kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

OJK masih belum bisa ambil posisi soal bitcoin


Rabu, 13 Desember 2017 / 22:18 WIB
OJK masih belum bisa ambil posisi soal bitcoin


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa pihaknya tidak mengakui penggunaan mata uang virtual atau cryptocurrency sebagai mata uang di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan masih belum dapat menentukan posisinya dalam hal tersebut.

Direktur Inovasi Keuangan Digital OJK Fithri Hadi mengatakan ada tiga faktor yang menyebabkan investasi mata uang digital seperti Bitcoin belum mendapatkan legalitas oleh OJK.

Pertama, OJK belum dapat mengukur nilai fundamental dari Bitcoin. Fithri mencontohkan, jumlah pasokan yang dapat dibentuk dari mata uang ini masih belum ada batas atasnya alias tidak terbatas.

"Kalau bitcoin ini adalah aset digital yang ada servernya. Rangkaiannya berupa angka, ujarnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (13/12).

Selain itu, jika ingin disamakan sebagai mata uang maka Bitcoin tidak cocok jika disetarakan dengan mata uang yang diakui di Indonesia. Pasalnya, dalam Undang-Undang Mata Uang disebutkan bahwa hanya Rupiah lah yang menjadi alat pembayaran sah di Indonesia.

Ketiga, OJK juga belum bisa menyamaratakan Bitcoin sebagai investasi lantaran tidak adanya hal yang jaminan (underlying) yang serupa dengan produk investasi lainnya. "Kami sudah tanya ke beberapa pihak termasuk pakar dan pelaku, dan tidak ada," ujarnya.

Hal tersebut menurut OJK menjadi bahan pertimbangan bagi pihak regulator untuk melegalkan Bitcoin. Kendati demikian, melihat tren transaksi Bitcoin yang sampai ini terus meningkat, OJK mengatakan akan terus melakukan pengkajian guna mengatur penggunaan mata uang virtual tersebut termasuk pengkajian ke beberapa negara.

Sementara itu, Bank Indonesia mengatakan pihaknya akan mengeluarkan aturan terkait mata uang kripto tersebut. Bank sentral dalam hal ini telah melarang penggunaan mata uang kripto sebagai alat pembayaran alias tidak sah.

BI berlandaskan kehati-hatian sehingga melarang bitcoin digunakan sebagai transaksi pembayaran baik oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) ataupun financial technology (fintech). Berlaku juga untuk mata uang digital lainnya.

"Kami mengatur bagaimana konsumen tetap nyaman tanpa mematikan inovasi. Sejak 2014 kami sudah keluarkan stance, tapi bukan berarti dia haram hanya berarti Bitcoin bukan legal tender yang sah," kata Asisten Direktur Fintech Office BI, Yosamartha.

Sementara itu, CEO Bitcoin.co.id Oscar Darmawan mengatakan pemerintah atau regulator seharusnya dapat mengatur mata uang digital dari sisi bursa aset digital alias penyelenggara transaksinya saja.

Dengan cara ini, menurut Oscar pemerintah dapat meminimalisir tindak kejahatan. Serta, melacak praktik pencucian uang, pembiayaan teroris, narkoba, perdagangan ilegal dan penipuan yang dilakukan menggunakan teknologi blockchain seperti Bitcoin.

Lebih lanjut, aturan serupa menurutnya sudah diterapkan di beberapa negara seperti Jepang dan beberapa negara Eropa.

"Dengan mengatur itu, penerapan know your customer (KYC) akan beres. Kalau ada transaksi ilegal maka bisa dilarang," tambahnya.

Mengenai ke depannya, Oscar sendiri bahkan menyebut tidak menutup kemungkinan mata uang seperti Bitcoin dapat bertahan ke depan. Hanya saja, saat ini Bitcoin merupakan salah satu dari 1.300 lebih mata uang digital yang beredar di dunia. Artinya, peluang untuk ruang untuk mata uang digital jenis lainnya untuk berkembang cukup lebar.

"Dalam investasi itu tidak boleh manja, kalau tidak mau ambil risiko atau khawatir dengan Bitcoin ke depan ya silahkan jual, semua tergantung dari pengguna sebenarnya," imbuhnya.


 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×