kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Tiga tahun, 13 BPD gagal wujudkan mimpi


Kamis, 02 Oktober 2014 / 09:16 WIB
Tiga tahun, 13 BPD gagal wujudkan mimpi
ILUSTRASI. Asam urat adalah bentuk umum dan kompleks dari radang sendi yang dapat menyerang siapa saja.


Reporter: Adhitya Himawan, Issa Almawadi | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Program BPD Regional Champion yang digadang-gadang akan terwujud pada tahun 2014 dipastikan akan gagal. Sebab hingga kini, sebagian besar Bank Pembangunan Daerah (BPD) masih belum mampu memenuhi tiga indikator untuk mewujudkan BPD Regional Champion.

Ada tiga indikator dalam program yang dicanangkan oleh 26 BPD di seluruh Indonesia pada 21 Desember 2010 lalu itu. Targetnya adalah tahun 2014, seluruh BPD bisa menjadi bank yang besar dan kuat di wilayah masing-masing.

Indikator pertama adalah ketahanan kelembagaan yang kuat. Caranya adalah meningkatkan permodalan sehingga semua BPD pada tahun 2014 memiliki modal inti diatas Rp 1 triliun. 

Namun Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) mengakui bahwa sampai kini masih ada sekitar 13 bank pembangunan daerah (BPD) yang memiliki modal inti dibawah Rp 1 triliun. 

Wimran Ismaun, Wakil Sekretaris Jenderal Asbanda mengatakan, penguatan permodalan masih jadi kendala utama banyak BPD di Indonesia. Penyebabnya, belum ada kesamaan visi dari pemangku kepentingan, mulai dari pemegang saham pemerintah daerah dan DPRD membesarkan BPD.

"Padahal BPD itu kan agen utama pembangunan ekonomi di daerah. Tapi yang sering terjadi malah benturan kepentingan karena adanya berbagai kepentingan politik,” kata Wimran saat dihubungi KONTAN, belum lama ini.

Selain itu, tak semua daerah memiliki kekayaan sumber daya alam maupun kegiatan industri yang besar. Akibatnya banyak daerah memang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang kecil. Otomatis ini membuat anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) juga menjadi kecil.

Sehingga tak heran jika kemampuan menyuntik modal besar bagi banyak BPD oleh berbagai Pemda di Indonesia masih terbatas. “Itu dialami kami di Bengkulu, daerah yang kering secara ekonomis,” pungkas pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Bank Bengkulu tersebut.

Porsi kredit

Indikator kedua adalah peningkatan peran BPD sebagai agent of regional development. Untuk itu, BPD menargetkan porsi yang lebih besar untuk kredit produktif minimal 40% dan 60% sisanya untuk kredit konsumtif.

Indikator ini diyakini penting untuk meningkatkan fungsi intermediasi BPD, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui kerja sama dengan BPR, baik melalui linkage program maupun menjadi APEX bank.

Nyatanya sampai kini, banyak BPD yang total kreditnya masih didominasi kredit konsumsi, dimana porsinya melebihi 60%.

Sebut saja Bank Sulteng yang hingga kini porsi penyaluran kredit konsumsinya 70% dari total kredit. “Porsi kredit kami seperti halnya banyak BPD lain, kredit konsumsi yang terbanyak merupakan kredit multiguna bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di instansi pemerintah daerah dimana BPD tersebut berlokasi,” kata Rahmat Abdul Haris, Direktur Utama Bank Sulteng, di Jakarta, Rabu (24/9).

Secara industri, porsi kredit produktif BPD memang belum mencapai 40% dari total kredit yang disalurkan BPD.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2014, total kredit 26 BPD seluruh Indonesia mencapai Rp 286,45 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 192,88 triliun atau 67,33% adalah kredit konsumsi.

