kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Menggali optimisme global di Davos


Kamis, 21 Januari 2016 / 16:50 WIB
Menggali optimisme global di Davos


Reporter: Asep Munazat Zatnika, Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Sekitar 2.500 pimpinan bisnis, pemerintahan, organisasi internasional, warga sipil, akademisi, dan media kembali memadati kota wisata salju Davos, Swiss. Jauh dari hawa bersenang-senang, pelaku ekonomi global berkumpul dalam World Economic Forum 2016, yang digelar 20-23 Januari.

Tema WEF yang digelar tahun ini adalah "Fourth Industrial Revolution" -- industri berbasiskan teknologi dan artificial intelligence yang menopang kecepatan dan cakupan yang berbeda, sehingga membentuk sistem industri yang baru.

Industri baru ini telah mengubah sistem keseluruhan mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan mungkin, kebiasaan manusia. Kini, para pelaku ekonomi menyatukan kepala untuk melihat dengan jelas peluang teknologi untuk menciptakan pertumbuhan namun tak memperparah pemangkasan pekerja dan kesenjangan sosial.

Survei yang digelar terhadap 350 perusahaan terbesar di 15 negara menunjukkan, redundansi dan otomatisasi memangkas 7,1 juta lowongan kerja hingga tahun 2020 mendatang. Namun, hanya menghasilkan 2,1 juta peluang kerja baru. Sehingga keseluruhan, 5 juta lowongan kerja akan lenyap.

Tapi, aura kemuraman lebih terasa ketika membicarakan mengenai China dan pelambatan ekonominya. Wajarlah, negara yang dianggap katalis ekonomi negara berkembang ini, dianggap sedang sakit. 

Tahun 2001, dengan masuknya China ke World Trade Organisation (WTO), kehadirannya ikut mengangkat sejumlah negara berkembang. Mulai dari ekspor kedelai di Amerika Latin sampai besi baja di Asia.

Sehingga, pelambatan ekonomi kali ini, diyakini memukul berbagai negara berkembang. Ekspor mobil dar Korea Selatan sampai tembaga Chili tercatat megalami laju penurunan tercepat sejak krisis 2008-2009 krisis, menurut UBS.

Lebih dari US$ 1 triliun dana panas eksodus dari negara berkembang dalam 18 bulan terakhir. Pencairan dari bursa dan obligasi negara-negara berkembang menyentuh rekor US% 60 miliar pada tahn lalu, menurut fund tracker EPFR Global.

Dipicu kekhawatiran pasar akan kenaikan bunga Amerika Serikat Federal Reserve rate (The Fed), pelambatan ekonomi China yang ditambah dramatisnya penurunan harga minyak mentah dunia, telah membuat investor global jiper.

IMF pun memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi, untuk kali ketiga dalam setahun, menjadi 3,4% pada Selasa lalu (19/1).

Ada banyak pihak masih optimis. European Economics Commissioner Pierre Moscovici misalnya, mengaku, tidak percaya krisis finansial internasional segera datang.

"Ada kekhawatiran tentang transisi China yang sukar dan tidak pasti. Tapi saya tidak merasa akan datang krisis finansial...memang ada penurunan yang harus kita hadapi," kata dia pada Reuters.

Dia yakin, bank sentral dunia memiliki amunisi untuk memperbaiki ekonomi setelah tahunan merasakan tren bunga rendah dan stimulus.

Profesor Ding Yuan, Vice President dan dekan di China Europe International Business School di Shanghai menolak, devaluasi China dan penurunan indeks Shanghai tidak bisa digunakan sebagai indikator kesehatan ekonomi China. 

"Ini hanya volatilitas jangka pendek. Orang terlalu fokus pada jangka pendek. Kita seharusnya lebih melihat ke lima tahun ke depan, bukan dua bulan mendatang saja," kata Ding. 

Namun, Ekonom pemenang Nobel Prize Joseph Stiglitz tak seoptimis mereka. "The Fed tidak mengerti. Brasil yang menaikkan bunga di tengah kondisi dunia ini juga tidak baik. Bank sentral lebih sering tidak selaras dengan kenyataan ketimbang pasar," katanya.

Menurut dia, gejolak pasar yang terjadi merupakan pertanda ada hal yag salah di pasar. “Meskipun gejolak itu tidak rasional, pasti membawa konsekuensi. Ini adalah pesan bahwa optimisme berlebihan yang sekarang menyebar, salah,” katanya.

Alhasil, para peserta Davos pun tak percaya diri meramal prospek ekonomi tahun 2016, apalagi dengan harga minyak yang tak pasti. "Kami berharap, pemerintah mulai mengadaptasi nilai minyak yang sekarang, baik itu di level US$ 30, di bawahnya atau lebih. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di tahun ini," komentar Jean-Yves Charlier, CEO provider telekomunikasi besar di Belanda, Vimpelcom.

Di mana Indonesia?

Indonesia memilih optimis bisa memanfaatkan celah dari muramnya kondisi ekonomi global. Menteri Perdagangan Thomas Lembong misalnya, menyemangati agar kita merebut investor pabrik-pabrik yang hengkang dari China.

Presiden Joko Widodo juga memaksa lembaga negara, BUMN, kepala daerah maraton memperbaiki sistem perizinan investasi dan kemudahan berbisnis. Titahnya, ranking kemudahan berbisnis di Indonesia harus ke level 40-an, dari posisi sekarang 109 dunia. Itu artinya, kemudahan berbisnis di Indonesia harus semudah di Italia atau Thailand.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian Koordinator Ekonomi mengiming-imingi sektor menarik bagi investor asing, yang dulunya terbatas atau bahkan tertutup sama sekali bagi asing.

Ekonom Harvard K. School Muhammad Chatib Basri menyarankan, Indonesia memperkuat ekonomi domestik. Dia berharap, pasar tidak khawatir berlebihan atas ketidakpastian ekonomi akibat China dan The Fed. “Untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global, maka yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah memperkuat ekonomi domestiknya,” kata mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada KONTAN, Rabu (20/1).

Langkah pemerintah untuk mendorong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sembari membangun proyek infrastruktur, menurut dia, sudah tepat.

Namun, dalam jangka waktu pendek, belanja pemerintah harus mampu mendorong daya beli melalui konsumsi rumah tangga sesegera mungkin. Misalnya dengan program cash transfer atau proyek padat karya.

Atau juga, dengan memastikan setiap perusahaan tidak melakukan PHK terhadap karyawannya. Selain itu, pemerintah juga dituntut untuk bisa mengelola ekspektasi pasar.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×