Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Edy Can
Pada 25 September mendatang akan menjadi pertaruhan sejarah demokrasi negeri ini, apakah Indonesia tetap menggunakan pemilihan langsung atau tak langsung dalam pemilihan kepala daerah. DPR berencana mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang memicu kontroversi.
Koalisi Merah Putih yang mendukung calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 menjadi pendukung pemilihan tidak langsung melalui DPRD. Koalisi Merah Putih tersebut terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Koalisi ini beralasan, pemilihan tidak langsung bertujuan mencegah terjadinya politik uang yang selama ini masif terjadi. Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD bisa menjadi salah satu upaya pemberantasan korupsi. Dia yakin penyelenggara pemilu tidak lagi berani bermain-main (korupsi) dalam menyelenggarakan pemilu.
Selain soal politik uang, pemilihan kepala daerah lewat DPRD juga dianggap sebagai cara mengerem biaya. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengamini hal tersebut. Dia menilai pemilihan kepada daerah oleh DPRD akan mendorong penghematan anggaran yang cukup besar. Dalam tiga tahun terakhir saja, anggaran Pilkada nilainya mencapai Rp 3,3 triliun. Itu artinya, setiap tahun Pilkada langsung menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 1,1 triliun.
Gamawan yakin jika Pilkada ditarik ke DPRD maka akan ada pengurangan biaya yang mencapai 50%. "Jadi akan ada penghematan dari sisi anggaran," katanya. Jika dihitung lagi, maka penghematan 50% dari Rp 1,1 triliun itu sekitar Rp 550 miliar.
Di sisi yang kontra, pemilihan kepala daerah secara tidak langsung dianggap bertentangan dengan demokrasi. Pengusungnya adalah partai-partai pendukung pemerintahan mendatang seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Politik uang tak hilang
Sikap ini didukung juga oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi). "Masyarakat berhak memberikan suaranya secara langsung sesuai hati nuraninya tanpa perantara dalam memilih kepala daerah," kata Ketua Umum Apeksi Vicky Lumentut yang juga Wali Kota Manado itu pekan lalu.
Perbedaan pandangan para pemimpin daerah dengan partainya tersebut memaksa sejumlah kader partai yang saat ini sudah menjadi bupati/walikota, atau gubernur mengundurkan diri. Tercatat ada dua yang secara terang-terangan mengundurkan diri dari keanggotaan partai akibat perbedaan pandangan itu yakni Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari Partai Gerindra dan Walikota Singkawang Awang Ishak yang menyatakan mundur dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Baik Ahok maupun Awang setuju dengan hasil kajian yang dilakukan pakar hukum tata negara Refly Harun juga menyebutkan, ada beberapa kelemahan dan kerugian yang bisa timbul bila Pilkada tidak langsung, lewat DPRD dilakukan. Kelemahan pertama adalah akan adanya kerancuan sistem pemerintahan, khususnya sistem pemerintahan presidensial.
Kedua, pemilihan kepala daerah lewat DPRD berpotensi mengancam kinerja kepala daerah. "Karena bila sistem tersebut dilaksanakan, DPRD akan mempunyai posisi lebih tinggi dibanding kepala daerah," kata Refly.
Ketiga, berpotensi melanggengkan praktik politik uang dalam jumlah besar, khususnya ke anggota DPRD. Sebab, untuk bisa terpilih seorang calon biasanya akan dimintai mahar. "Walaupun di Pilkada langsung money politics ada tapi dampaknya tidak secara langsung mempengaruhi hasil pemilu karena kita tidak tahu apa yang dipilih oleh rakyat dibilik suara tapi di DPRD ini menimbulkan dampak besar," katanya.
Keempat, pemilihan kepala daerah secara tidak langsung juga berpotensi membuat kepala daerah terpasung. Mereka akan menjadi sapi perahan karena telah dipilih DPRD.
