kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Menunggu janji Reforma Agraria Jokowi


Jumat, 25 November 2016 / 14:34 WIB
Menunggu janji Reforma Agraria Jokowi


Reporter: Agus Triyono, Handoyo, Teodosius Domina | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Reforma Agraria menjadi salah satu daftar Program Prioritas Nasional yang digaungkan Presiden Joko Widodo sebagai terobosan mengatasi kemiskinan, ketimpangan serta penciptaan lapangan pekerjaan. Ini termasuk untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan penguasaan tanah khususnya di pedesaan agar tanah dan sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara maksimal. 

Dengan begitu cita-cita dari Reforma Agraria yang tak kalah penting yakni peningkatan ketahanan pangan, perbaikan kualitas hidup dan pengurangan sengketa lahan bisa tercapai. Banyak hal yang harus disiapkan secara matang dan terencana oleh pemerintahan Jokowi-JK agar reforma agraria benar-benar bisa terealisasi di negeri ini. Bukan hal mudah untuk merealisasikan hal tersebut lantaran butuh integrasi pemerintah dan masyarakat serta gerakan sosial yang masif. 

Reforma agraria sebenarnya juga telah bergulir pada pemerintah sebelumnya, namun belum banyak perubahan yang terjadi lantaran rumitnya masalah yang terjadi di lapangan. Sebab, salah satu masalah terbesar adalah pertanian Indonesia merupakan pertanian berbasis petani gurem. Mayoritas rumah tangga tani hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare. 

Opini Ukay Karyadi, Pengamat Ekonomi Dan Kebijakan Publik di Harian KONTAN pada 24 Oktober 2016 menjelaskan, dengan luas lahan mini tersebut, jelas aktivitas usaha pertanian tidak akan mencapai skala keekonomian. Kendala struktural ini harus diatasi. Karena itu diperlukan kebijakan yang radikal, yakni kebijakan yang dapat mendorong redistribusi aset, terutama yang menyangkut lahan dan kapital. Kebijakan itulah yang dikenal dengan istilah land reform policy (reforma agraria).

Proses redistribusi aset dapat dilakukan melalui cara lain. Menurut Ukay, pertama, pengembangan pengelolaan kelembagaan lahan pertanian secara bersama-sama antara petani kecil (kelompok tani) untuk mendapatkan manfaat skala ekonomi, melalui insentif peningkatan mutu lahan dan penyediaan kredit murah. Dengan cara demikian, maka penguatan pengelolaan kelembagaan pengolahan lahan akan diikuti oleh redistribusi kapital melalui pemberian fasilitas kredit kepada kelompok-kelompok tani.

Kedua, menyediakan reservasi lahan pertanian melalui perpajakan dan transfer. Kebijakan ini bertujuan untuk menahan laju konversi lahan pertanian, terutama ditujukan pada lahan dengan produktivitas yang tinggi.

Tentunya upaya redistribusi aset tersebut harus ditopang upaya-upaya komplementer lainnya, seperti pembangunan infrastruktur pedesaan, penerapan teknologi tepat guna, peningkatan investasi (modal), peningkatan kualitas SDM, akses pasar, maupun perbaikan kelembagaan di pedesaan. Tanpa itu, keberpihakan anggaran pada pembangunan desa seberapa pun besarnya akan kurang efektif memberantas kemiskinan. 

Untuk itu upaya realisasi program Reforma Agraria ala Jokowi, pada tahun 2017, pemerintah akan menerapkan dua skema reforma agraria. Inspektur Jenderal Kementerian agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Yuswanda A.Tumenggung mengatakan, dua skema yang akan dijalankan adalah skema legalisasi aset tanah dan skema redistribusi aset.

Untuk legalisasi aset, setidaknya ada sekitar 4,5 juta hektare (ha) lahan yang akan dilegalisasi dalam program reforma agraria. Dari jumlah itu, sekitar 600.000 ha lahan berada di wilayah transmigrasi. "Sedang 3,9 juta ha lainnya akan dimasukkan ke dalam program sertifikasi tanah," ujar Yuswanda akhir pekan lalu.

Catatan saja, pemerintah juga tengah mempercepat program sertifikasi lahan. Program percepatan sertifikasi tanah tertuang dalam Paket Kebijakan Ekonomi VII yang dirilis beberapa waktu lalu. Dalam program ini, targetnya, lahan seluas 5 juta ha akan di sertifikasi pada tahun 2017. Lalu, lahan seluas 7 juta ha disertifikasi tahun 2018, dan 9 juta ha di tahun 2019.

Harapannya, pada tahun 2025 seluruh bidang tanah di Indonesia bisa memiliki sertifikat atau memiliki kejelasan status hukum. Adapun Menteri agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil mengatakan, tahun ini pemerintah memasang target penerbitan sertifikat 1,03 juta bidang tanah. 

