahnya harga bensin pada tahun ini akibat anjloknya harga minyak. Sekadar informasi, harga rata-rata bensin AS per galonnya sebesar US$ 2,39. Berdasarkan data AAA, angka ini di bawah harga rata-rata bensin tahun lalu yang sebesar US$ 3,63.

  • Lalu, apakah masa harga bensin murah di Amerika akan segera berakhir?

"Saat ini, harga minyak tengah berupaya menembus resisten level yang krusial yang dapat memicu harga naik sebesar US$ 6 hingga US$ 10 ke level US$ 60," tulis Timothy Anderson, Managing Director MND Partners.

Kenaikan harga minyak kemarin memicu aksi beli saham-saham energi di Wall Street. Menurut Anderson, lompatan harga si emas hitam menyebabkan investor lebih percaya diri untuk masuk ke saham-saham berbasis energi.

Sejumlah saham energi AS yang diburu investor pada Rabu (15) kemarin antara lain Range Resources yang naik hampir 6%, Transocean naik 9%, Exxon naik 2%, Royal Duth Shell naik 1,7%, Chevron naik 1,5%, dan Conoco Phillips naik 1,4%.

Sektor energi menjadi salah satu sektor yang memiliki performa terbaik pada dua hari terakhir. Kenaikan sektor ini berhasil mengangkat bursa AS.

Namun, yang perlu diingat, saham-saham tersebut sudah mengalami penurunan dua digit (dalam %) dari tahun lalu. Meski banyak analis yang yakin harga minyak akan mendaki lagi, namun, banyak juga pihak yang meragukan apakah harga si emas hitam bisa kembali ke level US$ 100 dalam waktu dekat.

"Kami percaya saat ini masih terlalu dini bagi investor untuk membeli minyak. Kami melihat pasar minyak masih berupaya mencari keseimbangan," papar Paul Christopher, Head of International Strategy Wells Fargo.

  • AS akan menjadi negara independen energi?

Anjloknya harga minyak dunia dipicu oleh melimpahnya suplai minyak global. OPEC, yang dipimpin oleh Arab Saudi, sangat vokal menyerukan bahwa pihaknya tidak akan memangkas produksi. Bahkan OPEC kembali menaikkan produksi lagi pada Maret.

Di sisi lain, Amerika juga tengah menuju tingkat produksi ke rekor tertinggi di tahun 2015, bahkan melampaui produksi pada 1970 silam. Kenaikan produksi minyak AS ini yang kemudian memicu spekulasi bahwa AS akan menjadi negara yang mandiri atas energi. Departemen Energi AS memproyeksikan bahwa Amerika bisa menjadi negara yang independen atas energi -ekspor minyak lebih tinggi dari impor- pada 2019 medatang.

Departemen Energi AS juga meramal, jika harga minyak naik ke atas US$ 100 per barel, hal itu akan semakin mengerek tingkat produksi AS dan memangkas permintaan akan minyak impor. "Dengan demikian, AS bisa menjadi negara pengekspor energi di 2019," jelas Energy Information Administration (EIA).

Namun, lanjut EIA, harga minyak masih akan bergerak moderat beberapa waktu ke depan. Itu berarti, AS tidak akan menjadi negara yang independen energi hingga 2028.

Hanya saja, meski harga minyak masih rendah, tingkat produksi minyak mentah AS akan mencapai rekor tertingginya pada tahun ini.

Lonjakan produksi minyak AS, lanjut EIA, akan tetap menekan harga minyak di bawah US$ 80 hingga 2020 dan di bawah US$ 100 per barel hingga setidaknya tahun 2028.

  • Apa yang menyebabkan kenaikan harga minyak yang tiba-tiba beberapa waktu belakangan?

 Faktor utama yang mendorong kenaikan harga minyak sepertinya dipicu oleh data yang dirilis Energy Information Administration (EIA)  AS yang menunjukkan bahwa suplai minyak di Amerika tidak banyak bertambah pada pekan lalu.

Adapun faktor lainnya adalah kenaikan permintaan minyak global, khususnya setelah perekonomian Eropa tampak lebih sehat dari prediksi sebelumnya.

Selain itu, seruan anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) agar memangkas produksi juga turut menyulut kenaikan harga bahan bakar ini dalam lima hari terakhir.

Asal tahu saja, Iran juga mengikuti jejak anggota OPEC lain, yakni Libia untuk meminta organisasi tersebut mengurangi produksi. Menteri Perminyakan Iran, Bijan Namdar Zanganeh mengatakan, anggota-anggota OPEC perlu memotong volume produksi minimal 5% atau setara 1,5 juta barel per hari dari kuota produksi.

Sikap ini berseberangan dengan keputusan Arab Saudi pada November lalu yang menjaga produksi kolektif sebesar 30 juta barel sehari. Padahal suplai yang melimpah memicu harga jatuh sejak tahun lalu.

Analis SoeGee Futures Nizar Hilmy mengatakan, aksi Iran dan Libia memicu spekulasi suplai mungkin bisa susut. Pasar kian optimistis, EIA melaporkan, produksi shale oil di North Dakota, Amerika Serikat akan berkurang 57.000 barel per hari mulai Mei nanti. Dus, produksi minyak AS bisa berkurang menjadi 4,9 juta barel per hari.

"Memang, sentimen ini relatif sesaat, sebab stok minyak global masih banyak. Tapi ada harapan OPEC mengurangi produksi dalam jangka panjang," kata Nizar.

Harga minyak hingga akhir pekan ini akan dipengaruhi data stok di AS. Sejumlah analis memperkirakan, stok bertambah 3,5 juta barel per pekan lalu. Namun, pertambahannya lebih rendah ketimbang pekan sebelumnya, 10,9 juta barel.

"Jika data sesuai ekspektasi, reli harga minyak bisa berlanjut. Sebaliknya, jika di atas perkiraan, laju kenaikan akan tertahan," tutur Nizar. Ia menebak, hingga akhir pekan ini, harga minyak mentah bergerak di kisaran US$ 52 hingga US$ 55 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×