Salah satu contoh nyata dialami oleh Bupati Solok Syamsu Rohim. Dia menceritakan pengalamannya sewaktu mengikuti pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Ia mengaku harus menyetor uang kepada anggota DPRD dan partai pengusungnya agar menang dalam pilkada. “Partai dibeli, anggota dewan dibeli, akhirnya kalah karena diimpit oleh orang lain yang lebih 'besar'," katanya, pekan lalu.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 2003 ketika ia maju sebagai calon kepala daerah di Sawahlunto. Dia diminta uang sebesar Rp 250 juta untuk masing-masing anggota DPRD yang memilihnya. "Kepala daerah harus dipilih rakyat kalau tidak mau kembali ke zaman Orde Baru," tegasnya.
Politik uang yang besar juga diungkapkan oleh mantan anggota DPRD DKI Jakarta Wanda Hamidah. Dia bilang Pilkada melalui DPRD tidak akan akan menghapus politik uang. Bahkan jika kepala daerah dipilih DPRD, praktik politik uang akan semakin masif. "Jangan salahkan money politics kalau Pilkada lewat DPRD, satu orang bisa dapat 10 M, 20 M," kata Wanda.
Menurut Wanda, politik uang di DPRD sudah menjadi rahasia umum. Dengan pemilihan tak langsung, maka kepala daerah akan mengabdi kepada DPRD dibandingkan kepada rakyatnya.
Suara Demokrat menentukan
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan mayoritas publik mendukung pemilihan kepala daerah langsung. "Sebanyak 74,04% responden setuju SBY menarik diri dari RUU Pilkada sehingga UU tersebut tidak bisa disahkan. Hanya 16,04% yang tidak setuju. Sisanya tidak tahu atau tidak menjawab sebanyak 9,55%," kata peneliti LSI Ardian Sopa.
Dari survei juga diketahui, mayoritas publik setuju apabila Partai Demokrat berbalik arah mendukung Pilkada langsung. “Sebanyak 76,90% responden setuju. Jumlah yang tidak setuju sedikit sekali, hanya 8,74%. Sisanya tidak tahu atau tidak menjawab sebanyak 14,37%," Ardian menjelaskan. Survei ini dilakukan pada 14-16 September. LSI mengaku melakukan survei terhadap 1.200 responden dengan metode multistage random sampling dan margin of error 2,9%.
Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat memang telah berubah. SBY menyatakan dukungannya atas pelaksanaan Pilkada langsung. Dia berpendapat, rakyat sudah terbiasa dengan Pilkada langsung dan menilai sistem tersebut cocok dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia.
Sikap itu pun kemudian diikuti oleh kader-kader Fraksi Partai Demokrat di DPR. Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengaku akan mendukung opsi Pilkada langsung apabila pengambilan keputusan RUU Pilkada dilakukan melalui pemungutan suara atau voting.
Sikap Demokrat tersebut mengubah peta politik di DPR. Kini, mayoritas fraksi di DPR memilih agar kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat. Jika sebelumnya usulan Pilkada lewat DPRD mendominasi pembahasan RUU Pilkada di DPR. Dimana Partai Golkar memiliki 106 kursi, PPP (38 kursi), PAN (46 kursi), PKS (57 kursi), Partai Gerindra (26 kursi), dan Partai Demokrat (148 kursi), atau total suara pendukung sebanyak 421 kursi.
Kini peta politik berbalik. Jika Partai Demokrat yang memiliki 148 kursi bergabung dengan PDI Perjuangan (94 kursi), PKB (28 kursi) dan Partai Hanura (17 kursi), maka totalnya akan sebanyak 287 kursi berbanding dengan jumlah pendukung Pilkada lewat DPRD berkurang menjadi sebesar 273 kursi.
Bahkan menurut Pengamat politik dari Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, sikap Demokrat tersebut bukan tidak mungkin diikuti oleh parpol koalisi Merah Putih yang lain. Perubahan sikap dapat terjadi lantaran komitmen koalisi Merah Putih terkait RUU Pilkada dibangun hanya untuk balas dendam setelah Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kalah di Pilpres lalu dan masifnya penolakan publik atas Pilkada tak langsung lewat DPRD.
Yang pasti, jikapun kemudian RUU Pilkada disahkah oleh DPR dalam rapat paripurna pada 25 September 2014 nanti, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kepala daerah akan langsung mengajukan uji materi undang-undang (judicial review) melalui MK. "Jika (RUU Pilkada) tetap disahkan, kami siap ajukan judicial review ke MK," ujar Refly Harun.
Hal yang sama juga akan dilakukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News