Reporter: Anggar Septiadi, Dupla Kartini, Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang, Umi Kulsum | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nasib investor surat utang jangka menengah alias medium term notes (MTN) milik PT Sunprima Nusantara Pembiayaan atau SNP Finance masih buram. Hingga Jumat (25/5) siang, belum ada titik terang pembayaran kupon MTN, yang dua di antaranya telah gagal bayar pada awal bulan ini.
Malah, para investor kini mengendus gelagat tak baik. SNP Finance disinyalir memanipulasi laporan keuangan, sehingga mendapat rating yang baik untuk penerbitan MTN.
Asal tahu saja, MTN V SNP Tahap II senilai Rp 200 miliar baru diterbitkan pada Februari 2018. Tetapi, pada jadwal pembayaran bunga pertama, 9 Mei 2018, perusahaan gagal memenuhinya. Surat utang yang bakal jatuh tempo pada Februari 2020 itu mematok bunga tetap 10,5% per tahun.
Gagal bayar bunga MTN SNP Finance berlanjut. Perusahaan Grup Columbia ini juga tidak dapat memenuhi pembayaran bunga ke-2 untuk MTN III SNP Tahun 2017 Seri B, yang seharusnya dilaksanakan pada 14 Mei 2018. Surat utang senilai Rp 50 miliar itu terbit pada November 2017 dan menjanjikan bunga tetap sebesar 12,125% per tahun.
Pada penerbitan dua MTN SNP Finance itu, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) bertindak sebagai agen pemantau dan agen jaminan. Sedangkan, PT MNC Sekuritas menjadi arranger (pengatur penerbitan).
Lantaran kasus gagal bayar ini terkesan tiba-tiba, Andi Tenri Moeis, kuasa hukum salah satu pemegang MTN SNP Finance, yakni Eveline Liauw, mempertanyakan peran BNI sebagai agen pemantau serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Kami sekarang mempertanyakan di mana pengawasannya. Pada bulan April 2018, MTN itu baik-baik saja, bagus. Tapi, kok, pada Mei sudah terjadi begini. Di mana warning sistemnya," katanya, Rabu (23/5).
Lapkeu tidak sinkron
Kata Andi, sejumlah investor juga mencurigai laporan keuangan SNP Finance yang diaudit Deloitte tidak benar. Pun kondisi keuangan yang diperlihatkan ke Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) selaku pemeringkat MTN SNP Finance, tidak sesuai.
Kecurigaan itu di-crosscheck kepada OJK pada Rabu (23/5), tepatnya usai Rapat Umum Pemegang MTN (RUPMTN). Apalagi, rapat tersebut tidak memberikan kejelasan sama sekali bagi investor mengenai kondisi keuangan SNP Finance yang menyebabkan gagal bayar bunga.
Benar saja, usai bertemu OJK, salah seorang pemegang MTN yang enggan disebutkan identitasnya, mengungkapkan, memang ada temuan laporan keuangan yang fiktif dan tidak sinkron.
"Kami akan polisikan saja. Masalahnya, ternyata laporan keuangan pun fiktif dan tidak sinkron antara OJK, akuntan publik dan perusahaan," ungkap pemegang MTN SNP Finance senilai Rp 1 miliar itu kepada Kontan.co.id, Kamis (24/5).
Dia juga bilang, OJK sebetulnya telah melarang SNP Finance untuk menerbitkan surat utang lebih lanjut, namun hal tersebut tidak diindahkan oleh perusahaan.
Tah hanya SNP, dia mengungkapkan, pihak BNI turut andil dalam perkara ini. "Sebetulnya dia (BNI) sudah dengar OJK melarang SNP Finance untuk terbitin MTN, tapi nyatanya BNI sebagai agen pemantau dan agen jaminan masih memperbolehkan," terangnya.
Sayang, BNI irit bicara mengenai gagal bayar ini. Sekretaris Perusahaan BNI Ryan Kriyanto mengatakan, dalam kasus ini pihaknya hanya bertindak sebagai agen pemantau aksi korporasi itu. Dus, BNI tidak bertanggung jawab untuk membayar bunga dua MTN SNP Finance yang gagal bayar.
Ryan juga mengklaim, dalam pelaksanaan tugasnya sebagai agen pemantau, BNI sudah menggelar RUPMTN pada 23 Mei 2018 lalu. "BNI dalam hal ini hanya bertindak sebagai agen pemantau, memastikan bahwa hal ini berjalan lancar," katanya di Jakarta, Kamis (24/5).