Total target seluas 9 juta ha hingga 2019 terdiri dari 0,6 juta ha tanah transmigrasi yang belum bersertifikat, 3,9 juta ha tanah legalisasi aset masyarakat, 0,4 juta ha tanah terlantar, dan 4,1 juta ha tanah pelepasan kawasan hutan.

Untuk mencapai target itu kementeriannya akan melakukan beberapa upaya. Pertama, merekrut juru ukur swasta bersertifikat untuk turut serta dalam proses pengukuran tanah dalam penerbitan sertifikat. Kini, Kementerian ATR tengah menyusun peraturan menteri yang akan mengatur tentang juru ukur swasta. 

"Tahun depan pemerintah akan merekrut 2.500-3000 juru ukur tanah swasta sehingga masyarakat yang mau mengurus sertifikat bisa minta bantuan mereka dan tidak perlu pergi ke BPN," ujar Sofyan.

Kedua, meliberalisasi peran petugas pengumpul data pertanahan. Ke depan, petugas pengumpul data pertanahan juga boleh dilakukan oleh swasta yang bersertifikat. "Nanti akan seperti perusahaan. Semua bisa mendaftar tapi akan ada uji kompetensi dan lisensi dulu," jelas Sofyan.

Poin Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VII tentang Percepatan Proses Sertifikasi Tanah
 
Pemerintah akan mempercepat proses pengurusan sertifikat tanah dengan memberi kemudahan kepada masyarakat yang ingin mengurus sertifikat tanah
Pemerintah akan memperbanyak juru ukur tanah bersertifikat, terutama dari unsur non-PNS
Selama ini proses percepatan sertifikasi tanah masih terhambat karena jumlah juru ukur hanya 4.349 orang yang terdiri dari 2.159 PNS dan petugas ukur berlisensi 2.190 orang
Upaya percepatan pelayanan proses sertifikasi tanah dilakukan dengan: 
  • pelayanan sabtu-minggu (termasuk di area car free day)
  • pelayanan malam hari di area car free day night Bandung dan pasar tradisional Pandeglang
  • membuka outlet pelayanan untuk mendekatkan tempat pelayanan pertanahan dengan pemukiman masyarakat
  • melaksanakan pelayanan desa online di Provinsi NTB, Kabupaten Bangka Tengah dan Kota Batam
  • mempercepat jangka waktu pengumuman pendaftaran tanah dari 60 hari menjadi 14 hari kerja
  • mengubah pendaftaran tanah dari manual ke sistem elektronik, sehingga total waktu proses sertifikasi tanah menjadi 30 hari kerja
 
Sumber : Kemenko Perekonomian

Sementara itu, untuk skema redistribusi aset, pemerintah akan mendistribusikan 4,5 juta ha lahan kepada masyarakat. Dari jumlah itu, sekitar 400.000 ha di antaranya merupakan lahan hak guna bangunan (HGB) yang izinnya sudah tidak diperpanjang lagi. 

Pemerintah juga akan meredistribusi lahan pelepasan kawasan hutan ke masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat ini ada 4,1 juta ha lahan kawasan hutan yang akan dilepaskan menjadi tanah objek reforma agraria (TORA). 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, lahan yang akan dilepaskan menjadi objek reforma agraria memiliki dua kriteria. Pertama, lahan kawasan hutan yang belum dikuasai masyarakat.
Lahan yang masuk kriteria jenis ini meliputi, alokasi 20% areal perkebunan masyarakat yang berasal dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar dan pelepasan hak pengelolaan kawasan untuk cadangan pangan di Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Juga lahan yang berupa lahan kering di kawasan hutan.

Kedua, untuk kawasan hutan yang telah dikuasai masyarakat, baik untuk permukiman dan transmigrasi maupun lahan garapan. Lahan yang akan dilepaskan untuk kriteria jenis ini sebelumnya belum ada pelepasan. Menurut Siti, pelepasan lahan hutan ini bertujuan untuk memberi kepastian hukum atas penguasaan tanah oleh masyarakat di kawasan hutan. 

Selain itu, upaya ini juga merupakan cara pemerintah untuk menyelesaikan sengketa dan konflik di dalam kawasan hutan. Rencananya, pelepasan lahan hutan ini akan dilakukan lewat beberapa skema. Antara lain dengan melegalisir 335 satuan permukiman transmigrasi seluas 403.542 ha yang saat ini sudah ada. Sayangnya, Siti masih belum merinci skema pelepasan tanah hutan ini. "Detail pelepasannya, semua sedang dikoordinasikan pelaksanaannya," kata Siti.

