kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Kawasan khusus terganjal kasus (1)


Senin, 02 April 2018 / 19:02 WIB
Kawasan khusus terganjal kasus (1)
ILUSTRASI. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, NTB


Reporter: Havid Vebri, Merlinda Riska, Ragil Nugroho | Editor: Mesti Sinaga

Dua belas kawasan ekonomi khusus (KEK) ternyata masih belum cukup buat pemerintah. Apalagi, dari 12 kawasan istimewa tersebut belum ada kawasan khas untuk sektor pendidikan.

Rapat tingkat menteri pun digelar untuk membahas pembentukan KEK yang bergerak di sektor pendidikan, Rabu (21/2) lalu, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Kawasan khusus yang bakal bercokol di daerah Tangerang, Banten, ini kelak secara khusus akan menarik universitas-universitas ternama dari luar negeri untuk mau membuka cabang di Indonesia.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan, dengan kehadiran perguruan tinggi asing di KEK seluas 30 hektare ini, kualitas pendidikan Indonesia bisa semakin baik. “Nanti, usulan ini kami sampaikan ke Presiden agar kami diberi arahan,” kata Nasir usai rapat.

Jelas, usulan ini bakal menambah panjang daftar usulan KEK baru. Setidaknya, sudah ada tujuh usulan KEK anyar yang statusnya menunggu penetapan pemerintah. Sebut saja, Kuala Tanjung di Sumatra Utara, Pulau Asam Karimun (Kepulauan Riau), Merauke  (Papua), Melolo (Nusa Tenggara Timur), Kawasan Pariwisata Bangka, dan Nongsa (Batam).

Sejatinya, ambisi pemerintah menambah KEK menjadi ironis. Bagaimana tidak? Dari 12 KEK yang ada saja, masih banyak yang belum beroperasi. Yang resmi beroperasi baru empat: KEK Sei Mangkei di Sumatra Utara, KEK Tanjung Lesung (Banten), KEK Palu (Sulawesi Tengah), dan KEK Mandalika (Nusa Tenggara Barat).

Selebihnya, delapan KEK masih menghadapi banyak kendala untuk bisa beroperasi, mulai kesiapan lahan, infrastruktur kawasan, perangkat administrasi, hingga sumber daya manusia. Padahal, setiap pengelola KEK hanya punya waktu tiga tahun untuk menuntaskan pembangunan kawasan sampai siap beroperasi.

Kinerja mereka dipantau oleh Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui evaluasi tahunan. Bila hasil evaluasi di tahun ketiga KEK belum siap juga, Dewan Nasional KEK bisa mengambil beberapa kebijakan. Pertama memberikan perpanjangan waktu maksimal dua tahun.

Kedua, melakukan perubahan luas wilayah atau zona. Ketiga, melakukan penggantian badan usaha. Keempat, mengusulkan pembatalan dan pencabutan status KEK.

“Jika tiga tahun tak selesai, pengusul bisa minta diperpanjang. Tapi, kami evaluasi dulu progresnya bagaimana,” kata Wahyu Utomo, Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian.

Wahyu yang juga Ketua Tim Pelaksana Dewan Nasional KEK mengungkapkan, persoalan utama yang menghambat pengembangan KEK adalah lahan. Klasik, memang.

Para pengusul yang mayoritas pemerintah daerah (pemda) bukanlah pemilik lahan yang diusulkan menjadi wilayah KEK. Mayoritas lahan itu bersinggungan dengan tanah milik warga atau badan usaha tertentu. Alhasil, pembebasan lahan pun menjadi tersendat.

Kondisi ini dialami mayoritas KEK yang sampai sekarang belum kunjung beroperasi. Ambil contoh, KEK Bitung di Sulawesi Utara, KEK Tanjung Api-Api (Sumatra Selatan), dan KEK Morotai (Maluku Utara).

Terancam dicabut

Menko Perekonomian Darmin Nasution bahkan sempat menjatuhkan ultimatum, bila persoalan lahan tidak kunjung selesai, maka status KEK di daerah itu akan dibatalkan dan dicabut. “Saya perpanjang waktu hingga satu tahun. Kalau perlu, jika tidak ada perkembangan, ya, berhentikan saja jadi KEK,” tegas Darmin.

Saat ini, menurut Wahyu, pemerintah sudah memberikan perpanjangan satu tahun untuk KEK Tanjung Api-Api, Bitung, dan Morotai. Setelah itu, pemerintah akan melakukan evaluasi kembali. Jika tak kunjung ada kemajuan, opsinya bisa memperkecil cakupan luas wilayah KEK atau menurunkan statusnya jadi kawasan industri.

