Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia mencatat inflasi 5,51% pada tahun 2022. Realisasi inflasi tahun lalu lebih tinggi ketimbang target sasaran Bank Indonesia (BI) yang mencapai maksimal 4%.
Kenaikan harga energi menjadi pemicu utama lonjakan inflasi yang mencapai level tertinggi sejak 2014. Selain harga energi, kenaikan harga pangan juga turut andil mengangkat inflasi sepanjang tahun lalu.
Laju inflasi tahun ini diperkirakan akan kembali ke kisaran sasaran BI antara 2%-4% di semester kedua 2023. Tapi inflasi tinggi masih berpotensi terjadi di semester pertama tahun ini.
Efek lanjutan kenaikan harga BBM yang baru terjadi September lalu masih akan terasa bagi konsumen. Bank Mandiri memperkirakan bahwa laju inflasi Indonesia di semester pertama tahun ini akan berada di kisaran 4%-6% secara tahunan.
Masyarakat sudah bebas beraktivitas kembali setelah pemerintah mencabut PPKM. Kenaikan upah yang biasa terjadi di awal tahun pun akan membuka peluang peningkatan konsumsi masyarakat.
Baca Juga: Hati-Hati Inflasi Barang Impor
Ada pula efek imported inflation, inflasi yang berasal dari impor. Sumber imported inflation ini ada dua. Pertama adalah harga barang dari negara asal yang meningkat. Kedua, nilai tukar lokal yang melemah, dalam hal ini rupiah.
Inflasi di Indonesia tahun 2022 bisa dianggap lebih jinak jika dibandingkan dengan misalnya Amerika Serikat (AS) ataupun Eropa yang mencapai hampir 10%. Kenaikan harga barang yang berasal dari kedua wilayah ini akan menyebabkan barang baku impor di Indonesia meningkat.
Sementara nilai tukar berpengaruh pada impor karena barang-barang yang dibeli dari luar negeri kebanyakan menggunakan mata uang asing. Pelemahan nilai tukar rupiah yang mencapai 9% tahun lalu menyebabkan barang impor menjadi lebih mahal jika dirupiahkan.
"Imported inflation harus dipantau karena sebagian besar impor Indonesia adalah barang mentah," kata Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman, Selasa (3/1) lalu.
Kenaikan barang mentah yang menjadi bahan baku industri Indonesia akan turut mengerek harga barang jadi yang dijual kepada konsumen domestik.
Baca Juga: Bukan Resesi, Moody's Sebut Bakal Terjadi Slowcession di 2023, Apa Pengertiannya?
Dampak inflasi tinggi ke korporasi
Tak cuma konsumen, inflasi tinggi juga memengaruhi korporasi dan emiten yang mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia. Dampak paling terlihat adalah kenaikan harga bahan baku atau beban pokok dan biaya lainnya seperti transportasi.
Consumer price index (CPI) atau indeks harga konsumen (IHK) menghitung harga sekeranjang barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen. Inflasi menunjukkan kenaikan IHK. Inflasi yang masih dalam batas wajar, yang menurut target sasaran BI antara 2%-4% menunjukkan kondisi yang sehat.
Inflasi yang masih dalam batas wajar akan meningkatkan lapangan kerja, tingkat upah, dan pada akhirnya positif bagi pertumbuhan ekonomi. Tapi, inflasi tinggi berkelanjutan bisa menyebabkan kejutan bagi ekonomi.
Lonjakan harga berpotensi menurunkan daya beli konsumen ketika tingkat upah tidak meningkat setinggi inflasi. Penurunan daya beli menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat berkurang sehingga bisa menekan laju pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Inilah Saham Blue Chip Tahun 2023 Yang Diprediksi Punya Prospek Bagus
Dari sisi produsen, kenaikan harga barang yang tinggi akan menimbulkan biaya bahan baku yang lebih tinggi juga. Kenaikan harga barang baku dan biaya operasional menyebabkan margin emiten menyempit. Salah satu cara untuk mengatasi penyempitan margin adalah dengan menaikkan harga jual ke konsumen.
Sementara kenaikan harga jual pun tidak bisa dilakukan secara mendadak dan terus menerus. Jadi, efek terbesar bagi emiten adalah ketika inflasi mulai tinggi tapi belum sempat menaikkan harga jual. Di sisi lain, kenaikan harga jual akan menyebabkan konsumen berpikir ulang untuk membeli. Dampaknya adalah konsumen bisa membeli dalam volume lebih kecil atau tidak membeli sama sekali.
Penurunan jumlah barang yang diminta oleh konsumen menyebabkan produsen bisa mengurangi jumlah produksi. Jika hal ini berlangsung terus menerus, salah satu upaya produsen adalah memangkas biaya produksi, termasuk pengurangan tenaga kerja. Lapangan kerja yang turun pada akhirnya akan berpengaruh juga pada pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Pilihan Emiten Barang Konsumen Primer di Tahun 2023
Dampak inflasi terhadap saham
Dilihat dari perusahaan atau emiten, inflasi akan menurunkan keuntungan atau laba. Dampak ini terutama terasa bagi emiten pengolahan/manufaktur yang menggunakan bahan baku yang terpengaruh oleh kenaikan harga. Sementara emiten-emiten seperti tambang yang mengambil sumber daya alam sebagai bahan baku, efek inflasi akan lebih ringan.
Contoh kasusnya adalah dua emiten barang konsumsi primer dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI, yakni PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Kedua emiten ini mencatat penurunan margin laba kotor dalam pada kuartal kedua dan ketiga 2022. Margin laba kotor yang mengecil menunjukkan kenaikan beban pokok yang lebih besar ketimbang penjualan (lihat tabel).
Margin laba kotor merupakan keuntungan yang didapat emiten dari penjualan setelah dikurangi beban pokok penjualan. Beban pokok penjualan biasanya terdiri dari bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan beban pabrikasi (termasuk biaya bahan bakar dan energi).
Sebaliknya, dua emiten tambang dengan kapitalisasi pasar terbesar, yakni PT Bayan Resources Tbk (BYAN) dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) justru mencatat kenaikan margin laba kotor. Kedua emiten ini diuntungkan oleh kenaikan harga batubara yang merupakan komoditas penjualan terbesar.
Dalam laporannya, ADRO menyebutkan bahwa pendapatan usaha bersih periode Januari-September 2022 melesat 130%. Sementara beban pokok pendapatan meningkat 59%, jauh di bawah kenaikan pendapatan.
Baca Juga: Waspadai Lonjakan Inflasi Awal Tahun
Perlu diingat juga bahwa kenaikan harga BBM di Indonesia baru berlaku September 2022, artinya tabel emiten di atas belum memasukkan faktor harga BBM yang baru. Alhasil, margin laba kotor emiten-emiten ini berpotensi turun lagi.
Investor yang berinvestasi saham akan mendapatkan dua hal yakni keuntungan karena kenaikan harga saham (capital gain) dan dividen. Dividen-dividen emiten bisa berkurang karena penurunan laba akibat beban yang meningkat.
Sementara dari harga saham, valuasi harga wajarnya pun akan tergantung pada kinerja fundamental yang tercermin dari laporan keuangan. Analis saham pun akan menghintung kembali valuasi saham untuk menetapkan target harga dengan melihat kinerja emiten. Sehingga efek inflasi tinggi yang berkelanjutan bisa menyebabkan tekanan di pasar saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News