Reporter: Rizki Caturini | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fenie pada suatu siang mengunggah story di akun media sosial Instagram miliknya. Karyawati perusahaan swasta di Jakarta ini curhat lantaran tiba-tiba ponsel pintar miliknya mendapatkan pesan singkat dari pengirim: LinkAja. Pesan tersebut menyatakan akun uang elektronik miliknya di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) telah berhasil dipindahkan ke LinkAja.
Fenie bingung, meski memang menjadi nasabah BRI, namun dia mengaku tidak pernah menggunakan layanan uang elektronik milik BRI yang bertajuk T-Bank tersebut. Rini, nasabah Bank Mandiri pun mengalami hal serupa. Perempuan berkacamata ini mendapatkan pesan singkat yang menyatakan akun e-cash miliknya telah berhasil berpindah ke LinkAja. Padahal Rini pun tak pernah menggunakan layanan uang elektronik milik Bank Mandiri tersebut.
Ternyata langkah itu menjadi bagian dari proses integrasi sistem uang elektronik berbasis server milik perusahaan-perusahaan milik pemerintah yang dilebur menjadi satu bertajuk LinkAja. Platform ini hasil sinergi Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yakni: e-cash milik PT Bank Mandiri Tbk, UnikQu punya PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dan T-Bank milik PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) bersama dengan Tcash milik PT Telkomsel, sebagai anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.
Beberapa perusahaan pemerintah seperti PT Pertamina dan PT Asuransi Jiwasraya yang mulai mengembangkan layanan digital pun ikut serta. Platform ini digadang-gadang bakal berkembang menjadi platform keuangan digital yang mampu berkelanjutan secara bisnis. LinkAja mengincar produk-produk layanan untuk kebutuhan masyarakat.
Danu Wicaksana, Direktur Utama Tcash yang didapuk memimpin PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) sebagai perusahaan yang menaungi LinkAja bilang, layanan pembayaran yang ditawarkan LinkAja merupakan langkah awal untuk ikut berkontribusi dalam program inklusi keuangan yang dicanangkan pemerintah.
Saat ini LinkAja menawarkan layanan pembayaran dengan sistem quick response (QR) code yang bisa digunakan untuk membeli pulsa, membayar pembelian barang di toko online, membayar di merchant lewat QR code maupun near field communication (NFC), bayar tagihan listrik hingga kirim uang.
Ke depan, LinkAja akan terus menambah fitur seperti layanan penarikan uang. Pengguna akan bisa mengambil uang di ATM Link tanpa harus memiliki kartu ATM bank pelat merah. Lewat aplikasi LinkAja di ponsel pintar, pengguna mengambil uang dengan menggunakan token.
Pengembangan layanan yang juga cukup realistis bagi LinkAja dalam waktu dekat menurut Danu adalah layanan credit scoring. Data historis transaksi yang dimiliki LinkAja nantinya bisa dimanfaatkan perbankan atau perusahaan multifinance dalam menentukan penyaluran kredit mereka.
Ke depannya, dengan data-data transaksi yang tercatat di sistem, LinkAja bisa berekspansi ke layanan pembiayaan atau marketplace dan lainnya. "Tapi karena untuk menjadi perusahaan penyedia layanan pinjaman butuh izin tambahan. Itu mungkin direalisasikan di tahun ketiga," ujar Danu.
Saat ini LinkAja baru menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan peer to peer (P2P) lending yang sudah berizin seperti Kredit Pintar dan Amarta untuk mengembangkan layanan penyaluran pinjaman. Berbagai rencana pengembangan bisnis tampaknya sudah cukup matang dipikirkan oleh perusahaan yang baru berdiri awal tahun 2019 ini.
Yang jelas ambisi LinkAja adalah menggunakan aset perusahaan pelat merah yang ada untuk bisa membangun sebuah ekosistem. Perjalanan untuk membentuk ekosistem yang diharapkan memang masih butuh waktu cukup panjang. Sebab, proses migrasi sistem uang elektronik berbasis server sejumlah bank BUMN baru saja selesai. "UnikQu sudah selesai 100% migrasi ke LinkAja," ujar Dadang Setiabudi, Direktur Teknologi Informasi dan Operasi BNI.
Kepemilikan saham perusahaan-perusahaan pelat merah di Finarya pun masih terus digodok. Saat ini kepemilikan saham di Finarya masih 100% dipegang Telkomsel. Targetnya pada Juni 2019 suntikan modal dari masing-masih perusahaan pelat merah yang bergabung sudah mulai masuk.
Rencana awal pembagian sahamnya yaitu: PT Telkomsel sebesar 25%, Bank Mandiri, BRI, BNI dan BRI masing-masing akan pegang 20%. BTN dan PT Pertamina masing-masing pegang 7%. Terakhir PT Jiwasraya sebesar 1%. Ke depannya, tidak menutup kemungkinan perusahaan pelat merah lainnya bakal bergabung seperti PT Kereta Commuter Indonesia dan PT Jasa Marga Tbk. Otomatis, besaran kepemilikan saham ini akan berubah seiring bertambahnya perusahaan pelat merah lain yang bakal masuk.
