Reporter: Adinda Ade Mustami, Asep Munazat Zatnika, Nina Dwiantika, Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pemerintah tahun ini makin gencar mengulik sumber pajak. Tak hanya menggali pendapatan dari sumber yang sudah ada, pemerintah juga memancing kedatangan dana yang tadinya sudah ditempatkan di luar negeri.
Setidaknya ada dua aturan besar yang akan disentuh pemerintah untuk menggelembungkan pendapatan negara. Pertama, lewat revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Kedua, lewat pembentukan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak atau yang populer disebut RUU Tax Amnesty.
Pemerintah tak ingin sungkan-sungkan menggali sumber pajak karena ingin mengejar target pajak tahun ini yang mencapai Rp 1.368 triliun di tahun ini. Sekadar gambaran, tahun lalu dengan target Rp 1.294,3 triliun, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak hanya mengumpulkan 81,5% atau Rp 1.055 triliun.
Itu artinya, Ditjen Pajak harus mencapai pendapatan 30% lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Pemerintah pun menghitung, kemungkinan ada selisih target dan penerimaan pajak (shortfall) sampai Rp 290 triliun yang bisa mengganggu rencana pembangunan.
Memburu wajib pajak
Lewat revisi UU KUP, pemerintah salah satunya ingin memperluas Wajib Pajak (WP) pribadi. Misalnya, dengan melegalkan kewenangan menggali data rahasia nasabah dan pribadinya tanpa batas.
Tengah dibahas bersama Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, revisi UU yang nantinya memayungi keterbukaan pertukaran informasi atau Automatic Exchange of Information (AEoI), diharapkan rampung di tahun 2017.
Sempat ada kekhawatiran wajib pajak malah melarikan dananya ke bank di luar negeri. Namun, bankir mengaku tak khawatir, karena menurut mereka, nasabah tetap ada di dalam negeri. Hanya saja mereka memilih instrumen keuangan atau investasi yang tidak perlu membuka identitas mereka.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memang secara khusus juga meminta Direktur Jenderal Pajak baru Ken Dwijugiasetiadi yang baru dilantik Selasa lalu (1/3), untuk meningkatkan penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi.
Pasalnya, realisasi penerimaan pajak dari wajib pajak pribadi sangat kecil, hanya Rp 9 triliun di 2015. Padahal, banyak angkatan kelas menengah dan produktif yang berpotensi menjadi wajib pajak.
Ken mengatakan, dia akan membidik 129 juta jiwa yang masuk kelas menengah. Dari jumlah itu, baru 27 juta jiwa atau 20,9% yang memiliki Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP). "Selisihnya tugas saya," jawab Ken.
Ditjen Pajak selain itu juga akan mempermudah masyarakat memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tak hanya itu, pemerintah juga menyiapkan aplikasi geo tagging yang bisa mengidentifikasi aset si wajib pajak dari video, foto, hingga website.
Sebenarnya, sudah ada juga dalam rencana pemerintah untuk membidik pajak dari non-karyawan, mulai dari pemilik kos-kosan, pengacara, sampai dokter. Namun, belum ada kelanjutan dari rencana ini.
Untuk kompensasi semakin banyak wajib pajak yang dirangkul, pemerintah berencana menurunkan pajak penghasilan (PPh). Ada usulan juga dari pengusaha, PPh badan diturunkan dari 25% menjadi 18%, menyerupai pajak di Singapura yang 17%.
Pajak barang ditambah
Sebagai kompensasi penurunan PPh, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mungkin akan dinaikkan. Saat ini, PPN di negara kita dipukul rata 10%.
Caranya, pemerintah akan mengubah skema pengenaan pajak dari value added tax (VAT) menjadi goods and service tax (GST).
Dengan skema baru, semua barang konsumsi dan jasa akan dikenakan PPN, tidak hanya barang konsumsi yang telah mengalami nilai tambah dari sumber asalnya.
Bahkan mekanisme GST ini berpeluang memajaki layanan kesehatan dan pendidikan sehingga tarif layanannya pun akan naik dan menambah beban masyarakat.
Namun, pemerintah berjanji menggodok PPN ini dengan cermat, bersamaan dengan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). Draf revisi UU ini belum diajukan pemerintah ke DPR.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Goro Ekanto menjelaskan, kenaikan PPN mungkin akan ditujukan pada kelas menengah atas sehingga penerimaan akan lebih besar.
Membujuk pengusaha dan DPR
Selain merevisi aturan yang sudah ada, pemerintah berniat menyusun Rancangan UU Pengampunan Pajak atau RUU Tax Amnesty. Harapannya, dana hasil ekspor yang selama ini disimpan pengusaha ke luar negeri, bisa masuk kembali ke Tanah Air.
Tebusannya, 2% untuk dana yang dilaporkan tapi tak direpratiasi, dan diskon menjadi 1% untuk modal yang disimpan kembali ke dalam negeri.
Dana yang terparkir di luar negeri mencapai Rp 4.000 triliun, menurut asumsi pemerintah. Dari dana itu, kemungkinan yang tertarik ikut tax amnesty sebesar Rp 3.000 triliun.
Jika benar, pajak yang masuk bisa mencapai Rp 60 triliun. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro malah mengatakan, dana tersebut bisa terserap hanya tiga bulan sejak beleid itu disahkan.
Namun, pengesahan RUU Tax Amnesty adalah tantangan pertama pemerintah. Pasalnya, DPR ingin menunda pembentukan RUU ini.
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah bilang, DPR tidak serta merta setuju dengan tax amnesty. DPR akan mengkaji dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan ini.
Pasalnya, dia berharap potensi penerimaan pajak dari tax amnesty mencapai Rp 200 triliun. "Jika hanya Rp 60 triliun-Rp 80 triliun, kurang," katanya, Selasa (1/3). Menurutnya RUU tax amnesty baru mulai dibahas DPR pada awal April 2016 setelah masa reses.
Sunat anggaran
Bukan tanpa alasan pemerintah ngotot RUU Tax Amnesty terbentuk tahun ini. Kekurangan penerimaan pajak akan membawa dua risiko lain.
Pertama, risiko fiskal dari kemungkinan shortfall penerimaan pajak. Kedua, risiko defisit anggaran lebih besar jika tax amnesty tidak mendorong penerimaan pajak sesuai harapan.
Bambang pun mengakui skenario menghadapi ancaman pelebaran defisit tergantung kebijakan tax amnesty. Berhasil atau tidaknya tax amnesty akan menentukan porsi jumlah utang, pemangkasan anggaran, sampai penggunaan sisa lebih penggunaan anggaran (SiLPA) tahun 2015.
Pemerintah sejatinya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 menargetkan defisit tahun ini sebesar Rp 273,2 triliun atau 2,15% dari Produk Domestik Bruto. Dengan asumsi menggunakan SiLPA Rp 20 triliun, pemerintah ingin bisa melebarkan defisit menjadi 293,1 triliun atau 2,31%.
Jika kekurangan duit, salah satu cara efisiensi bujet adalah pemangkasan anggaran. Menteri Koordinasi bidang Ekonomi Darmin Nasution mengatakan, pemotongan anggaran non-prioritas dapat mengefisiensikan belanja pemerintah.
Jadi, kementerian dan lembaga akan diminta menyisir anggarannya, mengurangi belanja barang atau belanja rutin non-gaji, sampai memangkas biaya perjalanan dinas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News