kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ451.001,74   8,14   0.82%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Sanggupkah Tax Amnesty jadi penyelamat?


Kamis, 30 Juni 2016 / 14:24 WIB
Sanggupkah Tax Amnesty jadi penyelamat?


Reporter: Adinda Ade Mustami, Asep Munazat Zatnika, Dupla Kartini | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Kado yang ditunggu-tunggu pemerintah akhirnya tiba. Selasa (28/6), dalam rapat paripuna, Komisi XI DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak menjadi Undang-Undang (UU).

Artinya, pemerintah kini punya payung hukum untuk memberi pengampunan bagi orang yang selama ini tidak membayar pajak sesuai dengan harta yang dimilikinya. Tentu, pengampunan ini enggak cuma-cuma. Ada konsekuensi berupa tarif tebusan.

Nah, negara punya kans besar untuk mengantongi tambahan pendapatan dari tarif tebusan yang akan dibayarkan. Jika tak ada aral melintang, kebijakan penghapusan pajak alias tax amnesty mulai berlaku Juli 2016.

Ini tentu kabar baik bagi pemerintah. Sebab, dalam APBN-P 2016, penerimaan negara dipatok sebesar Rp 1.786,2 triliun. Sumbangan terbesar diharapkan dari penerimaan pajak yaitu Rp 1.347,78 triliun. Dari target tersebut, pemerintah mengadang-gadang tambahan penerimaan dari tax amnesty sebesar Rp 165 triliun.

Mau tak mau, pemerintah harus kerja keras menguber dana dari pengampunan pajak. Ini supaya tak terjadi shortfall atau kekurangan pendapatan.

Yang jelas, hingga akhir Mei 2016, realisasi pendapatan negara masih sekitar Rp 496,6 triliun. Angka tersebut baru mencapai 27,80% dari target pendapatan yang dipatok dalam APBN-P 2016. Sementara, sumbangan dari penerimaan pajak baru Rp 364,1 triliun, atau 27,01% dari target.

Toh, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro meyakini, potensi penerimaan pajak cukup terbuka lebar. Alasannya, masa berlaku kebijakan pengampunan pajak diperpanjang menjadi sembilan bulan (Juli 2016-Maret 2017), dari rancangan awal hanya enam bulan. Bahkan, dia yakin, penerimaan bisa melebihi Rp 165 triliun. Tambahan tersebut berasal dari tiga bulan terakhir periode pengampunan pajak, atau Januari-Maret 2017.

Pemerintah tentu punya dasar perhitungan. Target itu berdasarkan adanya potensi Wajib Pajak (WP) yang melakukan deklarasi di luar negeri senilai Rp 3.500 triliun-Rp 4.000 triliun. Dengan asumsi rata-rata tarif uang tebusan sebesar 4% saja, ada potensi penerimaan pajak sebesar Rp 160 triliun.

Ditambah potensi deklarasi dan repatriasi aset di luar negeri sebesar Rp 1.000 triliun. Jika dikalikan dengan asumsi rata-rata tarif 2%, potensi penerimaan pajak sebesar Rp 20 triliun. "Namun, yang kita masukan ke dalam target penerimaan pajak dalam APBN sebesar Rp 165 triliun," ujar Bambang.

Bambang mengklaim, potensi penerimaan pajak itu didasarkan pada data intelijen yang dimiliki mengenai WP yang selama ini menyimpan aset di luar negeri. Salah satunya, data wajib pajak di negara surga pajak alias tax heaven yang jumlahnya mencapai 6.519 warga negara indonesia (WNI).

Bidikan tax amnesty

Sebelum menimbang lebih jauh keefektifan pengampunan pajak dalam mengamankan postur anggaran, mari kita cermati terlebih dulu poin-poin penting dalam UU Pengampunan Pajak.

1. Subjek pengampunan pajak  
Setiap wajib pajak (WP OP dan WP Badan) berhak mendapatkan pengampunan pajak. Pengampunan pajak diberikan melalui pengungkapan harta yang dimiliki dalam Surat Pernyataan. Pengecualian bagi WP yang sedang tahap penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan (P21), sedang proses peradilan, atau sedang menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan.

2. Objek pengampunan pajak
Pengampunan pajak meliputi penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Adapun, kewajiban perpajakan yang mendapatkan pengampunan terdiri atas pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN) dan penjualan atas barang mewah (PPnBM)

3. Tarif uang tebusan  
a.  Tarif uang tebusan atas harta yang berada di wilayah RI atau harta yang berada di luar wilayah RI yang dialihkan ke dalam wilayah RI.
●   2% untuk periode pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga sejak UU mulai berlaku.
●   3% untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan keempat sampai 31 Desember 2016.
●   5% untuk periode penyampaian surat pernyataan sejak 1 januari 2017 sampai 31 Maret 2017.

b. Tarif uang tebusan atas harta yang ada di luar wilayah NKRI yang tidak dialihkan ke RI alias deklarasi harta di luar negeri.
●  4% untuk periode pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga.
●  6% untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan keempat sampai 31 Desember 2016.
●  10% untuk periode penyampaian surat pernyataan sejak 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017.

c. Tarif uang tebusan bagi wajib pajak UMKM yang peredaran usahanya sampai Rp 4,8 miliar pada tahun pajak terakhir.
●  0,5% bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta sampai dengan Rp 10 miliar.
●  2% bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp 10 miliar.

