kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Antara IHSG, pelemahan rupiah, dan aksi pajak


Senin, 16 Maret 2015 / 04:30 WIB
Antara IHSG, pelemahan rupiah, dan aksi pajak
ILUSTRASI. Inilah Cara Menghilangkan Urat di Wajah, Tertarik Mencoba?


Reporter: Narita Indrastiti, Uji Agung Santosa, Wuwun Nafsiah | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Efek anjloknya nilai tukar rupiah mulai menjalar. Tidak hanya membebani sektor riil dengan kenaikan harga barang, pelemahan rupiah juga menambah beban perusahaan yang bahan bakunya sebagian besar didapat dari impor, termasuk perusahaan yang memakai mata uang dollar dalam utangnya. 

Pelemahan rupiah juga menyulut rontoknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (13/3), IHSG berada di zona merah.  IHSG berada pada posisi 5.426,47, turun 13,37 poin atau 0,25% dibanding hari sebelumnya. IHSG tergelincir, didorong tujuh sektor yang memerah, terutama sektor industri dasar dan manufaktur.

IHSG memerah karena investor asing mulai meninggalkan pasar saham dalam negeri. Pada Jumat (13/3), tercatat ada aksi jual saham investor asing Rp 1,8 triliun dan pembelian sebesar Rp 1,3 triliun. Sehingga ada nett sell investor asing sekitar Rp 500 miliar.

Sedangkan selama seminggu terakhir (periode Senin-Jumat, 9-13 Maret 2015), data RTI menunjukan, investor asing telah melakukan aksi jual bersih (nett sell) saham sebesar Rp 2,25 triliun.  

Itulah sebabnya dalam tiga hari terakhir IHSG terkoreksi 0,67% atau 36,46 poin. Namun jika dihitung selama sebulan terakhir, IHSG masih mencatatkan penguatan 1,55% atau sekitar 83,05 poin. Sedangkan pada periode 1 Januari 2015 sampai Jumat (13 Maret 2015),  IHSG tercatat mengalami penguatan 3,82%.

Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo menilai, investor asing mulai tertular kecemasan atas kejatuhan nilai tukar rupiah. Tren bullish IHSG bisa berakhir jika dana asing terus keluar akibat rupiah yang terus melemah. 

Sebagai gambaran, rupiah dari awal tahun sampai Jumat (13/3) telah terkoreksi 5,26% hingga menyentuh rekor terendah 13.205 per dollar Amerika Serikat pada akhir Jumat lalu. Di pasar spot, rupiah dari awal tahun sampai akhir pekan lalu diperdagangkan pada rata-rata kurs 12.747 per dollar AS. Dengan kurs terendah sebesar 13.205 pada Jumat (13/3) dan terkuat 12.459 pada 23 Januari 2015.

Alasannya, pemulihan ekonomi yang terjadi di Negeri Paman Sam telah menyulut spekulasi kenaikan suku bunga bank sentral (The Fed) dalam waktu dekat. Data ketenagakerjaan dan penurunan angka pengangguran membuat spekulasi kenaikan suku bunga AS makin dekat. 

Sejumlah ekonom di AS menyebutkan, kenaikan suku bunga kemungkinan akan dilakukan pada Juni 2015. Hal itulah yang kemudian menyebabkan investor membawa keluar uang dollar-nya dari perekonomian Indonesia, sehingga mata uang rupiah terus melemah. Tekanan rupiah makin besar dengan lebarnya defisit neraca transaksi berjalan dan turunnya harga komoditas ekspor Indonesia.

Selain faktor eksternal, Kepala Riset Mandiri Sekuritas John Rachmat mengatakan, pelemahan IHSG juga disebabkan faktor internal di dalam negeri. Dia menilai ada risiko pasar di tahun ini seperti kenaikan target penerimaan pajak. 

Kenaikan target penerimaan pajak memiliki dua sisi. Jika target tidak tercapai maka pemerintah kemungkinan memangkas belanja infrastruktur, sehingga stimulus ke perekonomian tidak berjalan maksimal. Namun di sisi lain dengan kenaikan target penerimaan pajak, akan ada risiko intensifikasi dan ekstensifikasi pajak yang membebani daya beli masyarakat dan pengusaha. Faktor internal lain adalah kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian yang menyebabkan minat investor berkurang. 

