kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45997,15   3,55   0.36%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Amunisi Indonesia di tengah ketidakpastian global


Rabu, 11 Januari 2017 / 17:09 WIB
Amunisi Indonesia di tengah ketidakpastian global


Reporter: Adinda Ade Mustami, Rizki Caturini | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Banyak pihak cukup optimistis memandang perekonomian dunia di tahun 2017. Riset Bank Dunia yang dirilis Selasa (10/1) menunjukkan ekspektasi perbaikan ekonomi global. Ekonomi negara-negara maju bisa naik tipis menjadi 1,8% di 2017. Stimulus fiskal yang bergulir di negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar seperti AS diprediksi bisa menciptakan percepatan pertumbuhan domestik dan global. 

Ekonomi negara-negara berkembang secara umum diperkirakan bisa tumbuh menjadi 4,2% di tahun ini dari 3,4% di 2016 di tengah sentimen kenaikan harga-harga komoditas dunia. Namun, prospek pertumbuhan ekonomi ini diselimuti pula oleh ketidakpastian kebijakan ekonomi di negara-negara maju seperti AS. Ketidakpastian kebijakan ekonomi global yang berlarut-larut bisa menyebabkan tersendatnya aktivitas investasi di berbagai negara. 

Perlambatan investasi ini telah terlihat beberapa tahun terakhir di negara-negara berkembang, yang berkontribusi sekitar sepertiga PDB dunia. Pertumbuhan investasi turun 3,4% di 2015 dari 10% secara rata-rata di 2010. Dan kemungkinan penurunan pertumbuhan investasi di 2016 kembali terpangkas sebanyak 0,5%.   

Kondisi tersebut menunjukkan efek dari krisis yang cukup berat di tahun-tahun belakangan. Ini juga merefleksikan banyaknya tantangan yang dihadapi negara berkembang seperti melemahnya harga komoditas, investasi asing yang melambat, dan lebih luas lagi beban utang swasta yang meningkat serta risiko politik. 

Di antara negara-negara maju, ekonomi AS diperkirakan tumbuh 2,2% di tengah ekspektasi perbaikan iklim investasi dan manufaktur yang melambat di 2016. Stimulus fiskal dan inisiatif kebijakan yang ditempuh AS diharapkan bisa berefek positif pada ekonomi global. 

"Karena peran AS di perekonomian dunia itu besar, perubahan arah kebijakan mungkin akan berefek ke ekonomi global. Kebijakan fiskal AS yang ekspansif bisa mengerek pertumbuhan di dalam negeri AS dan juga global dalam jangka dekat. Namun, perubahan kebijakan di bidang perdagangan dan kebijakan lainnya bisa menjadi sandungan," ujar World Bank Development Economics Prospects Director Ayhan Kose dalam riset. 

Terkecuali China, ekonomi di negara-negara Asia Timur dan Asia Pasifik berpotensi tumbuh 5% di 2017. Adapun Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,3% berkat peningkatan investasi swasta yang masuk. Prediksi itu dipertahankan dari proyeksi Bank Dunia sebelumnya pada Juni 2016.

Sementara Pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2017 sebesar 5,1%, stabil dari pertumbuhan ekonomi tahun 2016 yang diperkirakan 5%-5,1%.

Pengetatan kebijakan pemerintah termasuk Indonesia yang telah dijalankan sebelumnya membantu meningkatkan kepercayaan pasar. Sehingga tekanan pada nilai tukar mata berkurang dan memungkinkan pemerintah menjalankan pelonggaran kebijakan. 

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo bilang, BI akan terus memantau perkembangan global terutama usai sumpah jabatan yang dilakukan Donald Trump sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2017, serta rencana kebijakan fiskal oleh Amerika Serikat ke depan.

Dari sisi domestik, perbaikan-perbaikan data ekonomi Indonesia terjadi di akhir tahun. Di antaranya inflasi Desember 2016 yang tercatat 3,02% year on year (yoy), terendah sejak 2009 silam. Lalu realisasi fiskal 2016 yang baik yang ditunjukkan oleh defisit anggaran yang terjaga di level 2,46%.

Realisasi belanja pegawai, barang, dan modal yang lebih dari 85% menunjukkan daya dorong fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi akhir tahun lalu cukup besar. Selain itu, perbaikan juga ditunjukkan oleh pertumbuhan kredit yang naik 9% (yoy) dan dana pihak ketiga yang mendekati 9% (yoy) di akhir tahun.

"Kalau lihat kondisi di dalam negeri tentu saja dengan melihat kondisi yang kondusif tadi stance dari suku bunga masih bisa ada sedikit ruangan. Tetapi kami kalibrasi dengan masalah kenaikan administered prices," katanya.

