kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Menyisir data, mengurai biang macet Jakarta


Sabtu, 24 September 2016 / 15:36 WIB
Menyisir data, mengurai biang macet Jakarta


Reporter: Adi Wikanto, Uji Agung Santosa | Editor: Adi Wikanto

Jakarta. Kemacetan menjadi hal biasa yang dilakoni masyarakat Jakarta dan wilayah-wilayah penyangga lain di sekitarnya yang banyak menggantungkan mata pencahariannya di Ibu Kota. Bahkan banyak orang mengatakan, “Bukan Jakarta, kalau tidak macet”. 

Ungkapan itu menjadi semacam sindiran bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebab ungkapan itu menunjukkan bahwa kemacetan sudah menjadi permasalahan kronis menahun yang susah untuk diselesaikan. Sudah berapa kali Ibu Kota memiliki pemimpin baru, namun masalah kemacetan dan banjir tetap tidak terselesaikan tuntas.

Nah, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) DKI Jakarta 2017, masalah kemacetan bakal jadi salah satu topik utama yang harus dibahas para calon gubernur dan wakil gubernur. Pertanyaannya adalah, bagaimana rencana calon pemimpin Ibu Kota 2017-2022 mengatasi kemacetan?

Tentu harapan warga Jakarta adalah calon pemimpin punya rencana strategi mumpuni, berdasarkan data dan kajian, bukan omongan belaka. Mengingat, saat ini pemerintah DKI sudah punya bank data yang bisa digali siapa saja untuk menelusuri berbagai permasalahan di berbagai bidang dan mencarikan solusinya. 

Salah satunya, data titik rawan kemacetan yang ada di Ibu Kota Jakarta tahun 2014 (http://data.jakarta.go.id/dataset/titik-rawan-kemacetan-di-dki-jakarta). Data itu mencatat ada 14 titik rawan kemacetan yang tercatat di wilayah Jakarta Pusat. 

Dari 14 titik rawan kemacetan yang tersebar di Jakarta Pusat, empat di antaranya karena kendaraan pribadi, empat titik akibat bongkar muat angkutan barang, dan satu lantaran keberadaan terminal bayangan di Jalan Gatot Subroto. Empat titik rawan kemacetan karena kendaraan pribadi tersebar di Jl. Samanhudi, Jl. Abdul Muis, Jl. Kramat Raya, dan Jl. Poncol.

Sementara di Jakarta Utara, terdapat 11 titik rawan kemacetan yang dicatat oleh Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta. Dari 11 titik rawan kemacetan tersebut, seluruhnya disebabkan karena banyaknya kendaraan pribadi yang diparkir sembarangan sehingga menyebabkan arus kendaraan tersendat. 

Di Jakarta Timur tercatat ada 8 titik jalan yang rawan kemacetan dengan penyebab banyaknya kendaraan pribadi yang parkir di pinggir jalan. Begitu juga di Jakarta Utara yang memiliki lima titik rawan kemacetan. Kondisi itu memperlihatkan korelasi yang kuat antara kenaikan jumlah kendaraan, fasilitas perparkiran, hingga infrastruktur jalan di Ibu Kota.  

Biang kemacetan di Jakarta bukan hanya soal bertambahnya jumlah kendaraan, namun juga berhubungan dengan kenaikan perilaku berkendara, penyediaan infrastruktur jalan, dan ketersediaan angkutan umum yang aman dan murah. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan kemacetan, tidak bisa diselesaikan oleh wilayah DKI Jakarta seorang diri.

Data 1. Pertambahan Jumlah Kendaraan di Jakarta

Tahun

Jumlah mobil

Jumlah motor

Pertambahan mobil per tahun

Pertambahan motor per tahun

2008

       2.295.644

3.968.749

77.264

389.127

2009

2.355.354

4.333.559

59.710

364.810

2010

2.505.133

4.835.650

149.779

502.091

2011

2.665.988

5.313.995

160.855

478.345

2012

2.801.918

5.650.925

135.930

336.930

2013

3.046.434

6.211.367

244.516

560.442

­2014

3.215.542

6.687.375

169.108

476.008

Sumber: http://data.jakarta.go.id/dataset/data-pertambahan-jumlah-kendaraan-bermotor-dki-jakarta

Dari data di atas bisa terlihat besarnya pertambahan jumlah kendaraan baik mobil atau motor di Jakarta. Selama tujuh tahun, 2008-2014, rata-rata penambahan jumlah mobil di Jakarta mencapai 389 unit per hari. Sedangkan pertambahan jumlah motor di Jakarta mencapai sebanyak 1.216 unit per hari.

Tidak hanya di Jakarta, pertambahan jumlah kendaraan juga terjadi di wilayah penyangga Ibu Kota, seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang. Pertambahan jumlah kendaraan di wilayah penyangga Jakarta, tentunya akan berimplikasi pada kemacetan di Ibu Kota. 

