Reporter: Jane Aprilyani, Margareta Engge Kharismawati, Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Menteri Minyak Arab Saudi Ali al-Naimi kemarin, Rabu (10/12) mengatakan hal mengejutkan di depan peserta Konferensi Perubahan Iklim PBB di Lima, Peru. Di luar kebiasaan Arab mempertahankan kekuatan untuk menggerakkan harga, Naimi mengatakan, akan membiarkan pasar menggerakkan harga minyak.
Pernyataan tersebut seolah-olah menunjukkan Arab tak ingin disalahkan atas harga minyak mentah yang meluncur cepat, 39% dalam enam bulan terakhir.
Harga minyak tergelincir ke harga terendah dalam lima tahun terakhir, terimbas perang harga antara negara-negara produsen minyak OPEC dan Amerika Serikat yang getol-getolnya memompa minyak serpih atau shale oil.
"Kenapa kami harus memangkas produksi?" kata Naimi. Dia yakin, pasar akan mencari keseimbangan harga sendiri tanpa intervensi Kerajaan Arab.
Dia juga menyindir negara-negara yang menekan OPEC untuk memangkas produksi. "Kalian datang dari negara kapitalis. Kalian tahu apa yang dilakukan pasar. Untuk segala jenis komoditas, apa yang pasar lakukan? Harga naik dan turun, naik dan turun," kata Naimi, dikutip Reuters.
November lalu, Organization of the Petroleum Countries (OPEC) yang memproduksi 40% kebutuhan minyak dunia memutuskan mempertahankan kuota produksi 30 juta barel per hari. Arab Saudi sendiri memproduksi sekitar 9,6-9,7 juta barel per hari, per November lalu.
Sementara, produksi minyak mentah Amerika Serikat (AS) sedang tinggi-tingginya, didorong bisnis shale oil. Produksi minyak mentah di AS kini mencapai 9,12 juta per hari per 5 Desember lalu, menurut Energy Information Administration, Rabu. Ini merupakan level produksi tertinggi AS sejak Januari 1983.
Cadangan minyak AS pekan lalu juga naik 1,45 juta barel menjadi 380,8 juta.
Harga minyak kian terpuruk setelah OPEC memangkas proyeksi permintaan minyak tahun depan turun 300.000 barel per hari menjadi 28,9 juta, terendah sejak tahun 2003.
Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) Rabu merosot ke level US$ 60,94 per barel, terendah sejak Juli 2009. Minyak mentah sudah merosot 39% sejak harga tertingginya Juni lalu di kisaran US$ 102,04 per barel.
Harga WTI untuk kontrak aktif Januari 2015 di pasar berjangka New York Merchantile Exchage naik tipis ke US$ 61,46 per barel pada pukul 11:56 WIB.
Keseimbangan baru
Pernyataan Arab yang selama ini berperan dalam pergerakan harga minyak, membuat pasar tak nyaman. Apalagi untuk negara-negara dengan ongkos produksi minyak yang tinggi seperti Venezuela. "Ini tugas kita untuk menjaga stabilitas harga dan membuatnya bisa diprediksi," kata Menteri Luar Negeri Venezuela dan perwakilan di OPEC, Rafel Ramirez mengomentari pernyataan Arab.
Jadi, Arab Saudi membiarkan harga minyak jatuh?
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto melihat, Arab Saudi bukan tanpa tanggungjawab membiarkan harga minyak dunia jatuh. “Menurut saya, Arab sedang mencari tahu sampai mana titik ekonomis minyak shale AS,” kata dia, Kamis (11/12). Dengan begitu, Arab bisa melihat titik keseimbangan yang baru dan prospeknya terhadap kesehatan pangsa pasarnya.
Pri Agung melihat, harga minyak mungkin masih akan melorot sampai US$ 50 per barel.
Bank of America juga mempekrirakan, harga minyak mentah akan turun sampai US$ 50 per barel. Dalam hitungan bank terbesar kedua AS ini, dibutuhkan waktu enam bulan bagi pasar untuk menghabiskan ekses minyak 1 juta barel per hari.