Menampik kecolongan
Sebelumnya, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II OJK, Moch Ihsanuddin menegaskan, terkait gagal bayar MTN bukan menjadi kewenangan OJK, melainkan pihak terkait seperti SNP Finance, investor, akuntan publik yang mengaudit, agensi rating dan bank pengawas. “Penerbitan MTN dan bond itu izinnya itu tidak dari OJK, tetapi dari pasar modal,” katanya, Selasa (21/5).
Ihsanuddin juga menampik pihaknya kecolongan pada kasus gagal bayar SNP Finance. Menurutnya, OJK sudah mengambil langkah yang tepat. Apalagi, perusahaan tersebut sudah menerbitkan MTN sejak awal tahun 2017, tapi alpa melaporkan penerbitan itu kepada tim pengawas OJK.
Alhasil, pada Desember 2017, OJK langsung memeriksa dan mengaudit kinerja SNP Finance. Audit ini dibantu tim Kementerian Keuangan, agensi rating dan akuntan publik, untuk membedah kinerja SNP Finance. Pada 3 April 2018, OJK sudah mengirim surat peringatan kepada SNP Finance agar tidak lagi menerbitkan obligasi. Namun, peringatan itu tidak diindahkan.
Hingga akhirnya, OJK membekukan kegiatan usaha SNP Finance pada 14 Mei 2018. Pembekuan kegiatan usaha SNP Finance ditetapkan melalui Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Nomor S-247/NB.2/2018 tanggal 14 Mei 2018 tentang Pembekuan Kegiatan Usaha PT Sunprima Nusantara Pembiayaan.
Sebelum dibekukan, sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (POJK 29/2014), SNP Finance telah dikenakan sanksi peringatan pertama hingga peringatan ketiga, karena tidak memenuhi ketentuan pasal 53 POJK 29/2014. Dalam aturan itu disebutkan, perusahaan pembiayaan dalam melakukan kegiatan usahanya dilarang menggunakan informasi yang tidak benar, yang dapat merugikan kepentingan debitur, kreditur, dan pemangku kepentingan termasuk OJK.
Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo dalam keterangan tertulis Jumat (18/5), mengatakan, sanksi pembekuan kegiatan usaha kepada SNP Finance karena perusahaan belum menyampaikan keterbukaan informasi kepada seluruh kreditur dan pemegang MTN sampai berakhirnya batas waktu sanksi peringatan ketiga.
"Dengan dibekukannya kegiatan maka perusahaan dilarang melakukan kegiatan usaha pembiayaan. Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha, apabila SNP Finance tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha," kata Anto dalam keterangan resmi.
Di samping itu, OJK juga telah mengambil langkah-langkah pengawasan (mandatory supervisory actions) dengan melarang perusahaan mengambil keputusan dan atau melakukan tindakan yang dapat memperburuk kondisi keuangan perusahaan. Pertama, menggunakan dana keuangan perusahaan dan atau melakukan transaksi keuangan yang tidak wajar.
Kedua, menambah penerbitan surat utang dalam bentuk apapun termasuk MTN. Ketiga, mengambil tindakan dan atau perbuatan hukum yang memperburuk kondisi Perusahaan. Keempat, melakukan pergantian pengurus perusahaan tanpa persetujuan OJK.
Selain langkah pengawasan, lanjut Anto, OJK juga akan terus meminta pemegang saham pengendali dan pengurus yang bertanggung jawab untuk melakukan langkah-langkah konkrit yang realistis serta fully committed terhadap kewajiban-kewajiban kepada kreditur dan masyarakat pemegang MTN.
Gelagat negatif
Sejatinya, Rabu (23/5), SNP Finance menggelar Rapat Umum Pemegang MTN (RUPMTN) di Gedung BNI, Jakarta. Namun, SNP hanya mengutus kuasa hukum untuk menemui para pemegang MTN. Begitu pula, BNI sebagai agen pemantau dan agen jaminan, tidak menghadirkan direksi.
Alhasil, investor MTN sama sekali tidak mendapatkan kejelasan mengenai kondisi keuangan SNP Finance, yang menyebabkan perusahaan tersebut tidak membayarkan kupon sesuai jadwal. "Mereka tidak mampu menjawab pertanyaan kami mengenai analisa keuangan SNP Finance seperti apa kondisinya," kata Andi usai RUPTMN, Rabu (23/5).
Padahal, pada pengumuman di laman Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Rabu (16/5), ada dua agenda RUPMTN. Pertama, penjelasan kondisi keuangan SNP dan informasi adanya gugatan pailit terhadap perusahaan dan permohonan PKPU, serta langkah-langkah yang akan diambil terkait tanggung jawab SNP terhadap pemegang MTN. Kedua, penunjukkan konsultan hukum yang akan mewakili pemegang MTN dalam proses PKPU.
