kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45999,82   6,22   0.63%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Tepatkah saldo wajib lapor jadi Rp 1 miliar?


Jumat, 09 Juni 2017 / 15:35 WIB
Tepatkah saldo wajib lapor jadi Rp 1 miliar?


Reporter: Adinda Ade Mustami, Dupla Kartini, Ghina Ghaliya Quddus, Yuwono Triatmodjo | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Aturan batas minimal saldo nasabah yang wajib dilaporkan untuk kepentingan pajak, masih menuai protes dari sejumlah kalangan. Padahal, Rabu (7/6), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merevisi batas minimal saldo yang wajib dilaporkan berkala kepada Direktorat Jenderal Pajak menjadi Rp 1 miliar.

Ambang batas tersebut direvisi hanya selang sehari sejak Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 70 tahun 2017 dirilis Senin (5/6). Awalnya, dalam PMK itu, batas minimal saldo nasabah wajib lapor dipatok Rp 200 juta. Namun, Kemenkeu merespons protes dari sejumlah kalangan, sehingga memutuskan mengerek batas minimal saldo wajib lapor.

"Mempertimbangkan data rekening perbankan, data perpajakan termasuk dari program amnesti pajak, serta data pelaku usaha, pemerintah memutuskan meningkatkan batasan minimum saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan menjadi Rp 1 miliar," demikian keterangan resmi Kementerian Keuangan (Kemkeu), Rabu (7/6) malam.

Kemenkeu menyatakan, perubahan dilakukan agar kebijakan tersebut lebih mencerminkan rasa keadilan, menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, dan memperhatikan aspek kemudahan administratif bagi lembaga keuangan untuk melaksanakannya.

Dengan perubahan batasan minimal saldo menjadi Rp 1 miliar, maka jumlah rekening yang wajib dilaporkan mencapai 489.240 rekening atau 0,24% dari total rekening di perbankan saat ini.

Mengacu data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per April 2017, rekening rekening dana pihak ketiga (DPK) industri perbankan dengan batas minimal Rp 1 miliar  memang hanya sekitar 0,24%. Tetapi, nilai simpanannya mencapai Rp 3.152,59 triliun atau setara 64,21% dari total simpanan di perbankan.

Sebelumnya, dengan ambang batas Rp 200 juta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, jumlah rekening yang memiliki saldo minimal Rp 200 juta sebanyak 2,3 juta rekening atau 1,14% dari total rekening. Rekening itu menyimpan dana sebesar Rp 4.051,25 triliun atau 80,8% total DPK industri perbankan.

Usul jadi Rp 2 miliar

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, batas minimal yang berubah dari Rp 200 juta ke Rp 1 miliar menyiratkan, pemerintah tidak memiliki perhitungan yang matang. Dasar penetapan batas minimal pun belum jelas.

“Harus ada dasarnya. Apa dasar perhitungannya? Apa dasarnya Rp 200 juta, dan apa dasarnya diubah? Ini penting,” tegasnya, Kamis (8/6).

Selain itu, batasan tak sesuai dengan kesepakatan Automatic Exchange Of Information (AEOI) yakni sebesar US$ 250.000. “Artinya kalau pakai kurs Rp 13.500 per dollar AS, maka Rp 3,3 miliar untuk nasabah domestik. Memang tidak harus sama bahwa itu menjadi acuan dasar di setiap negara,” jelas Enny.

Dus, Enny menyebut, batasan saldo nasabah yang wajib dilaporkan harus dipertimbangkan lagi, meski sudah lebih tinggi dari sebelumnya. "Lebih logis jika pemerintah mengacu pada nominal penjaminan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) senilai Rp 2 miliar," sarannya.

Ekonom Indef Aviliani menambahkan, kebijakan ini tak akan efektif jika hanya melihat saldo rekening. Banyak masyarakat yang berpendapatan kecil, namun setelah menabung selama puluhan tahun bisa memiliki saldo tabungan Rp 1 miliar. Para nasabah ini belum tentu punya nomor pokok wajib pajak (NPWP), karena syarat mendapatkan NPWP diantaranya berpenghasilan minimal Rp 4,5 juta per bulan.

Dari jumlah saldo juga tidak akan bisa mencerminkan ketaatan pembayaran pajak seorang nasabah. Sehingga, batasan saldo tidak akan banyak membantu. "Jadi, kenapa tidak Rp 2 miliar sekalian, sesuai batas penjaminan," imbuh Aviliani, Kamis (8/6).

Senada, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menyebut, meski revisi ini melegakan bagi masyarakat, tetapi batasan minimal nilai saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan  berkala sebesar Rp 1 miliar, masih terlalu rendah. Dia bilang, angka tersebut perlu dinaikkan. “Minimal Rp 2 miliar supaya sinkron dengan komitmen penjaminan LPS yang besarnya Rp 2 miliar per nasabah/bank,” katanya.

Hendrawan juga mengingatkan Kemenkeu agar tidak membabi buta memburu wajib pajak. “Kami menegaskan agar Kemenkeu lebih prudent. Tidak terburu nafsu dan panik,” ujarnya, Kamis (8/6).