Sebab sebagaimana kita tahu, tidak hanya warga Jakarta yang menggantungkan mata pencahariannya di Ibu Kota, namun juga warga wilayah yang lain. Itulah sebabnya di pagi hari, waktu-waktu berangkat kerja, dan sore hari, saat pulang kantor, kemacetan selalu terjadi. 

Tidak hanya di tengah kota Jakarta, kemacetan parah juga melanda kawasan pinggiran Jakarta. Baik secara langsung maupun tidak langsung, pertambahan jumlah kendaraan di wilayah lain juga berandil pada kemacetan Jakarta.

Data 2. Pertambahan Jumlah Kendaraan Wilayah Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang

Tahun

Jumlah mobil

Jumlah motor

Pertambahan mobil per tahun

Pertambahan motor per tahun

2008

2.882.202

6.765.723

128.410

791.550

2009

2.976.591

7.518.098

94.389

752.375

2010

3.233.389

8.764.130

256.798

1.246.032

2011

3.486.351

9.861.451

252.962

1.097.321

2012

3.732.773

10.727.273

246.422

865.822

2013

4.123.589

11.949.280

390.816

1.222.007

Sumber: http://data.jakarta.go.id/dataset/data-pertambahan-jumlah-kendaraan-wilayah-jakarta-depok-tangerang-dan-bekasi

Kemacetan semakin parah, sebab kenaikan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta ternyata tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah armada angkutan umum. Layanan angkutan umum yang kurang memadai, aman dan nyaman, akan membuat masyarakat makin enggan menggunakan angkutan umum baik berbasis bus maupun kereta api.

Seperti ayam dan telur, bisa jadi pula dengan jumlah kendaraan pribadi yang meningkat pesat, makin jarang pengusaha yang berbisnis pelayanan angkutan umum. Saat ini ada 33 perusahaan angkutan yang melayani transportasi di Jakarta. Dari jumlah itu, sebanyak 1.358 merupakan bus kota, 193 bus APTB, dan sebanyak 859 unit busway. (lihat http://data.jakarta.go.id/dataset/data-rekap-kendaraan-angkutan-umum-di-dki-jakarta110615)

Data juga menunjukkan, selama tujuh tahun antara 2008-2014, jumlah kendaraan pribadi di DKI Jakarta telah bertambah 58% dari 6,26 juta unit kendaraan menjadi 9,9 juta unit. Sementara jumlah angkutan umum baik angkutan kota, bus kota, APTB, hingga busway yang melayani transportasi penduduk Jakarta hanya bertambah 27% dari 88,4 ribu armada menjadi 112,7 ribu armada. Kenaikan jumlah kendaraan memang menambah pendapatan pajak DKI Jakarta, namun harus dipikirkan juga eksesnya pada kemacetan Ibu Kota dan polusi.

Data 3: Perbandingan Jumlah Kendaraan Pribadi dan Angkutan Umum di DKI Jakarta 2008-2014

Tahun

Kendaraan Pribadi

Kendaraan Umum

2008

6.264.393

88.409

2009

6.688.913

91.455

2010

7.340.783

89.978

2011

7.979.983

92.351

2012

8.452.843

103.815

2013

9.257.801

104.147

2014

9.902.917

112.724

Sumber: http://data.jakarta.go.id/dataset/data-perbandingan-jumlah-kendaraan-pribadi-dan-angkutan-umum-dki-jakarta

Data 4. Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor DKI Jakarta 2008-2015

Tahun

Jumlah Unit

Jumlah penerimaan (rupiah)

2008

4.971.379

2.618.750.000.000

2009

5.329.257

2.766.960.000.000

2010

5.886.266

3.107.740.000.000

2011

6.154.523

3.664.400.000.000

2012

7.079.640

4.106.970.000.000

2013

7.686.019

4.605.210.000.000

2014

8.258.826

4.979.110.000.000

2015

8.503.126

6.079.910.054.399

Sumber: http://data.jakarta.go.id/dataset/data-pajak-kendaraan-bermotor

Data 5. Kepadatan Penduduk di Jakarta

Tahun

Kepadatan Penduduk

2006

13.557

2007

13.685

2008

13.809

2009

13.925

2010

14.506

2011

14.935

2012

15.085

2013

15.234

Sumber: http://data.jakarta.go.id/dataset/statistikkependudukandkijakarta

Di sisi lain, kemacetan juga terjadi karena infrastruktur jalan yang kurang memadai. Data menunjukkan, panjang jalan tol di Jakarta sampai 2015 hanya mencapai 123.481 meter, sedangkan jumlah jalan arteri dan kolektor yang menjadi wewenang provinsi sangat besar, menjadi lebih dari 563.491 meter dan 997.019 meter. 