Pada 9 Desember lalu, Menteri Minyak Iran mewanti-wanti, perang harga atau pecahnya solidaritas OPEC bisa menyeret harga minyak mentah sampai US$ 40 per barel.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro hari ini mengatakan, perang harga antara Amerika Serikat dan Arab Saudi tercetus dari kemampuan AS melakukan revolusi shale oil. Pangsa pasar Arab terancam ketika AS menghentikan impor, dan ada peluang negara-negara lain mengalihkan impor dari Timur Tengah ke AS.
Mantan Wakil Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini menjelaskan, harga shale gas yang optimal adalah US$ 70 per barel. Kalau Arab mau membuat tandingan maka harga minyak miliknya harus di bawah US$ 70 per barel. "Pertanyaannya adalah berapa lama produsen minyak bisa tahan dengan harga yang hanya US$ 60," tandasnya.
Untuk Indonesia misalnya, harga minyak US$ 60 per barel tidak fleksibel. Investasi minyak di Indonesia masih tinggi.
Harga BBM subsidi
Penurunan harga minyak mentah tak selamanya negatif. Di sisi lain, ini akan menjaga konsumsi tetap tinggi dan inflasi tetap jinak.
Pri Agung menilai, penurunan harga minyak jadi momentum bagi pemerintah yang ingin menerapkan sistem subsidi tetap untuk bahan bakar minyak (BBM).
“Idealnya, harga BBM subsidi turun Desember ini, lalu tahun depan menerapkan subsidi tetap,” kata dia. Pri Agung menduga, harga BBM subsidi Rp 8.500 saat ini sudah lebih tinggi ketimbang harga minyak di pasar plus nilai tukar rupiah.
Nah, subsidi tetap memungkinkan pemerintah mematok nilai subisidi tanpa pusing dengan fluktuasi kurs rupiah dan harga minyak di pasar.
Sebagai contoh, pemerintah memberi subsidi Rp 1.000 untuk setiap liter pembelian BBM. Sehingga, ketika harga keekonomian Rp 9,000, masyarakat cukup membayar Rp 8.000 per liter. Jika harga minyak menanjak, masyarakat memang harus membayar lebih mahal.
“Cara ini juga mengedukasi masyarakat,” kata dia. Di sisi lain, pemerintah lebih mudah menghitung potensi pengeluaran subsidi. Misalnya, untuk target kuota BBM 46 kuota liter, subsidi menjadi Rp 46 triliun, jauh dari proyeksi kebutuhan subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang sebesar Rp 276,1 triliun.
Hanya saja, menurut Agung, perlu ada dana cadangan subsidi, mengantisipasi harga minyak dunia jika naik melebihi asumsi APBN.
Eko Listianto, Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) juga sepakat, sudah saatnya pemerintah menerapkan skema subsidi tetap untuk BBM.
Apalagi, sekitar 40% dari kebutuhan minyak Indonesia masih harus impor. "Oleh karena itu, masyarakat juga harus ikut menanggung beban subsidi BBM, jangan semuanya ditanggung negara," jelas Eko. penerapan skema subsidi tetap juga akan memudahkan pengelolaan inflasi.
Sekadar informasi, dalam APBN 2015, pemerintah memperkirakan, Indonesia Crude Price (ICP) akan sebesar US$ 105 per barel, dengan pertumbuhan ekonomi 5,5% - 6%. Inflasi 4,4% dan target nilai tukar Rp 11.900 per dollar AS.
Januari nanti, pembahasan APBN-Pengganti untuk tahun 2015 baru akan dibahas. Menteri Bambang Brodjonegoro mengatakan, akan banyak yang diubah dalam draf tersebut. Misalnya, ICP di bawah US$ 100 per barel, inflasi 4,7%-4,9%, dan nilai tukar menjadi Rp 12.000 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News