Sebagai gambaran, APBN Perubahan 2015 menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.489,3 triliun. Angka itu naik 20% atau Rp 109,3 triliun dibanding target APBN 2015 yang sebesar Rp 1.380 triliun. Dengan perubahan itu maka total penerimaan perpajakan dari pajak, bea, dan cukai adalah Rp 1.489,3 triliun

Kenaikan target itu membuat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) memutar otak. Ditjen Pajak kemudian berencana menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% untuk pengguna jalan tol mulai 1 April 2015. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-10/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Jalan Tol, walaupun kemudian ditunda pelaksanaannya.

Ditjen Pajak juga berencana mewajibkan pelaporan pemotongan pajak bunga deposito. Namun sebelum berlaku, aturan itu dicabut karena dinilai melanggar UU Perbankan mengenai kerahasiaan data perbankan. Pajak juga mengincar penerimaan dari bea meterai transaksi saham, jual-beli surat berharga dan transaksi properti. Nantinya bea meterai untuk surat berharga tersebut berdasarkan persentase dari nilai transaksi (ad valorem). Cara ini menggantikan penggunaan tarif tetap meterai senilai Rp 3.000 dan Rp 6.000 seperti yang berlaku saat ini.

Pemerintah juga berencana menarik pajak dari transaksi e-commerce, mengubah batasan PPnBM untuk rumah mewah, dan menambah objek cukai dari minuman berkarbonasi atau minuman bersoda karena dinilai mengganggu kesehatan. "Sudah ada hasil kajian bahwa minuman berkarbonasi bisa dikenakan cukai," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, Kamis (12/3).

Hingga 28 Februari 2015, realisasi penerimaan kantor pajak hanya Rp 125 triliun, turun 9,19% dari periode sama tahun lalu. Penerimaan bea dan cukai malah lebih buruk, realisasi penerimaannnya turun 21,31% menjadi Rp 22,55 triliun.

Nasib IHSG

Lalu bagaimana perkiraan HSG sampai akhir tahun dengan adanya risiko-risiko tersebut? Norico Gaman, Kepala Riset BNI Securities memiliki dua skenario arah IHSG hingga akhir tahun ini, yakni moderat dan optimistis. Secara moderat, IHSG sampai akhir 2015 mencapai 5.750. Syaratnya, pertumbuhan ekonomi 5,4% dan pertumbuhan laba korporasi sebesar 17%-18%.

Dari kacamata optimistis, Norico memprediksikan, IHSG di 6.200 pada akhir tahun nanti. Kondisi itu terjadi jika pertumbuhan ekonomi 5,6%-5,7%, diiringi pertumbuhan laba korporasi di atas 20%.  Sedangkan dalam jangka pendek, IHSG diperkirakan masih berpotensi tertekan, menuju 5.400-5.350. "Ini koreksi wajar karena investor merealisasikan keuntungan," ujarnya. 

Optimisme ini didorong oleh rencana dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi pada awal pekan ini. Paket ekonomi itu berisi delapan kebijakan, pertama, pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk pengamanan sementara untuk produk impor yang terindikasi dumping.

Kedua, memberikan insentif pajak bagi perusahaan Indonesia yang minimal 30%-nya ditujukam untuk ekspor. Ketiga, membebaskan industri galangan kapal dari PPn. Keempat, insentif pajak bagi perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia dan tidak mengirimkan dividen tahunannya ke perusahaan induk di luar negeri.

Kelima, menaikkan mandatori campuran biodiesel ke solar dari saat ini 10% menjadi 15%. Keenam, memperbaiki sistem remitasi TKI. Ketujuh mendorong terbentuknya BUMN reasuransi untuk mengurangi defisit di neraca jasa, dan terakhir, meningkatkan law enforcement UU Mata Uang yang mewajibkan penggunaan rupiah di dalam negeri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×