4. Dasar penghitungan uang tebusan
Dasar penghitungan uang tebusan berdasarkan nilai harta bersih yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh yang terakhir. Nilai harta bersih didefinisikan sebagai nilai harta yang belum dilaporkan dikurangi utang.

Utang yang bisa jadi pengurang nilai harta adalah pokok utang yang berkaitan langsung dengan harta yang belum diungkapkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Batas utang yang dapat dijadikan pengurang yaitu maksimal 75% dari nilai harta yang belum dilaporkan untuk WP Badan, dan maksimal 50% untuk WP OP.

5. Kewajiban investasi  
Pengalihan harta ke dalam negeri harus melalui bank persepsi yang khusus ditunjuk oleh menteri. Harta yang dialihkan, diinvestasikan paling lambat 31 Des 2016 bagi yang menyatakan pada periode I atau II. Atau paling lambat 31 Maret 2017 bagi pengajuan di periode III.

Wajib Pajak yang mengungkapkan harta yang berada dan/atau ditempatkan dalam NKRI, tidak boleh mengalihkannya ke luar NKRI paling singkat 3 tahun terhitung sejak dikeluarkan Surat Keterangan.

Jika WP tidak memenuhi ketentuan mengenai pengalihan harta, maka terhadap harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai penghasilan pajak Tahun Pajak 2016, serta dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan aturan di bidang perpajakan. Uang tebusan yang telah dibayar oleh WP diperhitungkan sebagai pengurang pajak.

6. Instrumen investasi
Dana repatriasi dapat diinvestasikan dalam beberapa instrumen berikut: Surat Berharga Negara (SBN), obligasi BUMN, obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki pemerintah, investasi keuangan pada bank persepsi, dan obligasi bank swasta yang perdagangannya diawasi Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu, investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha, investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan pemerintah, serta bentuk investasi lainnya yang sah sesuai peraturan perundang-undangan.

Tax Amnesty

Sanksi bagi harta yang kurang diungkap

Pemerintah tidak hawatir jika ada Wajib Pajak yang melaporkan asetnya lebih rendah dari yang seharusnya. Pasalnya, dalam UU Pengampunan Pajak, pemerintah sudah mengantisipasi dengan ancaman sanksi yang lebih besar jika di kemudian hari diketahui nilai aset yang diajukan tidak sesuai.

Menteri Keuangan Bambang Brojdjonegoro mengatakan, pihaknya akan menjatuhkan denda sebesar 200% dari selisih nilai aset. Selain dikenai denda, atas aset tersebut, WP harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan tarif normal.

Menurut Bambang, setelah pelaksanaan tax amnesty selesai, pemerintah akan menghitung kembali semua aset yang telah dilaporkan. "Sembilan bulan kita terima saja, setelah itu kita kenakan penalti," ujar Bambang, Rabu (29/6).

Memang, peluang memanipulasi data itu sangat terbuka. Apalagi, fasilitas yang ditawarkan pemerintah melalui kebijakan tax amnesty cukup menggiurkan. Selain dibebaskan membayar denda atas pajak yang belum dilaporkan dalam SPT, pemerintah juga memberikan tarif uang tebusan yang jauh lebih rendah dari tarif PPh yang diatur. Apalagi, jika aset yang dilaporkan itu disertai dengan pengalihan aset dari luar negeri ke dalam negeri (repatriasi).

Itu sebabnya, Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengatakan,  kebijakan ini berpotensi menjadi moral hazard. "Karena tarif tebusan dihitung dari harta bersih setelah dikurangi utang, bisa jadi seolah-olah ada utang dan dibesarkan. Oleh karena itu pengawasan kebijakan ini harus betul-betul baik," katanya.

Daya tarik ikut pengampunan pajak

Pengampunan pajak bisa jadi kesempatan bagi WP untuk bersih-bersih sebelum pemerintah nantinya bisa mendeteksi setiap harta yang ditempatkan di sejumlah negara lain.

Soalnya, mulai 2018, Indonesia akan mengikuti kerjasama pertukaran data pajak dan transaksi keuangan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) antar negara-negara G-20. Bahkan, Indonesia dan Amerika Serikat sudah akan memulai pertukaran data pajak pada September 2017.

