kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45997,15   3,55   0.36%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Satgas Kemudahan Berusaha siap injak gas (2)


Kamis, 30 November 2017 / 14:58 WIB
Satgas Kemudahan Berusaha siap injak gas (2)


Reporter: Arsy Ani Sucianingsih, Ragil Nugroho, Tedy Gumilar | Editor: Mesti Sinaga

Sebelumnya: Satgas Kemudahan Berusaha siap injak gas (1)

Ranking Memang Naik, Kendala Tetap Pelik

Pemerintah boleh saja bangga dengan kenaikan peringkat kemudahan berusaha. Namun, tidak perlu sampai menepuk dada terlalu kencang. Sebab, peringkat Ease of Doing Business (EODB) yang disematkan Bank Dunia belum mencerminkan kondisi Indonesia yang sesungguhnya.

Bukan apa-apa, Bank Dunia hanya menggelar survei di dua kota di Indonesia; Jakarta dan Surabaya. Betul, keduanya memang berstatus sebagai kota terbesar di Indonesia.

Jakarta misalnya, menjadi pusat kegiatan bisnis dan investasi di negeri ini. Namun, kemudahan berusaha yang ditawarkan kedua kota itu belum tentu bisa didapatkan di tempat lain.

Soal jumlah kota yang disurvei pun jauh lebih sedikit ketimbang sebelumnya. Misalnya, untuk menyusun laporan Doing of Business in Indonesia 2012, lembaga keuangan multilateral itu mensurvei 20 kota di Indonesia. Mulai dari Banda Aceh, Medan, Makassar hingga ke Manado. Saat itu peringkat EODB Indonesia ada di posisi ke-129.

Pun dari berbagai indikator doing business, pengalamannya belum seragam di semua daerah. Eddy Ganefo menyebut, untuk indikator getting electricity, hampir di seluruh wilayah Indonesia memang sudah cukup baik.

Dus, kenaikan peringkat dari 61 menjadi 38, kata Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), itu memang pantas diapresiasi.

Oh ya, indikator getting electricity menggambarkan prosedur, waktu, dan biaya untuk mendapatkan sambungan listrik, keandalan pasokan listrik dan transparansi tarif. (Lihat infografis: Ease of Doing Business in Indonesia)

Namun, persoalan kerap muncul jika sudah menyangkut soal starting business. Eddy dan pengembang rumah subsidi di berbagai daerah mengaku kerap kali dipusingkan soal perizinan di daerah. Pengembang seringkali harus mengurus izin di tempat yang sama berulang kali.

Untuk mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), misalnya, mereka harus mendapatkan rekomendasi dari ketua rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), lurah, hingga camat.

Nah, saat mengurus izin amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) mereka harus kembali meminta rekomendasi dari para pemangku wilayah tersebut.

Bukan cuma repot, setiap rekomendasi yang diberikan juga ada biayanya. “Ada yang minta biaya per satu rumah. Ada yang minta putus, gelondongan saja. Kalau satu rumah kena Rp 500.000 saja, ketahuan berapa kami harus keluar biaya. Banyak daerah yang masih seperti itu,” keluhnya.

Freddy Ginanjar, pelaku usaha di Garut, Jawa Barat mengaku, perizinan usaha di wilayahnya sudah mengalami perbaikan jika dibanding lima tahun yang lalu. Untuk urusan pungutan liar (pungli) sudah sangat jarang ditemukan.

Cuma, ia masih mengalami kendala perizinan yang memakan waktu lama. Misalnya, saat ia mengurus izin operasional pendirian lembaga kursus dan pelatihan (LKP) beberapa bulan silam. Berdasar aturan, harusnya izin sudah bisa dikeluarkan dalam 30 hari kerja. “Tapi kenyataannya malah tiga bulan,” ungkap Freddy.

Kesulitan mengurus perizinan usaha ini rupanya tidak hanya dialami di daerah. Hafizh Suradiharja malah mengaku menghadapi persoalan di Jakarta. Ceritanya, pemilik bisnis roti khas Singapura, John Fresh, itu hendak membuka outlet baru di daerah Tebet, Jakarta Selatan.