Tekanan inflasi administered prices tahun ini yang berasal dari kenaikan tarif dasar listrik sebagai konsekuensi dari pencabutan subsidi listrik berdaya 900 volt ampere (VA) dan 450 VA serta kenaikan elpiji tiga kilogram (kg).

Risiko kredit

Dalam riset anyar Moody's Investors Service yang juga dirilis Selasa (11/1), menunjukkan risiko kredit yang relatif stabil di kawasan Asia Pasifik pada tahun ini. Kenaikan tingkat pendapatan dan kinerja perusahaan yang lebih kuat di 2017 menjadi penyokong profil risiko kredit. 

Meskipun pertumbuhan PDB di kawasan ini relatif kuat, namun aktivitas ekspor impor yang kurang greget serta risiko arus dana asing yang keluar dari emerging market bakal jadi batu sandungan. Potensi peningkatan suku bunga AS yang lebih cepat dari ekspektasi pasar bisa membuat arus dana asing keluar dari emerging market secara tiba-tiba.  

Efek langsung akibat perubahan aliran dana itu paling terasa ketika pendanaan digunakan untuk menutupi rekening giro atau untuk pembayaran utang. Indonesia termasuk negara yang memiliki risiko cukup tinggi dengan adanya potensi aliran keluar dana asing secara tiba-tiba tersebut. 

Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap dana asing tecermin dalam imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) Indonesia bertenor 10 tahun mencatatkan level tertinggi di kawasan Asia. 

Data Bloomberg per 5 Januari 2017, yield obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun mencapai 7,64%. Ini melampaui yield obligasi bertenor sama milik pemerintah Malaysia sebesar 4,21%, Filipina 4,19%, Singapura 2,47% dan Thailand 2,65%.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, tingkat yield SBN dipengaruhi oleh besarnya pasar SBN dan volatilitas nilai tukar. Dia juga menduga, tingginya yield Indonesia lantaran adanya kebutuhan mendesak pemerintah, khususnya strategi front loading yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan belanja di tahun ini. Pemerintah memang ingin menerbitkan sekitar 60% obligasinya di semester pertama 2017.

Menurut Lana, pemerintah selalu bermasalah dengan arus kas di awal tahun lantaran penerimaan pajak baru masuk di akhir April setelah pelaporan surat pemberitahuan (SPT) wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Sementara kebutuhan belanja sudah ada sejak 1 Januari.

Tingginya yield obligasi pemerintah juga menyebabkan terjadinya tarik menarik likuiditas antara pemerintah dan perbankan. "Oleh karena itu, harapannya penerimaan pajaknya bisa lebih tinggi agar tidak tergantung dengan utang," tambah Lana.

Racikan kebijakan ekonomi untuk menjawab tantangan jangka pendek dan juga untuk mencapai perbaikan di jangka panjang juga menjadi kunci Moody's untuk melihat risiko kredit di tahun ini. Ini yang membuat Moody's menyematkan peringkat beragam di negara-negara kawasan Asia Pasifik. Seperti Indonesia dan India misalnya saat ini berada di level Baa3 dengan outlook stabil. Adapun Filipina berada di level Baa2 stabil. 

Sejumlah ekonom optimistis Indonesia masih menjadi tempat yang cukup menjanjikan bagi investor asing untuk memarkir dana. Hal ini disebabkan karena kondisi fundamental ekonomi serta kestabilan sosial politik Indonesia yang dinilai lebih baik ketimbang negara emerging market lainnya. 

Senior Advisor Bursa Efek Indonesia, Poltak Hotradero mengatakan, saat ini pesaing terdekat Indonesia di dalam kelompok emerging market adalah India. Namun, menurutnya, saat ini India dalam persoalan triple defisit, yaitu terjadi defisit pada neraca perdagangan, defisit anggaran belanja pemerintah, dan defisit pada transaksi berjalan. 

Hal itu juga ditambah dengan kondisi perbankan yang dinilai lebih amburadul. “Di saat emerging market lain outflow. Indonesia berbeda. Investor keluar dari emerging market lain tapi di Indonesia bertahan atau malah bertambah,” ujar Poltak.

Chief Equity Strategist Deutsche Bank Heriyanto Irawan menambahkan, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) Indonesia bisa dikendalikan pada level 2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). "CAD saat ini di Indonesia sudah sangat membaik. Asing kaget kalau CAD kita negatif, tapi negatifnya bukan karena ekspor impor kita negatif. Ekspor impor Indonesia good balance. Beda dengan kondisi di India,” katanya.    

Pada tahun ini sejauh kondisi politik tidak sampai mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah sehingga membuat ekonomi memburuk dan berisiko membuat pembalikan arah arus dana asing, tampaknya peningkatan risiko utang negara di kawasan tidak besar.   

  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×