"Kekhawatiran kalau nantinya data aset bisa diakses mungkin jadi salah satu faktor yang mendorong orang ikut pengampunan pajak. Apalagi tarif tebusan yang dipatok cukup reasonable untuk melakukan repatriasi atau deklarasi aset," kata David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia (BCA), Rabu (29/6).

Bisa dibilang kebijakan pengampunan pajak memang menjadi fasilitas bagi WP untuk membersihkan asetnya, yang selama ini belum dilaporkan dalam SPT. Apalagi, pemerintah tidak akan mempermasalahkan asal-usul aset tersebut termasuk jika didapat dari tindak kejahatan seperti pidana atau lainnya.

Pemerintah juga akan melindung semua data yang diterima pemerintah terkait permohonan pengampunan pajak itu dari masalah hukum. Artinya, semua data tersebut tidak bisa dijadikan dasar dari semua proses hukum, baik penyelidikan atau penyidikan.

Target tinggi, masih ada risiko fiskal

Dengan sejumlah "keringanan" yang dijanjikan bagi WP dan pilihan instrumen investasi yang cukup bervariasi, apakah pengampunan pajak bakal efektif menutup lubang anggaran?

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, tarif tebusan yang dikutip cukup ideal, termasuk tarif tebusan bagi pelaku UMKM. Meski demikian, ia memperkirakan, pemerintah hanya akan mengantongi penerimaan maksimal Rp 80 triliun. "Untuk deklarasi, terbanyak mungkin dari dalam negeri. Tapi repatriasi, kami tidak tahu persis. Tidak bisa diduga," kata Hariyadi, Senin (27/6).

Ekonom juga menilai target perolehan dari tax amnesty masih terlalu tinggi. Ekonom BCA David Sumual mengatakan, terdapat spread yang sangat lebar antara target yang dipatok pemerintah sebesar Rp 165 triliun dengan proyeksi Bank Indonesia (BI) yang hanya Rp 53 triliun.

"Basis data yang dimiliki pemerintah juga belum kuat. Apalagi, sebenarnya sebagian dana sudah ada di dalam negeri. Bentuknya mungkin berupa deposito yang dijadikan jaminan untuk memperoleh kredit," ungkapnya.

Menurut David, patokan target yang terlalu tinggi bakal berpengaruh pada ekspektasi pasar yang tinggi pula. Sehingga, jika target tidak tercapai, akan berimbas pada confidence pelaku pasar. Apalagi, masih ada ancaman rendahnya harga komoditas, perlambatan perdagangan dunia dan likuiditas seret pasca Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit). "Seharusnya target fiskal masih bisa dibikin lebih konservatif. Yang penting itu bagaimana memanage ekspektasi pasar," ucapnya.

Seperti diketahui, dalam APBN-P 2016, pemerintah mematok target pendapatan Rp 1.786,2 triliun, dengan porsi penerimaan pajak sebesar Rp 1.347,78 triliun. Rinciannya: porsi dari PPh sebesar Rp 855,84 triliun, PPN Rp 474,23 triliun, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 17,71 triliun. Sementara, target belanja negara mencapai Rp 2.082,95 triliun.

Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistyaningsih menyebut, meski pemerintah sudah memasukkan target perolehan dari tax amnesty dalam APBN-P 2016, namun patokan fiskal belum realistis dengan kondisi ekonomi saat ini.

Menurutnya, potensi shortfall masih cukup besar. Selain target pengampunan pajak ketinggian, masih ada efek Brexit yang mengancam pemulihan ekonomi global. Jika berkepanjangan, ekonomi dunia bisa meriang, khususnya negara mitra dagang Indonesia. Efeknya, target penerimaan pajak bisa tambah loyo. Pemerintah juga sulit menggantungkan penerimaan dari ekspor komoditas.

Dus, jika penerimaan pajak terganggu, imbasnya belanja pemerintah harus dipangkas jika tidak mau defisit anggaran melebar. Dalam APBN-P 2016, pemerintah mematok target defisit anggaran sebesar 2,35% terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB).

Hanya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yakin anggaran kali ini lebih realistis. Selain mendorong kebijakan tax amnesty, supaya penerimaan pajak tercapai, pemerintah menurutnya akan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak. Pemerintah juga akan membenahi sistem administrasi dan teknologi informasi perpajakan.

Selain itu, katanya, perubahan asumsi rata-rata harga minyak dalam negeri atau Indonesia Crude Price (ICP) yang kini jadi US$ 40 per barel, dan peningkatan target lifting minyak diyakini bisa membuat penerimaan negara dari sektor ini mencapai Rp 57 triliun.

Faktanya, selama lima bulan pertama di tahun ini, rata-rata harga ICP masih di level US$ 34,5 per barel. Sementara, realisasi lifting minyak pada Mei 2016 sekitar 807 barel, atau di bawah target APBN-P sebesar 820 barel per hari.

Nah, sanggupkah pemerintah memanfaatkan pengampunan pajak untuk amankan anggaran? Kita tunggu saja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×