Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Mesti Sinaga
Alarm krisis likuiditas perbankan sudah menyala. Indikasi ini bisa dilihat dari rasio likuiditas perbankan. Salah satunya dengan melihat tingkat loan to deposit ratio (LDR) perbankan.
LDR adalah rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber.
Nah, berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis Otoritas Jasa keuangan (OJK), di sepanjang tahun ini, LDR perbankan menunjukkan tren meningkat.
Pada Juni tahun ini, misalnya, LDR perbankan sudah tembus 92,76%. Jika dibandingkan dengan periode sama di tahun 2017 yang sebesar 89,59%, LDR perbankan naik 317 basis points (bps) secara tahunan atau year on year (lihat tabel).
Seperti diketahui, semakin tinggi tingkat LDR, hal itu menunjukkan bahwa likuiditas bank juga akan semakin ketat. Maklum, penyaluran kredit bank dibiayai oleh dana pihak ketiga (DPK) yang sewaktu-waktu dapat ditarik.
Celakanya, di tengah loyonya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang pada Kamis pekan lalu tembus di level Rp 14.891, likuiditas valuta asing (valas) perbankan di tanah air juga kian mengetat.
Data OJK sampai Juni 2018 menunjukkan, rasio kredit dibanding DPK (LDR) valas perbankan naik.
Secara industri, rasio LDR valas sebesar 95,9% atau naik 890 bps secara tahunan atau year on year (yoy) dari periode sama sebelumnya 86,99%
Dari tiga kelompok bank, yaitu bank BUMN, bank swasta dan bank asing, tercatat bank asing mempunyai LDR valas tertinggi disusul bank swasta dan bank BUMN.
Sampai Juni 2018, bank asing mempunyai LDR valas 142,41%. Adapun LDR valas bank swasta 93,22%, dan bank BUMN 86,85%.
Hampir seluruhnya kelompok bank ini mencatat kenaikan LDR valas, kecuali bank asing yang turun dari posisi tahun 2017 (yoy) yang mencapai 156,6%.
Kelompok bank BUMN, swasta, dan asing memang merupakan bank dengan pangsa pasar kredit dan DPK valas terbesar.
Bank swasta masih merupakan kelompok bank yang paling getol menyalurkan kredit valas dengan pangsa pasar 47% dari total kredit valas perbankan, disusul bank BUMN (36%) dan bank asing (16%).
Dari sisi DPK valas, penguasa pasar masih dari bank swasta sebesar 49% dari total DPK valas perbankan, disusul bank BUMN (40%) dan bank asing (10%).
Risiko bank BUKU 3 & 4
Dengan melihat kondisi tersebut, menurut Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), bank yang lebih terdampak di kelompok bank swasta, disusul bank BUMN, dan bank asing yang porsi kredit valas dari total penyaluran kredit cukup besar.
Namun, secara kelompok, sebagian di bank BUKU 3 dan 4 akan terkena dampak pelemahan rupiah. Sedangkan bank BUKU 1 dan BUKU 2 tidak banyak terpengaruh lantaran porsi penyaluran kredit valas terbilang kecil.
Namun, bank-bank yang menerbitkan letter of credit (L/C) juga berpotensi terdampak. Sebab, ada korelasi antara L/C dengan suplai kredit dan simpanan valas.
Itu sebabnya, bank pelat sekaliber PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri) juga harus mengalami pengetatan likuiditas.
Menurut Darmawan Junaidi, Direktur Treasury dan International Banking Bank Mandiri, sampai Juni 2018, LDR Bank Mandiri naik tinggi, yaitu mencapai 94%.
Darmawan mengakui, ketatnya likuiditas valas di perbankan disebabkan oleh pertumbuhan DPK yang cenderung terus menurun di tengah peningkatan pertumbuhan kredit valas.
“Pelemahan rupiah yang disertai oleh arus modal asing keluar dari pasar modal domestik juga berdampak kepada likuiditas di sistem perbankan,” katanya.
Sampai 3 September 2018 lalu, terjadi arus modal asing keluar (outflow) di pasar saham yang mencapai Rp 50,9 triliun.
Di sisi lain, arus modal asing yang masuk (inflow) di obligasi pemerintah hanya sebesar Rp 17,6 triliun. Jadi, secara total terjadi nett outflow Rp 33,3 triliun dari pasar modal.
Sayangnya, Darmawan enggan membeberkan besaran DPK valas Bank Mandiri. Dia hanya menyebutkan, proporsi kredit valas Bank Mandiri hanya sebesar 17% dari total portofolio kredit perusahaan.
“Sebagian besar debitur valas kami juga memiliki bisnis yang menggunakan mata uang dollar AS (natural hedge),” imbuh dia.
Bank pelat merah lain yang mengalami pengetatan valas ialah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Secara year to date, LDR valas BNI naik dari 94,9% di Desember 2017 menjadi 98,3% di Juni 2018.
“Likuiditas valas saat ini lebih terpengaruh sentimen global, yaitu kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) dan kekhawatiran dampak perang dagang antara AS dan China,” kata Rico Rizal Budidarmo, Direktur Bisnis Tresuri dan Internasional BNI.
Bhima menimpali, pelemahan rupiah terhadap dollar AS juga sangat besar pengaruhnya terhadap likuiditas valas bank.