Kementerian dan lembaga terkait berupaya agar tanah yang didistribusikan kepada masyarakat nantinya tidak hanya menjadi aset, tetapi juga bisa menjadi akses ke perbankan dan lembaga keuangan. "Ini agak rumit dan pasti akan melibatkan banyak kementerian, tapi harus dicari supaya tanah itu nantinya tidak hanya menjadi aset tapi juga akses," kata Sofyan.

Dalam program ini, kata Sofyan, pemerintah akan melakukan pendampingan terhadap warga yang menerima hak penggunaan lahan, agar lahan digunakan memperbaiki taraf hidup mereka.

Capaian reforma agraria selama 2 tahun (2015-2016)
     
  Tahun 2015 Tahun 2016
Legalisasi atas tanah yang sebelumnya dijadikan Tanah Objek reforma agraria (TORA) dan tanah rakyat miskin lainnya realisasi legalisasi aset 836.921 bidang sekitar 188.307 ha Target legalisasi aset 1.050.073 bidang, dengan total luas sekitar 236.266 ha
     
Identifikasi tanah terlantar Target 119 bidang, terealisasi 91 bidang Target 205 bidang, terealisasi 66 bidang
     
Redistribusi tanah pada tanah HGU yang habis masa berlakunya, tanah terlantar dan tanah negara 90.829 bidang, sekitar 63.985 ha 175.000 bidang, sekitar 123.280 ha
     
Penanganan sengketa dan konflik agraria 932 kasus, dimana 515 kasus selesai 2.642 kasus, dimana 251 kasus selesai
     
Sumber: Kantor Staf Presiden    

Menyisir masalah tata ruang

Kementerian agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional juga tengah menyusun beleid berupa peraturan menteri yang mengatur tentang pencabutan izin hak guna usaha (HGU) milik perusahaan yang tanahnya tidak dimanfaatkan pasca izin diberikan.

Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian agraria dan Tata Ruang Budi Situmorang mengatakan, peraturan menteri yang mengatur ketentuan pencabutan izin HGU yang tidak digunakan itu ditargetkan rampung pada tahun 2017. "Saat ini, pemetaan lahan sedang dilakukan di kabupaten/kota," ujarnya.

Menurutnya, aturan pencabutan izin HGU milik perusahaan yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan penting dilakukan untuk memperbaiki tata ruang dalam reformasi agraria. Penataan ini juga perlu dilakukan untuk menghindari spekulan yang bermain dan mengakibatkan harga tanah melambung.

Selain memperbaiki tata ruang, pencabutan HGU milik perusahaan yang tak digunakan semestinya juga berguna untuk pengadaan tanah pemerintah (land banking), khususnya bagi proyek infrastruktur. Maklum, selama ini, banyak proyek infrastruktur pemerintah yang tersendat realiasinya lantaran ketersediaan lahan yang minim.

Menurut Budi, pencabutan izin HGU ini utamanya akan dilakukan terhadap lahan HGU yang tak kunjung digunakan pengusaha. Selain itu, pemerintah juga akan mencabut HGU lahan yang tidak digunakan sesuai perencanaan awal. "Kalau ada yang idle, kami ambil," ujarnya.

Rencananya aturan ini akan berlaku surut. Alhasil, jika perusahaan yang telah mendapat izin HGU namun lahannya tak tergarap maksimal, izin penggunaan itu juga berpotensi untuk ditarik kembali oleh pemerintah. Tapi, kata Budi, untuk menerapkan rencana ini, nantinya akan ada persyaratan yang ketat, sehingga tak akan diterapkan secara sembarangan. Nantinya lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang terlantar dan tanah negara yang tidak termanfaatkan ini akan diredistribusikan kepada para petani. 

Kementerian ATR/BPN juga akan mengeluarkan kebijakan bagi lahan-lahan yang berstatus sebagai lahan sengketa. Nantinya, Kementerian ATR/BPN akan memberi perlakuan khusus, yakni tanah tersebut dapat digunakan untuk kepentingan umum sampai status putusan sengketanya memiliki kejelasan sehingga tidak ada tanah terlantar. Pengelolaannya akan diserahkan kepada pemerintah provinsi untuk digunakan sebagai taman, ruang hijau atau lokasi bagi pedagang kecil.

Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan agraria Iwan Nurdin, banyak celah bagi pemerintah merealisasikan reforma agraria. Salah satunya, mengambil alih HGU tanah yang sudah habis dan tak sesuai peruntukan dan menyerahkan kepada masyarakat. Namun, Iwan melihat reforma agraria masih belum berjalan. Redistribusi tanah untuk masyarakat dan petani miskin masih belum tersalurkan dengan baik. Imbasnya ketimpangan kepemilikan tanah masih terjadi. "Waktu sekitar 2,5 tahun tersisa cukup untuk membuktikan janji pemerintah," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×