Dengan menggandeng Jasa Marga, LinkAja bakal bisa digunakan untuk top up saldo pembayaran tol yang punya fasilitas multiline free flow lewat skema Radio Frequency Identification (RFID). Kelak, pengguna kendaraan dapat menempelkan stiker berbasis QR code di kendaraannya yang dihasilkan dari LinkAJa agar terbaca di RFID.
Dalam waktu dekat Danu bilang, uang elektronik berbasis kartu bank pelat merah juga mulai diintegrasikan. Jadi uang elektronik kartu seperti Brizzi milik BRI dan TapCash milik BNI juga akan terkoneksi dengan LinkAja untuk top up. Selain itu, dompet elektronik Himbara juga bakal disatukan. Jadi, nanti kartu debit nasabah bisa dikoneksikan ke LinkAja sehingga tidak perlu melakukan top up lagi.
Persaingan Sengit
Tampaknya berbagai persiapan dan rencana bisnis telah cukup matang disiapkan LinkAja untuk ikut mencecap bisnis layanan finansial berbasis teknologi. Apakah bekal tersebut sudah cukup?
Danu mengakui, inisiatif nasional ini butuh dukungan penuh dari kementerian BUMN dan pihak terkait agar bisa berjalan sukses. Menyatukan ego sektoral menjadi satu tantangan tersendiri bagi LinkAja. Belum lagi mengintegrasikan infrastruktur antara perusahaan telekomunikasi, perbankan, perusahaan infrastruktur, energi dan transportasi juga bukan perkara mudah.
Itu sebabnya proses integrasi dilakukan secara bertahap. Yang tak kalah penting, bersaing dengan perusahaan teknologi finansial (tekfin) yang sudah lebih dulu merangsek pasar pembayaran digital juga tantangan besar bagi LinkAja. Sebut saja jasa pembayaran digital yang sudah lebih dulu populer seperti Go-Pay milik PT Dompet Anak Bangsa yang tersedia untuk transaksi di layanan aplikasi Go-Jek. Adapula OVO milik PT Visionet Internasional yang digandeng Grab untuk layanan pembayaran di platform mereka.
Go-Pay telah mendapatkan izin sebagai penerbit uang elektronik dari Bank Indonesia (BI) sejak 2014 silam. Sementara OVO telah mengantongi izin yang sama dari BI sejak 2017. Adapun LinkAja baru pada Februari 2019 lalu terdaftar menjadi perusahaan uang elektronik.
Meski sebenarnya bukan pemain baru, LinkAja tetap harus mengejar ketertinggalan dengan secepatnya membangun merek di masyarakat. Fithra Faisal Hastiadi, ekonom Universitas Indonesia (UI) berpendapat, ada perbedaan cukup mencolok antara produk LinkAja dan produk uang elektronik swasta seperti Go-Pay dan OVO.
Tekfin swasta itu sejak awal menjalankan strategi customer engagement. Go-Pay menggaet konsumen lewat layanan transportasi lewat aplikasi Go-Jek. "Layanan pembayaran ini ke depannya tampaknya akan menjadi bisnis utama Go-Jek karena potensinya yang besar," ujar Fithra.
Benar saja, jika merujuk data Bank Indonesia (BI), nominal transaksi uang elektronik dalam empat bulan pertama 2019 melonjak hingga 130% secara year on year (yoy) menjadi Rp 31,41 triliun dari sebelumnya Rp 13,65 triliun. Adapun volume transaksi tumbuh 76% menjadi 1,44 miliar kali transaksi sepanjang Januari-April 2019 dari periode sama di 2018 yang sebanyak 816 juta kali transaksi. Ini menunjukkan popularitas uang elektronik makin meningkat di masyarakat.
Budi Gandasoebrata, Managing Director Go-Pay mengakui perkembangan Go-Pay cukup menjanjikan jika dilihat dalam setahun belakangan. Transaksi Go-Pay di luar layanan Go-Jek tumbuh hingga 25 kali lipat dalam waktu setahun. Go-Pay saat ini telah digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang sebelumnya tidak menggunakan transaksi non tunai.
Potensi bisnis Go-Jek tercium para investor kakap seperti Tencent dan Softbank sehingga mereka bersedia berinvestasi ke perusahaan teknologi ini. Grab pun menjalankan strategi yang mirip dengan menggandeng OVO alih-alih membangun sistem sendiri untuk proses pembayaran. Tapi idenya sama yakni menggaet basis konsumen yang besar. "Go-Jek dan OVO melakukan strategi dari bawah ke atas atau bottom-up," kata Fithra.
Berbeda dengan LinkAja yang menjalankan strategi dari atas ke bawah alias top-down. LinkAja belum memiliki banyak konsumen yang bersedia menggunakan platform ini. Sehingga tantangannya bagaimana LinkAja juga bisa menarik konsumen sebanyak-banyaknya agar tertarik menggunakan LinkAja.