Sikap direksi SNP yang terkesan menghindar itu memicu kecurigaan pemegang MTN. Menurut Andi, ada gelagat perusahaan melakukan tindakan pidana, dengan mengambil celah hukum agar tidak membayar kewajiban.
Apalagi, katanya, SNP Finance tengah menghadapi tuntutan hukum (pailit), hanya lantaran tidak mampu membayar tuntutan dua karyawan senilai Rp 900 juta. "Ini ada apa, mereka tidak mampu bayar Rp 900 juta klaim dari dua karyawan. Lalu nasib investor yang bernilai triliunan bagaimana?" ungkapnya.
Corporate Secretary SNP Finance Ongko Purba Nasuha berdalih, tidak hadirnya direksi saat RUPMTN, lantaran perusahaan sedang dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), sehingga kewenangan juga berada di tangan pengurus PKPU. "Untuk rapat kemarin memang pengurus hanya mengutus kuasa hukum yang hadir. Pertemuan sebelumnya direksi kami hadir," katanya kepada Kontan.co.id, Kamis (24/5).
Ongko bilang, SNP Finance terbuka untuk bermusyawarah dengan para investor dan kreditur untuk mencari jalan keluar. "Untuk investor, kami sangat terbuka, secara tertulis (bisa) ditujukkan kepada direksi dan pengurus agar perlahan ada titik temunya," tuturnya.
Informasi yang disampaikan Ongko hanya sebatas itu. Tapi, ia berjanji akan memberikan informasi lebih lengkap mengenai tanggapan SNP Finance atas masalah yang sedang berjalan. "Nanti akan kami informasikan lagi secara lisan maupun tertulis," imbuhnya.
Asal tahu saja, SNP Finance kini menghadapi proses permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Pada 19 April lalu, SNP Finance telah dimohonkan pailit. Permohonan itu dilayangkan oleh Herlina Rahardjo dan Fredi Iman Santoso di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Sidang pertama berlangsung pada 2 Mei 2018. Menanggapi permohonan pailit tersebut, pada 2 Mei 2018, SNP Finance mengajukan permohonan PKPU di PN Jakpus. Pada 4 Mei 2018, Majelis Hakim telah mengabulkan permohonan PKPU Sementara selama 36 hari.
Tempuh jalur hukum
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK II Bambang W. Budiawan mengatakan, pihaknya, tidak bisa berbuat lebih jauh untuk menyelesaikan kasus gagal bayar MTN SNP Finance. OJK membatasi peran untuk memfasilitasi penanganan pengaduan konsumen.
Sebab, kata Bambang, sumber dana pihak ketiga dalam neraca multifinance tidak seperti dana simpanan di perbankan. Jika bank bangkrut, ada lembaga penjamin simpanan (LPS). Berbeda dengan multifinance, karena MTN merupakan kesepakatan para pihak.
"Ini mengenai hubungan keperdataan. SNP Finance default atau wan prestasi, maka investor melalui arranger atau agen pemantau MTN bisa menuntut ke SNP Finance," kata Bambang, Kamis (24/5).
Itu sebabnya, untuk menyikapi kerugian akibat gagal bayar, Bambang menyarankan para investor MTN SNP Finance menempuh jalur hukum atau legal action terhadap pemilik dan pengurus SNP Finance. “Kami juga mewajibkan SNP bertanggung jawab atas segala sesuatu tindakan dan perbuatan hukum yang diambil,” ujarnya.
OJK telah menjatuhkan sanksi pembekuan kegiatan usaha SNP Finance. Apabila tidak ada itikad baik dari perusahaan, OJK akan mencabut izin usaha. "Tetapi secara badan hukum belum bubar, karena harus membayar utang ke kreditur perbankan dan pemegang MTN," imbuh Bambang.
Sebagai gambaran, SNP Finance berdiri pada tahun 2000. Pada 2002, Grup Columbia mengakuisisi SNP Finance dari Hari Darmawan, pendiri bisnis ritel Matahari. Kemudian, pada 2004, SNP Finance kembali beroperasi secara penuh di bawah bendera Grup Columbia. Per 31 Desember 2017, sebesar 66,66% saham SNP Finance dikuasai oleh Leo Chandra dan keluarga melalui PT Cipta Pratama Mandiri. Sedangkan, 33,34% sisanya dikuasai Leo Chandra secara langsung.
Leo Chandra merupakan pendiri dan pemegang saham pengendali Grup Columbia yang bergerak di segmen pembiayaan perabot rumah tangga dan retailer. Jaringan Grup Columbia terdiri atas 358 gerai dan 27 gerai mobil yang tersebar di seluruh Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News