kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Menguji kekompakan BI dan pemerintah dalam menjaga stabilitas


Kamis, 31 Mei 2018 / 16:15 WIB
Menguji kekompakan BI dan pemerintah dalam menjaga stabilitas


Reporter: Adinda Ade Mustami, Galvan Yudistira, Ghina Ghaliya Quddus, Herlina KD, Intan Nirmala Sari, Yoliawan H | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat untuk mengedepankan misi menjaga stabilitas ekonomi. Dalam jangka pendek, stabilitas rupiah menjadi fokus utama. Untuk itu, pemerintah dan BI akan menempuh serangkaian kebijakan untuk menjaga rupiah. 

Sinyal kekompakan pemerintah dan BI untuk menjaga stabilitas rupiah ini menjadi isyarat penting untuk menenangkan kondisi pasar yang sempat bergejolak yang ditandai dengan pelemahan rupiah yang lebih cepat dari fundamentalnya.

Dari sisi Bank Indonesia, Rabu (30/5) kemarin, BI kembali menaikkan suku bunga acuannya (BI 7 Day Reverse Repo Rate) dari 4,5% menjadi 4,75%. Kenaikan suku bunga acuan ini merupakan langkah jangka pendek untuk mengantisipasi pelemahan rupiah yang terlalu cepat (overshooting) dan sebagai upaya BI untuk menjaga inflasi di kisaran sasarannya. 

Selain itu, kenaikan suku bunga acuan ini dilakukan untuk mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan akan lebih agresif menjadi empat kali di  tahun ini.

Seperti diketahui, sejak Desember 2017 lalu The Fed sudah dua kali menaikkan suku bunga, yakni pada Desember 2017 dan Maret 2018 ke posisi 1,5%-1,75%.

The Fed diperkirakan masih akan mengerek bunga lagi pada rapat Federal Open Market Committee (FMOC) 13 Juni mendatang dan September 2018.

Kenaikan suku bunga acuan BI ini merupakan yang kedua kali pada tahun ini setelah pada 17 Mei lalu BI telah menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate ke level 4,5%. Sebelumnya BI menahan suku bunga acuan di level 4,25% sejak September 2017. 

Bila menilik Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah pada Kamis (31/5) ada di level Rp 13.951 per dollar AS, menguat 0,57% dibanding sehari sebelumnya yang ada di level Rp 14.032 per dollar AS.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan kebijakan untuk menaikkan suku bunga acuan ini merupakan langkah pre emptive, front loading dan ahead of the curve yang dilakukan BI untuk memperkuat stabilitas nilai tukar terhadap kenaikan suku bunga AS yang lebih tinggi dan meningkatnya risiko di pasar keuangan global. 

Selain menaikkan suku bunga acuan, BI juga akan melakukan intervensi ganda di pasar valas dan pasar surat berharga negara. Strategi operasi moneter juga diarahkan untuk menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang rupiah dan pasar swap antara bank.

Di sisi pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pemerintah siap menanggung risiko dari kebijakan yang akan diambil untuk menstabilkan rupiah. Bahkan, Menkeu menyatakan, pemerintah siap menanggung konsekuensi bila ekonomi tumbuh lebih rendah lantaran pengetatan kebijakan moneter ini.

"Kami siap melakukan policy apa saja untuk jaga ekonomi Indonesia. Bila dalam jangka pendek harus lakukan adjustment (penyesuaian), dan konsekuensi pertumbuhan ekonomi lebih rendah sedikit, ini konsekuensi yang akan kami terima," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantor Kementerian Keuangan (Kemkeu), Senin (28/5).

Kekompakan BI dan pemerintah ini patut diapresiasi. Pengamat ekonomi Chatib Basri menyatakan keputusan BI dan pemerintah untuk mengedepankan stabilitas ketimbang pertumbuhan ekonomi menjadi sinyal bagus bagi pasar. “Saya lihat langkah pemerintah dan BI baik. Stability over growth,” kata Chatib kepada Kontan.co.id, Senin (28/5).