Fenie, sehari-hari hanya aktif menggunakan Go-Pay dan OVO untuk transaksi transportasi online maupun transaksi pembayaran di merchant. Alasannya, Go-Pay dan OVO menjadi satu dengan layanan transportasi online yang memang Ia butuhkan untuk beraktivitas sehari-hari. Jadi, dengan mengunduh satu aplikasi bisa transaksi di merchant sekaligus membayar layanan transportasi.
Ditambah lagi OVO dan Go-Pay banyak menawarkan program uang kembali alias cashback. Dia menggunakan Go-Pay dan OVO bergantian karena cashback tiap merchant berbeda. "Tapi saya lebih sering pakai Go-Pay karena jaringannya lebih luas. Kedai ayam geprek langganan saya pakai Go-Pay. Tukang buah kaki lima di deket kantor saya juga sudah pakai Go-Pay," tutur Fenie.
Tak pelak perang tawaran potongan harga juga memaksa LinkAja untuk melakukan hal yang sama. Danu bilang, tidak menutup kemungkinan LinkAja untuk ikut "membakar duit" dengan menggelar program promosi besar-besaran lewat cashback maupun diskon di berbagai merchant. Ini bagian dari brand awareness.
"Tapi LinkAja juga nanti bisa terkenal dengan sendirinya lewat layanan kebutuhan masyarakat seperti beli bensin, bayar tol, beli asuransi, bayar parkir dan lainnya," ujarnya.
Adu Inovasi Layanan
Dengan makin ketatnya persaingan di depan, perusahaan tekfin swasta tak mau memperlambat laju ekspansi. Mereka juga berusaha terus menelurkan inovasi layanan baru. Baru-baru ini OVO mengumumkan layanan pinjaman online dengan mengakuisisi PT Indonusa Bara Sejahtera atau Taralite. Pada laman e-commerce seperti Tokopedia misalnya, untuk menyelesaikan transaksi, pengguna dapat memilih opsi OVO PayLater untuk melakukan pembayaran di akhir bulan, maupun melakukan pembayaran dengan cicilan.
OVO juga bekerjasama dengan berbagai merchant ritel modern seperti Hypermart dan ACE Hardware untuk layanan OVO PayLater ini. Sementara Go-Pay menggandeng PT Mapan Global Reksa (Findaya) dengan menyediakan kartu kredit virtual bernama PayLater untuk layanan cicilan serupa.
Mereka sadar potensi bisnis di industri ini masih besar. Maka yang OVO lakukan adalah memperbanyak kolaborasi dengan pelaku industri lainnya. "Kami percaya, yang dapat memenangkan kompetisi dalam industri ini adalah yang mampu menawarkan lebih banyak layanan dalam platform pembayarannya. Dengan strategi ekosistem terbuka, OVO terus mengupayakan akses bagi berbagai layanan finansial seperti asuransi, investasi, dan pinjaman online," ujar Harianto Gunawan, Direktur OVO kepada KONTAN.
Pada era yang serba cepat, permintaan pasar dan konsumen juga dengan cepat berganti. Karena itu, sebagai perusahaan teknologi, Harianto mengaku OVO harus mampu segera beradaptasi dan peka terhadap produk dan layanan yang diinginkan oleh konsumen. Saat ini OVO banyak menyasar segmen khususnya dari sektor UKM untuk mengembangkan bisnis dan mencapai inklusi keuangan yang berkesinambungan.
Go-Pay juga menjalankan strategi kolaborasi untuk terus berekspansi. Sekarang masyarakat bisa pakai Go-Pay untuk investasi reksadana mulai dari Rp 10.000 dengan menggandeng Bibit.id. "Infrastruktur semacam ini kami lihat dapat mengubah hidup bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, yang sebelumnya belum tersentuh layanan jasa keuangan formal," ujar Budi Gandasoebrata, Managing Director Go-Pay.
Budi berusaha mematahkan pandangan sebagian orang bahwa tekfin swasta menjadi ancaman bagi bisnis perbankan. Malah menurut Budi, perbankan dan tekfin swasata bisa bergandengan menyalurkan layanan bagi segmen masyarakat yang belum terjamah layanan formal perbankan.
Contoh saja, Go-Pay kini telah bekerjasama dengan BNI untuk menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) ke merchant anggota Go-Food. Selain itu Go-Pay juga menggandeng BTN untuk kredit perumahan rakyat (KPR) subsidi bagi pengemudi hingga membukakan rekening di berbagai bank bagi rekan usaha Go-Pay yang belum punya rekening bank.
Sejatinya, kunci bisa bertahan dan memenangkan pasar di tengah persaingan layanan teknologi finansial yang bakal makin sesak adalah dengan bisa mengumpulkan basic user. Menurut Fithra, saat ini adalah era industri berkonsolidasi dan berkolaborasi.
Meski LinkAja bakal didukung oleh super power dengan rencana pembentukan holding keuangan perusahaan BUMN, namun efektivitasnya masih perlu diuji. Membuka kerjasama seluas-luasnya dengan berbagai pihak tampaknya bisa lebih menghemat biaya dan waktu untuk bisa menciptakan inklusif keuangan sebagaimana yang dicita-citakan pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News