“Sudah delapan bulan, sampai sekarang surat keterangan domisili usahanya (SKDU) belum keluar,” kata Hafizh dengan nada geram.

Jakarta sudah menerapkan antrean online untuk mengurus izin usaha. Namun, tetap saja Hafizh harus datang ke kelurahan untuk mengecek apakah permohonannya sudah disetujui atau belum.

Belum lagi, data berupa surat perjanjian sewa tempat usaha yang sudah ia serahkan ke kelurahan sempat hilang. Dus, Hafizh terpaksa harus membuat surat yang baru dengan pemilik tempat.

Hafizh membandingkan dengan pengalamannya mengurus izin serupa di tempat lain. Seperti di Depok, Bekasi, dan di Tangerang. Di sana, dia cukup datang ke kelurahan membawa semua persyaratan yang dibutuhkan.

Sore di hari yang sama, izin sudah dikeluarkan. “Sekalian saja semuanya online. Jangan cuma antrenya saja yang online tapi mengurusnya harus tatap muka juga. Kalau setengah-setengah begini, lebih baik offline sekalian biar kami datang, hari itu juga izinnya kelar,” tandasnya.

Izin yang tidak kunjung keluar membuat Hafizh merugi. Pasalnya, kontrak sewa tempat usahanya tetap berjalan. Dus, daripada terus dirundung rugi, ia memutuskan untuk tetap membuka usaha. Sembari mengurus segala perizinan yang dibutuhkan.

Namun, cara ini pun tidak menyelesaikan seluruh masalahnya. Tanpa SKDU, Hafizh tidak bisa mengajukan pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di tempat usahanya. Dia juga kesulitan mengurus kewajiban perpajakannya.

Pemda kerepotan

Yang menarik, ternyata bukan cuma pelaku usaha yang kesulitan terkait perizinan usaha. Pun pemerintah daerah (pemda) juga mengalami hal serupa. Valeanto Soekendro mengaku, pihaknya seringkali menghadapi keluhan pengusaha bukan terkait aturan daerah.

Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu satu Pintu (BPMPPTSP) Kabupaten Semarang, itu menyebut, keluhan paling banyak justru muncul terkait aturan dari pemerintah pusat. Entah itu karena prosedur birokrasi yang terlalu berbelit-belit, maupun soal aturan yang banyak tumpang-tindih.

Ambil contoh soal izin amdal. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Semarang, seperti halnya daerah tingkat II yang lain, tidak bisa mengeluarkan semua izin amdal.

Kewenangan mereka hanya terbatas untuk lokasi usaha yang menggunakan lahan di bawah 10 hektare (ha). Jika luas tempat usahanya di atas 10 ha, pengusaha mesti mengurus izin ke provinsi.

Soal amdal lalu-lintas juga banyak dikeluhkan di daerah. Pasalnya, jika lokasi usahanya berada di jalan milik provinsi, pengusaha harus minta izin ke provinsi. Jika tempat usahanya berada di jalan negara, pelaku usaha harus meminta izin hingga ke Kementerian Perhubungan.

Tata-cara seperti ini merepotkan  lantaran pelaku usaha harus bolak-balik ke Jakarta atau ke ibukota provinsi. Padahal, mestinya izin-izin tersebut cukup diproses di daerah. “Lagipula yang terkena dampaknya, kan, di daerah bukan di pusat,” kata Seokendro.

Contoh lain soal surat izin usaha perdagangan (SIUP) dan tanda daftar perusahaan (TDP). Aturan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak mensyaratkan IMB dan izin gangguan untuk mengurus SIUP dan TDP.

Tapi di aturan lain yang mengatur soal IMB dan tata ruang, untuk melakukan kegiatan usaha harus sesuai dengan tata ruang dan memiliki IMB.

Di dalam pertemuan Forum PTSP Jawa Tengah, pemda kerap mengundang kalangan pengusaha untuk menjelaskan berbagai persoalan terkait perizinan. Saat mengundang pengembang perumahan misalnya, sempat terjadi selisih pandangan.