Ia mengatakan, ekonomi Indonesia akan tetap rentan karena masih tergantung dengan arahan dari Bank Sentral AS, The Fed. Meski demikian, menurunnya yield surat utang pemerintah AS akibat indikasi The Fed untuk tidak mempercepat kenaikan bunga bisa membantu perbaikan sektor keuangan dan penguatan rupiah.

Oleh karena itu, Chatib mengatakan, memang dibutuhkan kebijakan yang fokus kepada stabilitas, yakni dari sisi nilai tukar rupiah, surat utang, dan pasar saham.

Jaga pertumbuhan ekonomi

Kenaikan suku bunga acuan ke level 4,75% pada Rabu (30/5) lalu belum menjadi jurus pamungkas BI untuk meredam gejolak ekonomi di dalam negeri. Perry menuturkan ke depan BI masih membuka peluang untuk kembali menaikkan suku bunga acuan bila diperlukan. 

Menurutnya, BI akan terus mengkalibrasi perkembangan baik domestik maupun global untuk memanfaatkan masih adanya ruang untuk kenaikan suku bunga secara terukur.

Meski kebijakan moneter diperketat, Perry masih optimistis hingga akhir tahun ini ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 5,2%. 

Sedangkan di internal pemerintah, Sri Mulyani melihat pertumbuhan ekonomi tahun ini ada di kisaran 5,17%-5,4%. 
 
Kendati suku bunga naik, BI optimistis inflasi masih akan terjaga di kisaran 2,5%-4,5%. Dengan melihat upaya pengendalian harga pangan yang dilakukan pemerintah cukup baik, hingga akhir tahun BI memperkirakan inflasi akan ada di kisaran 3,6%. 

Ekonom Maybank Indonesia Juniman bilang, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% tahun ini masih bisa tercapai meski ada kenaikan suku bunga acuan BI yang berpotensi mengerem laju pertumbuhan itu sendiri. Syaratnya, pemerintah sebagai otoritas fiskal juga melakukan berbagai upaya untuk menjaga agar pertumbuhan tidak serta merta melambat. 

Menurut Juniman, pemerintah harus memastikan sisi fiskal aman. "Defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan harus aman, dengan begitu kontinuitas investasi bisa diperkuat," jelasnya.

Defisit transaksi berjalan harus dijaga di bawah level 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Untuk menjaga defisit transaksi berjalan agar tetap di level aman, pemerintah bisa menaikkan ekspor baik dengan diversifikasi produk maupun diversifikasi negara tujuan. Tapi memang hal ini bukan pekerjaan yang instan. 

Pemerintah juga harus menjaga agar stimulus fiskal yang diberikan pemerintah berjalan dengan baik. "Jika stimulus berjalan, maka ekspektasi pertumbuhan ekonomi bisa terjaga," jelas Juniman kepada Kontan.co.id Rabu (30/5).

Selain itu, pemerintah juga harus menjaga agar utang luar negeri dalam level aman. "Pemerintah harus gunakan utang untuk proyek yang produktif," kata Juniman

Di luar itu, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 5,2% di akhir tahun, BI harus merelaksasi makroprudensial. BI pada rapat dewan gubernur selanjutnya, atau bulan depan harus melakukan relaksasi di sektor makroprudensial seperti pelonggaran giro wajib minimum (GWM) maupun loan to value (LTV) itu bisa membantu jaga pertumbuhan ekonomi. 

Sebab, yang disinggung BI dalam RDG rabu kemarin baru sebatas pengetatan bidang moneter seperti kenaikan suhu bunga dan pendalaman pasar keuangan.

Nah, dengan pengetatan moneter dan relaksasi makroprudensial, maka BI melakukan bauran kebijakan baik makroprudensial dan kebijakan moneter. Menurut Juniman, tanpa ada bauran kebijakan ini akan sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.

Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi juga menilai pemerintah perlu menjalankan kebijakan fiskal yang fokus untuk mendongkrak daya beli demi menjaga pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa dilakukan lewat berbagai kebijakan seperti bantuan sosial maupun subsidi energi agar harga BBM bersubsidi dan tarif listrik tak naik. 