Sementara kredit produktif yakni kredit modal kerja sebesar Rp 60,58 triliun dan kredit investasi hanyalah sebesar Rp 32,99 triliun. Lalu, kredit modal kerja dan kredit investasi, masing-masing hanya 21,14% dan 11,51% dari total kredit. Kondisi ini tak beda jauh dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Indikator ketiga adalah peningkatan kemampuan melayani kebutuhan masyarakat. Untuk itu, BPD harus memiliki program standardisasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). 

Disertai dengan perluasan jaringan kantor untuk mendukung terwujudnya sistem keuangan yang inklusif (financial inclusion) dengan meningkatkan akses seluas-luasnya ke masyarakat setempat melalui penciptaan produk dan jasa yang semakin variatif dan unggul.

Namun faktor ini diakui oleh Novi Kaligis, Direktur Pemasaran Bank Sulut, masih menjadi kelemahan. Sampai kini banyak BPD mengalami kekurangan SDM handal terutama untuk memitigasi risiko dalam penyaluran kredit produktif, terutama kredit mikro.

"Oleh sebab itu, tahun ini Bank Sulut telah melakukan pelatihan terhadap account officer Bank Sulut sebanyak 70 orang,” kata Novi.

Training tersebut meliputi analisis profil risiko secara komprehensif, teknik pendampingan di lapangan bagi debitur usaha, serta bagaimana melakukan monitoring secara efektif. "Mudah-mudahan mulai Januari 2015, hasilnya mulai bisa running untuk genjot kredit produktif kita," pungkas Novie.

Jumlah jaringan kantor milik BPD juga masih minim dibandingkan jumlah jaringan kantor bank umum di semua kategori. Berdasarkan data OJK per Juli 2014, saat ini jumlah kantor bank umum seluruh kategori di Indonesia mencapai 19.224 kantor. Dari jumlah tersebut, jumlah kantor BPD hanyalah 2.203 kantor atau hanya 11,45% dari total seluruh kantor bank umum.

Saling caplok

Memiliki modal yang kuat menjadi sangat penting bagi BPD. Apalagi ketika diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), BPD tak hanya bersaing dengan bank umum lokal, tapi juga bank asing.

Sejumlah BPD yang memiliki modal “lebih” pun mencari cara agar bisa bertahan dari gempuran persaingan. Salah satunya Bank DKI. BPD milik Pemprov DKI Jakarta ini tengah mengincar BPD lain dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun. Kabarnya, Bank DKI sudah membidik BPD Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk dibeli.

Eko Budiwiyono, Direktur Utama Bank DKI mengatakan, ambisi  pembelian BPD lain sudah dibahas dengan pemegang saham, yakni Pemprov DKI. Pada 2015 nanti, Pemprov DKI bakal menyuntikkan dana segar senilai Rp 3 triliun. 

Tapi, dana itu ditujukan untuk menambah modal agar Bank DKI bisa naik kelas ke BUKU III di tahun depan.  Saat ini, modal disetor Bank DKI sekitar Rp 2,93 triliun atau masuk kategori BUKU II.

Aksi serupa juga menjadi agenda Bank Jatim dan Bank Jawa Barat dan Banten (BJB). Ferdian Satyagraha, Manajer Hubungan Investor Bank Jatim, mengatakan, manajemen tengah mendata kinerja BPD lain untuk membentuk aliansi strategis alias konsolidasi. 

Bank Jatim mengincar BPD dengan rapor kinerja kinclong namun kesulitan permodalan. "Tapi, rencana itu belum masuk dalam rencana bisnis tahun ini," ucap Ferdian. Rencana akuisisi masih dalam tahap kajian internal dan belum disampaikan ke pemegang saham, Pemprov Jawa Timur.

Agus Mulyana, Sekretaris Perusahaan BJB mengatakan, pihaknya juga tertarik mengakuisisi BPD lain. Alasannya, pilihan akuisisi lebih masuk akal ketimbang arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ingin agar bank BUMN mengakuisisi BPD. "Sampai saat ini, kami belum melakukan pengkajian atas wacana akuisisi tersebut. Tapi kami terus mencermati perkembangan," tutur Agus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×