Namun, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengungkapkan, di negara lain tak ada batas minimal saldo terkait kewajiban pelaporan data nasabah ke pajak. "Sudah jadi sesuatu yang wajar, otoritas pajak negara lain mengakses data keuangan dari lembaga keuangan," ujarnya, Kamis (8/6).

“Yang penting kami harus atur jangan sampai data dipakai dengan tujuan tidak baik. Masyarakat tidak perlu alergi data dimiliki oleh Ditjen Pajak, karena mereka punya kewajiban pengelolaan yang baik, sistem IT yang baik, dan harus dipakai sesuai dengan aturan,” tegasnya.

Ia menekankan, jika tidak ada data keuangan yang dimiliki Ditjen Pajak, maka AEoI tidak bisa berjalan. Pasalnya, salah satu syarat Indonesia bisa minta data keuangan dari negara lain adalah Indonesia harus punya data keuangan dari wajib pajak. “Kalau tidak, dianggapnya kita tidak level, karena negara lain punya,” ucap Suahasil.

Sasaran lebih fokus

Meski masih menuai protes, di sisi lain, kesigapan pemerintah merespons kritikan publik mendapat apresiasi. Direktur Eksekutif Center for Indonesia TaxationAnalysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, revisi batas minimal yang dilakukan Kemenkeu sebagai bentuk sensitivitas dan responsiveness pemerintah terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat.

“Dengan naiknya (ambang batas) threshold, terdapat kesan kuat bahwa pemerintah mengedepankan sasaran yang lebih jelas dan sesuai prinsip dasar pemajakan, yaitu ability to pay dan who own what. Penyesuaian threshold bisa dilakukan bertahap,” ujarnya.

Menurut Prastowo, pembatasan saldo Rp 1 milar juga membuat biaya administrasi (cost of administration) lebih efisien, cost of compliance rendah, dan pemungutan pajak lebih efektif.

Namun, ia mengingatkan, Ditjen Pajak harus menyiapkan sistem IT yang lebih baik dalam rangka keterbukaan data keuangan. Selain juga governance dan kualitas sumber daya manusia (SDM) harus ditingkatkan, sehingga Indonesia lebih siap melaksanakan AEoI tahun depan.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Ecky Awal Muharam juga mengapresiasi langkah berani pemerintah untuk mengoreksi batasan dari Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar. “Karena dengan batasan Rp 1 miliar ke atas, sasarannya lebih fokus yaitu golongan kaya, sehingga lebih sesuai dengan sumber daya DJP yang ada saat ini. Sedangkan jika Rp 200 juta, maka wajib pajak yang bergerak di usaha mikro dan menengah yang jadi sasarannya,” katanya.

Sementara, Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengatakan, kian sedikit data yang harus dijaring, tentu akan membuat Ditjen Pajak semakin fokus. "Kalau terlalu banyak data, apakah juga akan efektif?" ujar Haru setengah bertanya.

Tapi, secara umum, katanya, batas Rp 1 miliar sudah cukup bagus karena sudah mendekati kebiasaan di dunia internasional.

Kepala BKF Suahasil Nazara mengatakan, nantinya Kemenkeu akan menerbitkan PMK baru untuk perubahan batas minimal saldo ini. Ia bilang, batas minimal Rp 1 miliar ini bukan hanya untuk perbankan, melainkan juga untuk lembaga keuangan lainnya, seperti asuransi pasar modal, dan koperasi.

Sanksi lebih berat

Supaya keterbukaan data nasabah ini tidak menimbulkan kekhawatirkan bagi nasabah, Ekonom Indef Aviliani mengatakan, perlu aturan jelas sistem kerahasiaan data. Kredibilitas pihak yang bisa mengakses data nasabah pun harus jelas.

Menurutnya, apabila sistem kerahasiaan tidak diatur secara jelas, dikhawatirkan menimbulkan gejolak di kalangan nasabah sehingga memutuskan untuk menarik dananya. “Masyarakat di lapangan takut saldo itu dipajaki. Mereka takut kalau data itu dilihat, ini mau diapakan?” ujar Aviliani.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi bilang, masyarakat jangan khawatir dengan adanya akses untuk mengintip rekening nasabah bank. Sebab, Ditjen Pajak tidak akan serta merta memajaki jumlah simpanan.

“Kalau Anda peroleh penghasilan dari satu sumber, pasti sudah dikenai pajak. Jadi tidak perlu khawatir. Seandainya belum, akan kami lihat, omzet kan masuk ke transaksi. Akan kami cek. Kami tidak serta merta memajaki jumlah simpanan. Obyeknya saja,” ujar Ken.

Ditjen Pajak juga akan menyusun aturan untuk memperberat hukuman bagi pihak yang menyalahgunakan data lembaga keuangan untuk kepentingan selain perpajakan. Menurut Ken, hukuman bagi pihak yang membocorkan data nasabah akan diperberat menjadi lima tahun. Hal ini berlaku juga untuk pegawai Ditjen Pajak.

“Kalau sampai bocor, sanksinya diperberat lima tahun, sama seperti yang ada di dalam UU Tax Amnesty. Penghindaran pajak juga lima tahun pidana, jadi equal," katanya, Rabu (7/6).

Asal tahu saja, dalam peraturan yang ada sekarang, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 34, disebutkan bahwa pejabat yang tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal tersebut dapat dipidana selama satu tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×