“Nanti pengembang akan menjual rumah, Menteri Perdagangan ngatur mereka harus punya SIUP perumahan. Pengusaha teriak lagi hanya butuh SIUP biasa,” ujar lelaki yang akrab disapa Kendro itu.

Dus, Kendro mengaku pemda kerap kali dibilang berbelit-belit dalam mengurus perizinan usaha. Padahal, selama ini mereka yang harus berhadapan dengan pengusaha. Mereka merangkum dan menjelaskan semua aturan pemerintah pusat dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Perbaikan layanan

Di sisi pemda, perbaikan perizinan juga dilakukan. Di PTSP Kabupaten Semarang, dari 62 izin, sudah ada 48 izin yang dilimpahkan. Sementara 14 izin lainnya tidak dilimpahkan lantaran terlalu teknis. Misalnya izin laik sehat yang mensyaratkan uji laboratorium. Untuk uji kendaraan, juga tetap harus diurus di instansi teknis.

Untuk surat pengantar dari RT, RW, dan lurah tetap diwajibkan. Filosofinya, pelaku usaha mesti kulonuwun kepada pemangku wilayah setempat. Namun, surat ini digunakan pemangku untuk seluruh izin, mulai dari izin prinsip sampai ke TDP dan SIUP. Sehingga pelaku usaha tidak perlu lagi meminta surat pengantar berulang kali.

Selain itu, insentif juga diberikan kepada pengusaha di sektor pariwisata. Mereka bebas berusaha di mana saja, asal kegiatan usahanya sejalan dengan zonasi di tempat tersebut. Misalnya, pengusaha bisa mendapatkan izin usaha wisata di zonasi pertanian. Sepanjang usahanya tersebut masih terkait dengan pertanian.

Saat ini Pemkab Semarang juga tengah menggodok pencabutan perda izin gangguan. “Kedua, kami akan menurunkan tarif retribusi IMB untuk investor atau calon investor yang kegiatannya padat karya. Kami ajukan dari Rp 5.000 per m2 menjadi 2.700 per m2. Awal tahun depan mudah-mudahan bisa jalan aturannya,” ujar Soekendro.

Berbagai terobosan juga dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Semua pelayanan publik kini sudah dipindahkan ke Mal Pelayanan Publik di Jl. H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Saban hari, ujar Edy Junaedi, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta, pihaknya melayani 1.000 pemohon. Semua perizinan dilayani di 318 service point. “Kami buat estimated time complies atau perkiraan waktu selesainya kapan,” kata Edy.

Selain itu, Pemprov DKI memiliki layanan layanan Antar Jemput Izin Bermotor (AJIB). Ini adalah layanan antar jemput izin yang sudah dilakukan sejak tahun lalu. AJIB melayani pembuatan izin dan non izin di tempat-tempat umum, seperti di gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, rumah sakit.

Pada Januari tahun depan, Pemprov DKI akan merilis aplikasi PTSP generasi ke 3. Aplikasi ini bisa diakses oleh gawai berbasis sistem operasi android dan iOS. Lewat terobosan ini, pemohon izin usaha cukup memasukan beberapa data seperti data diri, identitas perusahaan, dan lokasi usaha.

Oh ya, aplikasi PTSP generasi ketiga ini kata Edy diperuntukan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ia mengklaim, pelaku UMKM bisa bisa menyelesaikan perizinan usaha dalam waktu kurang dari 10 menit. “Nantinya enggak perlu tatap muka lagi. Semua digital, izinnya pun nanti akan pakai e-signature,” pungkasnya.

Per tahun, PTSP DKI Jakarta mengeluarkan rata-rata empat juta izin. Khusus tahun ini hingga Oktober, sudah ada 3,5 juta izin yang dikeluarkan. Tahun depan, Pemprov tidak lagi menyasar kuantitas, melainkan kualitas, kecepatan, presisi, dan kepuasan masyarakat.

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 13 November -19 November  2019. Artikel selengkapnya berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Ranking Memang Naik, Kendala Tetap Pelik"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×