kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Membaca akrobatik politik penguasa gedung Senayan


Jumat, 18 Juli 2014 / 19:38 WIB
Membaca akrobatik politik penguasa gedung Senayan
ILUSTRASI. Obligasi Negara.


Reporter: Yudho Winarto, Agus Triyono, Risky Widia Puspitasari | Editor: Yudho Winarto

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mempertunjukkan tingkah laku yang menyedihkan di akhir masa jabatannya. Alih-alih berusaha merespon kritik masyarakat atas kinerjanya dan tingkat kepercayaan yang kian terus menurun, para politis Senayan ini malah berakrobat demi dirinya sendiri.

Aksi ini dimulai dengan merevisi Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dan, tidak sampai tahun pembahasan, persis di tengah perhatian publik pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) 2014, DPR langsung mengesahkan revisi UU MD3.

Pengesahan ini sendiri diwarnai dengan aksi walk out tiga fraksi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Ketiga anggota partai ini menampik pengesahan UU MD3 lantaran ketua DPR akan datang dipilih dengan suara terbanyak. Padahal, selama ini, kursi ketua DPR selalu diberikan kepada partai pemenang pemilihan umum.

Jadi wajar bila PDIP menampik pengesahan itu. Maklum, partai berlambang banteng gemuk ini meraih suara terbanyak pada pemilihan legislatif lalu.

Bukan hanya tiga partai itu saja yang menolak pengesahan revisi UU MD3. Para penggiat anti korupsi termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga kecewa dengan undang-undang baru itu. Mereka berencana mengajukan uji materi atas undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi.

Mengapa? Penyebabnya karena undang-undang yang baru disahkan itu memberikan sejumlah keistimewaan bagi anggota DPR. Jadi tak heran apabila para anggota DPR ini begitu bersemangat mengesahkan undang-undang tersebut.

Melalui UU MD3 yang baru, DPR menambah kewenangannya tanpa menyediakan ruang pengawasan. Selain itu, tidak terlihat pula kesungguhan DPR untuk bersikap transparan dan akuntabel. DPR menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja (anggotanya) dan melaporkan kepada publik.

Tidak hanya itu, kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan (sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009) turut dihapus. DPR juga masih akan mempertahankan berlangsungnya rapat-rapat tertutup.

Dan masih ada lagi pasal-pasal yang pada akhirnya mengundang polemik, diantaranya:

1. Tren penambahan kewenangan MPR

Koordinator Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan, jika diamati sejak UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) hingga UU MD3 yang baru (sebagaimana yang disahkan pada 8 Juli 2014), ada kecenderungan penambahan kewenangan MPR. Sebagian besar penambahan kewenangan praktis hanya untuk kepentingan sosialisasi dan ini tentu saja akan berdampak pada pembengkakan anggaran.

UU 22/2003  UU 27/2009  RUU MD3  UU MD3

    Pasal 11:

  1. Mengubah dan menetapkan UUD 1945
  2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden
  3. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan MK untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik
        Pasal 4 +

Memasyarakatkan 4 (empat) pilar
Wacana yang sempat muncul: MPR periode mendatang diberi tugas melakukan pengkajian terhadap pelaksanaan UUD 1945 

Pasal 11:

  1. Mengubah dan menetapkan UUD 1945
  2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden
  3. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan MK untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik
      Pasal 4 + Pasal 4A

MPR mempunyai tugas memasyarakatkan ketetapan MPR yang masih berlaku

+ Pasal 4B

MPR menyelenggarakan sidang setiap tahun pada tanggal 18 (delapan belas) Agustus untuk mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI

Wacana yang sempat muncul:

Pemberian kewenangan kepada MPR untuk menyelengarakan forum penyampaian laporan pertanggungjawaban lembaga negara

  1. Mengubah dan menetapkan UUD 1945
  2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden

1. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan MK untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden

Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik

        Pasal 4 + Pasal 5

MPR bertugas:

  1. memasyarakat kan ketetapan MPR;
  2. memasyarakat kan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
  3. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



Selama periode tahun 2010 sampai dengan 2014, alokasi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang telah digelontorkan untuk mendanai lembaga MPR, DPR dan DPD mencapai Rp16,38 trilliun. Lembaga DPR telah menghabiskan sekitar 68,15% atau Rp 11,48 trilliun,lembaga DPD sebesar 16,53% atau Rp 2,70 trilliun dan lembaga MPR sebesar 15,32% atau Rp2,51 trilliun.

"Dari total Rp 16,38 triliun tersebut, bila dibagi merata kepada 692 anggota dewan yakni 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD maka uang negara yang dikeluarkan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan fungsi setiap anggota dewan setara dengan Rp 4,73 milliar/tahun atau biaya per bulan sekitar Rp393,96 juta per anggota dewan," kata Roy.

2. Mekanisme pemilihan pimpinan DPR
Pengesahan RUU MD3 ini pun tak lepas dari nuansa politik yang kebetulan tengah panas sehubungan pilpres. Akibatnya salah satu pasal 84 soal pemilihan pimpinan DPR menjadi arena perebutan dua kubu pasangan capres.

Terlihat jelas pertarungan antara enam partai pengusung pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yakni Golkar, Demokrat, PKS, PPP, PAN dan Gerindra. Dengan kubu tiga partai pengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, yakni PDIP, PKB, dan Hanura.

Akhirnya, kubu Prabowo-Hatta lah yang memenangkan pertarungan ini. Dengan mendorong pengesahan pasal 84 dalam UU MD3 yang baru.