Pilihan lainnya: mengalihkan KEK kepada swasta. “Sementara ini tidak dicabut. Bila dicabut, citra kita jelek dan investor pada kabur,” kata Wahyu

Sekretaris Dewan Nasional KEK Enoh Suharto Pranoto menjelaskan, tarik ulur masalah lahan menyebabkan tersendatnya penerbitan hak pengelolaan (HPL). “Lahannya sebetulnya sudah ada, tapi sertifikasinya masih ada yang mengklaim di pengadilan,” sebuh Enoh.

Contoh, KEK Bitung. Sampai saat ini, di kawasan yang masuk zona kawasan khusus itu masih ada persoalan sengketa lahan seluas 92,6 hektare (ha) dengan warga setempat.

Menurut Enoh, keputusan pengadilan sebetulnya menyatakan tanah tersebut milik negara dan statusnya bisa dikelola oleh provinsi. “Tapi, dalam dua minggu, ada banding lagi di pengadilan. Jadi, kalau seperti itu terus, maka akan habis waktu,” jelasnya.

Buntut belum jelasnya persoalan tanah ini, investor pun menjadi gamang menanamkan dananya di KEK Bitung. Padahal, Enoh mengklaim, ada 17 investor yang berminat investasi di wilayah itu.

Dewan Nasional KEK pun mengusulkan, agar tidak terlalu fokus pada lahan 92,6 ha yang masih sengketa tersebut. “Masih ada 400 ha lahan di wilayah itu yang bisa disiapkan,” tutur Enoh.

Sementara progres di tiga KEK lainnya sudah lebih maju. Kendati proses pembebasan masih berlangsung, minimal sudah ada kejelasan lahan yang siap dipakai pada tahap pertama. Enoh bilang, pembebasan lahan di Tanjung Api-Api sudah 200 ha dan di Maloy mencapai 500 ha. Begitu juga pembebasan di Morotai sudah 200 ha.

Sekretaris Daerah Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) Nasrun Umar mengakui, proses pembebasan lahan KEK Tanjung Api-Api masih berlangsung sampai  sekarang.

Untuk mempercepat proses tersebut, akhir tahun lalu Pemprov Sumsel sudah membentuk BUMD bernama PT Sriwijaya Mandiri Sumsel (SMS). “Alhamdulillah total lahan yang sudah dibebaskan sekitar 77%,” klaimnya.

Tanggungjawab Utama Ada di Pundak Pengusul

PEMERINTAH telah menetapkan 12 kawasan ekonomi khusus (KEK). Namun, realisasi investasi di kawasan tersebut belum maksimal. Berly Martawardaya, Ekonom Universitas Indonesia, mengatakan, ada banyak persoalan yang menghambat pengembangan KEK. “Persoalan lahan memang menjadi persoalan utama,” ujarnya.

Menurut Berly, masalah lahan KEK ini seharusnya menjadi tanggungjawab utama pemerintah daerah (pemda). Sebab, mayoritas usulan KEK selama ini datang dari pemda, walaupun ada juga sebagian badan usaha milik daerah (BUMD) dan swasta. “Jadi, perlu dicek lagi komitmen pemda bagaimana,” kata dia.

Perlu juga, mengecek dari mana pemda atau pihak pengusul bisa memastikan mampu menyediakan lahan seluas itu buat KEK.

Toh, ia tidak setuju bila ke depan hanya BUMD atau perusahaan swasta yang boleh mengusulkan status KEK ke pemerintah pusat, dengan alasan ketersediaan lahannya lebih terjamin. “Selama ini, sebenarnya banyak juga pemda yang bisa menyediakan lahan buat proyek infrastruktur,” ujar Berly.

Menjawab persoalan lahan ini, Berly menyarankan, pemerintah memang harus mempercepat program sertifikasi. “Kalau sudah disertifikasi, kan, enak mau dimanfaatkan buat apa karena statusnya kuat,” ucap dia.

Bhima Yudistira Adhinegara, pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan, KEK belum bisa maksimal menarik investor lantaran masih banyak kendala.

Pertama, banyak regulasi masih tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah. Soalnya, belum ada harmonisasi antara pusat dan daerah terkait fasilitas serta perizinan.

Kedua, konektivitas kawasan ekonomi khusus dengan pelabuhan masih terkendala infrastruktur yang belum optimal. “Di Sei Mangkei sudah ada perusahaan multinasional mengeluh minimnya konektivitas pabrik dan pelabuhan,” ujarnya.

Ketiga, pemerintah harus melihat potensi bahan baku yang menunjang industri tersebut. Di beberapa kawasan, pelaku industri kesulitan mendapat bahan baku. Di Sei Mangkei, harga gas masih mahal dan biaya operasional lebih besar.

Sementara di KEK sektor pariwisata, kekurangan tenaga kerja masih jadi ganjalan utama para investor. Menurut Bhima, ketimbang menambah daftar KEK baru, baiknya pemerintah memaksimalkan kawasan yang sudah ada.

Berikutnya: "Jurus baru untuk problem lama"

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 26 Februari - 4 Maret 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut:  "Masalah Klasik yang Bikin Habis Waktu"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×