Untuk memelihara jalan tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam APBD tahun 2016 menyiapkan anggaran sebesar Rp 320 miliar. Dari jumlah itu anggaran perbaikan jalan di Jakarta Pusat sebesar Rp 20 miliar, Jakarta Utara Rp 20 miliar, Jakarta Barat Rp 28 miliar, Jakarta Timur Rp 35 miliar dan Jakarta Selatan Rp 35 miliar. Dibandingkan dengan anggaran pemerliharaan jalan tahun 2015 yang sebesar Rp 60 miliar, jumlah itu lebih banyak.

Data 5. Panjang dan Luas Jalan di Jakarta 

Jenis jalan

Panjang (meter)

Luas (m2)

Status jalan

Tol

123.481

3.040.746

Tol

Arteri Primer

123.653

2.478.595

Nasional

Kolektor Primer

18.994

265.291

Nasional

Arteri Sekunder

563.491,81

8.959.142,42

Provinsi

Kolektor Sekunder

997.019,87

6.461.873,96

Provinsi

Sumber: http://data.jakarta.go.id/dataset/data-panjang-luas-dan-status-jalan-menurut-jenisnya-di-dki-jakarta

Pengamat masalah perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, masalah kemacetan di kota besar, seperti Jakarta, membutuhkan solusi yang terpadu. Semua instansi, baik pemerintah daerah maupun pusat wajib turun tangan bersama-sama. Strategi ini meliputi kebijakan di bidang transportasi, perpajakan, hingga tata ruang wilayah. Tujuannya adalah mengurangi mobilitas penduduk di pusat kota.

Pertama, harus ada kebijakan untuk redistribusi fungsi kawasan. Untuk kasus di Jakarta, pemerintah harus memanfaatkan daerah pinggiran untuk berbagi beban. "Seperti mendorong pemindahan kantor, perusahaan, pabrik, untuk keluar dari Jakarta ke pinggiran wilayah," ujar Yayat. 

Kebijakan ini akan jalan jika pemerintah pusat juga turun tangan. Pemerintah pusat memberi insentif bagi perusahaan untuk pindah dari Jakarta. Lalu, pemerintah daerah di luar Jakarta juga memberikan kemudahan.

Kedua, membuat transit oriented development (TOD). Ini  merupakan salah satu pendekatan pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran dan maksimalisasi penggunaan angkutan massal secara terpadu. Konsepnya adalah membuat TOD yang menggabungkan jaringan transjakarta, Kereta api kota (MRT), kereta api ringan (LRT), kereta api rel listrik (KRL). 

Keempat, ada kebijakan traffic demand management (TDM) untuk jumlah kendaraan di jalan raya. Kebijakan ini bisa dilakukan dengan banyak cara secara terpisah atau bersama-sama.

Misalkan yang sudah ada sekarang ini adalah sistem pelat nomor ganjil genap. Lalu, dibarengi dengan pembatasan sepeda motor menuju pusat kota. Kemudian, nanti akan ditambah dengan aturan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). "ERP harus benar-benar menjadikan orang pikir orang untuk berkendaraan pribadi, jadi tarifnya harus mahal," terang Yayat.

Kelima, ada aturan dari aspek perpajakan, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB). Orang yang tinggal di pusat kota harus dibebani dengan tarif PBB sangat mahal. Dengan demikian, nanti di dalam kota tidak ada rumah tinggal, yang ada hanya rumah sewa. 

Keenam, memperbanyak armada angkutan umum dengan biaya murah. Pemerintah harus terus memberi diskon tarif angkutan umum agar masyarakat tak lagi menggunakan kendaraan pribadi. Ketujuh, memperbanyak kawasan parkir kendaraan di pinggiran kota. Jadi orang yang masuk ke kota, benar-benar menggunakan angkutan umum.

Pengamat ekonomi dari CORE Indonesia Muhammad Faisal menyebutkan, Provinsi DKI Jakarta tidak hanya merupakan Ibu Kota Negara Republik Indonesia, namun juga pusat kekuasaan dan pusat ekonomi di Indonesia. Sebab, hampir 70% perputaran uang di Indonesia terjadi di Jakarta. 

Meski begitu, dibanding kota serupa di negara tetangga seperti Bangkok, Manila, Kuala Lumpur, dan Filipina, situasi perekonomian di Jakarta masih kurang menggembirakan. Faktor utama ketertinggalan tersebut ialah sektor infrastruktur yang cenderung lambat dan terlambat. 

Oleh karena itu pembangunan transportasi massal seperti MRT dan LRT harus dikebut. "Jadi harus dipercepat," katanya.

Infrastruktur guna mengatasi kemacetan sangat dibutuhkan karena sektor jasa menjadi tulang punggung ekonomi Jakarta. Latif Adam, peneliti LIPI menyebut dengan infrastruktur yang memadai, dan pengembangan sektor jaa maka perkembangan ekonomi bisa lebih cepat.

"Jakarta arahnya menjadi service city terutama dalam bidang perdagangan dan keuangan. Dibanding mengandalkan industri pengolahan dan sektor pada karya lainnya, perkembangan bisa jauh lebih cepat," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×