Dalam pasal tersebu, menyatakan DPR terdiri dari satu ketua dan empat wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Selanjutnya ditegaskan, pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap. "Berbeda dengan UU sebelumnya yang mana ketua DPR milih pemenang pileg," ujar Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso

Substansi perubahan ini bertolak belakang dengan Pasal 82 UU sebelumnya yang menghendaki pimpinan DPR berasal dari parpol berdasar urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. Bahkan, untuk ketua DPR ditegaskan berasal dari parpol peraih kursi terbanyak pertama di DPR.

"Saya sangat menyesalkan, bahwa bukan kita semakin dewasa tetapi karena kepentingan sesat pilpres. Saya protes draf UU ini karena tidak bawa perbaikan, justru mudaratnya banyak. Tunggu pilpres skesai agar suasananya lebih bagus," kata politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari.

Pakar hukum tata negara Saldi Isra menyebutkan, pengesahan menyangkut pemilihan pimpinan DPR ini tidak lepas dari polarisasi kekuatan parpol pendukung capres. Tidak heran jika pada akhirnya mengundang kecurigaan. "Tak terlalu berlebihan jika PDIP menjadi pihak paling dirugikan," jelasnya.

Saldi melihat upaya akrobatik mengubah mekanisme tidak berhenti pada posisi pimpinan atau ketua DPR saja. Tetapi lebih jauh dalam konteks hubungan DPR-Presiden lima tahun mendatang.

Dan kian ketara setelah koalisi Merah Putih mendeklarasikan sebagai koalisi permanen 14 Juli lalu. Jika akhirnya, pasangan Jokowi-JK menduduki posisi R1. Bisa jadi, koalisi ini potensial mematrikan suasana tegang relasi DPR-Presiden lima tahun ke depan.

3. Keterwakilan perempuan

Dihapusnya ketentuan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang pimpinan Alat Kelengkapan DPR (AKD) merupakan sebuah kemunduran dalam mendorong peran anggota legislatif perempuan pada posisi strategis di parlemen. Padahal pada periode 2014-2019 jumlah anggota DPR perempuan mengalami penurunan. Bukannya membuat kebijakan yang mampu menambal situasi tersebut, DPR justru menghambat kiprah perempuan dalam bidang politik.

4. Hak imunitas

Dalam UU MD3 yang baru kian memberikan kekebalan terhadap anggota DPR, sebagaimana tercantum dalam Pasal 224. Sebut saja ketentuan ayat (4) berpotensi mengancam anggota DPR yang kritis terhadap situasi maupun kebijakan di internal DPR, khususnya jika ada penyalahgunaan fungsi, wewenang, dan tugas dalam rapat tertutup DPR.

Ketentuan ayat (5) menimbulkan kompleksitas dalam menentukan tafsir dan batasan terhadap definisi pelaksanaan tugas dan wewenang. Akibatnya, kompleksitas itu sendiri akan menyulitkan Mahkamah Kehormatan dalam menentukan ada atau tidaknya hubungan (dugaan anggota DPR melakukan tindak pidana) dengan pelaksanaan tugas dan wewenang. Selain itu, posisi Mahkamah Kehormatan yang tidak independen akan menjadikan penilaiannya sangat subyektif dan mengalami konflik kepentingan.

5. Penyidikan

Selain tidak sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum, syarat izin persetujuan dari Mahkamah Kehormatan seharusnya tidak perlu karena dikhawatirkan dalam waktu 30 hari, sebagaimana batas waktu keluarnya izin tertulis, dapat berpotensi menjadi celah bagi penghilangan alat bukti atau melarikan diri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 245.

6. Mahkamah kehormatan

Dalam Pasal 224, mengatur adanya Mahkamah Kehormatan. Dalam konteks tugas dan wewenang, keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan dibandingkan Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik, keberadaan Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan.

7. Hilangnya BAKN dari AKD

Dengan tidak adanya BAKN dalam alat kelengkapan DPR, menjadikan fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menjadi tidak tajam dan elaboratif. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya badan khusus yang bertugas melakukan telaah terhadap hasil audit BPK, yang kemudian dilekatkan menjadi tugas dan wewenang Komisi. "Padahal kita tahu, Komisi selama ini tidak pernah menindaklanjuti rekomendasi dari BAKN berdasarkan telaah hasil audit BPK," kata Roy Salam.

8. Hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan

Pasal 80 huruf j menyatakan bahwa anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Sayangnya, tidak ada secara eksplisit keberadaan pengaturan tentang dana aspirasi, termasuk dalam naskah Penjelasan RUU MD3.

Hal ini yang kemudian mengundang pertanyaan yang dimaksud dengan program pembangunan daerah pemilih dengan dana aspirasi yang sempat mengemuka. Roy menjelaskan dengan adanya pasalnya ini lagi-lagi alokasi anggaran anggora parlemen sudah pasti bakal meningkat. "Tampa dibarengi kinerja yang baikm," kata Roy.

Roy menambahkan Peningkatan anggaran terbesar berada di MPR secara signifikan naik 42% tiap tahun. Padahal lembaga majelis ini anggotanya berasal dari DPR dan DPD. Sementara anggaran DPR peningkatannya tiap tahun sebesar 17% pertahun dan anggaran DPD naik 21% tiap tahun.

Pada akhirnya, sekian banyak catatan ini tak heran upaya mengajukan uji materi UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) mulai mencuat. Ancaman ini datang dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk PDIP yang merasa dirugikan atas UU MD3 yang baru ini.

Tapi intinya, berharap pada wajah DPR yang baru (periode 2014-2019) untuk inisiatif merevisi UU MD3 terutama menghapus dari jejak pertarungan pilpres 2014. Tidak terbelenggu pada kepentingan jangka pendek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×