Dalam jangka pendek, "Kini fokus pemerintah adalah stabilitas harga. Pemerintah mesti jaga ketersediaan pasokan barang dan berusaha untuk tidak menaikkan administered price," ujar Eric.

Menarik investor

Menurut Juniman, memastikan stimulus pemerintah berjalan ini penting dilakukan agar ekonomi bisa tumbuh dengan baik dan kepercayaan investor terjaga. Dengan begitu, investor akan balik ke Indonesia untuk membenamkan investasinya dan berefek positif pada stabilitas rupiah. 

Yang tak kalah pentingnya, kata Juniman, BI dan pemerintah juga harus menjaga pasar obligasi. Sebab, obligasi ini merupakan pintu masuk investasi dari sisi portofolio. Kalau gejolaknya tidak besar, maka investasi akan masuk ke obligasi.
 
Tampaknya, kebijakan suku bunga acan oleh BI juga direspon positif oleh pasar modal. Meski IHSG pada penutupan perdagangan Rabu (30/5) sempat turun 0,94% ke level 6.011,05, IHSG pada pembukaan perdagangan Kamis (31/5) kembali naik 0,29% ke level 6.028. 

Analis menilai kebijakan suku bunga positif untuk menarik kembali dana asing ke pasar modal. Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri menilai kenaikan suku bunga bisa mengerek yield dan bisa menarik kembali investor masuk ke dalam negeri. 

Meski begitu, harus diakui pasar belum lepas dari sentimen negatif yang berasal dari pasar global dan bisa berdampak ke pasar lokal. 


Efek ke suku bunga kredit

Bank Indonesia meyakini kenaikan suku bunga acuan BI (BI 7 day reverse repo rate) tak serta merta atau secara linier menyeret kenaikan suku bunga kredit perbankan. Sebab, BI akan tetap menjaga likuiditas di pasar agar tetap cukup. 

Dalam hitungan BI, transmisi kenaikan bunga acuan terhadap kenaikan suku bunga kredit perbankan memakan waktu sekitar 1,5 tahun. "Kalau likuiditas cukup, tak ada alasan bank berlomba-lomba berebut dana dengan menaikkan bunga. Dari pasar uang, likuiditas cukup sehingga mengurangi tekanan bank untuk bersaing dan jor-joran menaikkan suku bunga," ujar Perry.

BI memperkirakan tahun ini kredit masih bisa tumbuh di kisaran 10%-12%. Untuk mencapainya, BI berjanji untuk mempercepat relaksasi kebijakan makroprudensial.

Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama Bank Mandiri mengatakan, efek kenaikan suku bunga acuan BI menjadi 4,75% tidak terlalu signifikan. "Harusnya bunga kredit tidak akan mengikuti," kata Tiko, panggilan karib Dirut Bank Mandiri itu. 

Menurutnya, Bank Mandiri akan menjaga suku bunga kredit seperti saat ini. Tiko bilang, saat ini yang harus diperhatikan bankir adalah likuiditas. Sebab, menjelang lebaran biasanya ada penarikan uang kartal yang besar sehingga biaya dana akan meningkat. 

Meski begitu potensi kenaikan suku bunga kredit sebagai imbas kenaikan bunga acuan tetap patut diwaspadai. 

Direktur Bisnis Banking CIMB Niaga Frans Alimhamzah menjelaskan, kenaikan suku bunga acuan kemungkinan besar bakal mengerek bunga kredit. "Bunga kredit pasti naik dan diharapkan bisa mendorong penguatan rupiah," ujar Frans kepada Kontan.co.id Rabu (30/5).

Menurutnya, ruang kenaikan bunga kredit pasca kenaikan BI 7 day reverse repo rate ke level 4,75% bisa sekitar 25 basis poin. 

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk Achmat Baiquni menuturkan, berkaca pada pengalaman sebelumnya, penyesuaian suku bunga kredit akan terjadi selang dua bulan pasca kenaikan suku bunga acuan BI. "Kami akan hitung lagi, biasanya tidak langsung terpengaruh," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×