Jika tren rupiah tembus di atas Rp 15.000 per dollar AS, pelaku industri dan importir yang butuh bahan baku dan barang modal impor akan melakukan early purchasing atau pembelian awal, sehingga selisih kurs bisa ditekan.
“Akibatnya permintaan kredit valas naik, deposito valas ditarik untuk pembayaran impor,” katanya.
Selain pelemahan rupiah, lanjut Bhima, faktor lain yang menyebabkan likuiditas valas di perbankan mengetat adalah kebutuhan untuk pembayaran impor yang terus naik.
Sejak Januari-Juli 2018, pertumbuhan impor sudah di angka 24,4% secara yoy, jauh di atas pertumbuhan ekspor sebesar 15,6%.
Itulah yang menyebabkan permintaan kredit valas juga ikut tumbuh. OJK mencatat, sampai Juni 2018, kredit valas perbankan mencapai Rp 751,73 triliun.
Nilai tersebut meningkat 16,45% dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 645,50 triliun.
Pertumbuhan kredit valas didorong oleh kenaikan biaya jasa logistik, karena pelemahan kurs rupiah dan kenaikan harga minyak mentah dari awal tahun ini.
Bukan cuma itu. Struktur logistik, khususnya perkapalan, sebesar 93% kapal ekspor-impor memakai jasa kapal asing yang cukup menguras kebutuhan dollar AS di dalam negeri.
Faktor lain, simpanan valas dalam bentuk deposito yang berkaitan dengan dana repatriasi amnesti pajak mulai ditarik keluar oleh nasabah.
“Jika dana repatriasi ditarik, jumlahnya setara Rp 147 triliun, lumayan signifikan untuk mengurangi deposito valas,” kata Bhima.
Sebagai gambaran, simpanan valas di perbankan sampai Juni 2018 tercatat hanya Rp 783,88 triliun. Angka ini juga turun 5,33% dibandingkan periode serupa di tahun 2017.
Strategi atasi risiko
Toh, para bankir sudah meracik ramuan untuk mengatasi risiko likuiditas valas. Ambil contoh Bank Mayapada yang akan melakukan strategi penyeimbangan DPK dengan kredit melalui deposito dan tabungan valas.
Menurut Haryono Tjahjarijadi, Presiden Direktur Bank Mayapada, pihaknya juga akan selektif menyalurkan kredit valas ke debitur yang memiliki pendapatan dalam valas.
Langkah serupa akan dilakukan BCA. “Ke depan, kami akan tetap mempertahankan penyaluran kredit valas dengan mempertimbangkan sumber pendanaan nasabah dan disalurkan sesuai batasan risk appetite perusahaan,” papar Jan Hendra, Sekretaris Perusahaan BCA.
Sementara itu, untuk mengantisipasi volatilitas nilai tukar yang tinggi, Bank Mandiri akan memberikan solusi kepada nasabah, yaitu produk lindung nilai (hedging) atas kredit valas yang dimiliki. Misalnya call spread dan cross currency swap.
Untuk menggenjot DPK valas, bank berlogo pita emas ini bakal melakukan tinjauan secara berkala. Ada empat komponen yang selalu diperhatikan, yaitu bagaimana proyeksi pertumbuhan aset (kredit), likuiditas pasar, maturity profile dari komposisi aset dan liabilitas bank, serta profitabilitas.
“Strategi pertumbuhan dana jangka pendek difokuskan pada pertumbuhan dana murah untuk menjaga tingkat LDR dan menekan biaya dana dan meningkatkan profitabilitas,” tandas Darmawan.
◆ Jurus BI Menarik Masuk DHE
Pemerintah terus mencari jurus ampuh untuk menarik devisa hasil ekspor (DHE) ke dalam negeri.
Salah satunya seperti yang ditempuh Bank Indonesia (BI) yang terus mendorong eksportir untuk mengonversi DHE ke BI langsung atau ke perbankan. Saat ini, biaya swap di Indonesia sudah lebih rendah daripada pasar.
Pada pekan lalu, BI menawarkan biaya swap senilai 4,67% untuk tenor 1 bulan, lalu 4,84% untuk tenor 3 bulan, dan 4,98% untuk tenor 6 bulan, dan 5,11% untuk tenor 12 bulan.
Sedangkan, penawaran biaya swap untuk pasar sebesar 4,65% untuk tenor 1 bulan, 5,01% untuk tenor 3 bulan, 5,10% untuk tenor 6 bulan, dan 5,20% untuk tenor 12 bulan.
Langkah tersebut memang perlu dilakukan BI. Maklum, simpanan deposito valas juga dipengaruhi oleh minimnya DHE yang masuk ke kas perbankan.
Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI mengatakan, langkah itu dilakukan BI agar terjadi peningkatkan swap dari DHE ke BI.
“Saat ini, BI hanya mengelola foreign exchange (fx) swap senilai US$ 260 juta. BI menginginkan transaksi fx swap terus naik hingga akhir tahun,” kata Nanang kepada Nina Dwiantika dari Tabloid KONTAN.
Bank sentral mencatat, DHE selama kuartal II-2018 baru mencapai US$ 34,7 miliar. Dari jumlah tersebut, yang masuk ke perbankan domestik sebesar US$ 32,1 miliar atau 92,4%. Jumlah ini turun dari 92,9% di kuartal I-2018.
** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 10 September-16 September 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link ini: "Rupiah Tergencet, Valas Bank Mengetat"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News