kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Gelontoran program sosial, demi ekonomi atau citra? (3)


Rabu, 04 Oktober 2017 / 16:02 WIB
Gelontoran program sosial, demi ekonomi atau citra? (3)


Sumber: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

Biar Bantuan Tidak Salah Tujuan

Wandi, seorang buruh di pabrik soun di Cirebon, mengeluh. Beberapa minggu lalu, ia memperoleh dana Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp 1 juta dari pemerintah.

Dana yang didapat Wandi itu merupakan program bantuan dari pemerintah ke masyarakat tidak mampu yang berlangsung sejak 2007 silam. Yang membuat Wandi kesal, tak lama berselang wakil dari Rukun Tetangga di tempatnya menagih uang administrasi sebesar Rp 100.000.

Mungkin masih banyak Wandi lain yang bernasib serupa. Yang jelas, berbicara subsidi dan bantuan sosial, maka rezim yang berkuasa di negeri ini sudah mencoba berbagai upaya.

Saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden, kita mengenal metode bantuan tunai. Nah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemas skema bantuan dengan non-tunai. Namun lagu klise kembali berdendang, bantuan itu dinilai belum juga tepat sasaran. Lalu apa lagi strategi pemerintah supaya kebocoran tidak terjadi?

Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu), Askolani, mengungkapkan hal paling mendesak yang sedang dilakukan pemerintah adalah memperkuat basis data.

Upaya nyatanya adalah memperkuat dan memperbaiki data dari Badan Pusat Statisik (BPS) dan kementerian. Ia bilang, basis data diperlukan untuk menentukan profil penerima bantuan, sasaran yang akan dicapai serta mekanisme penyaluran yang terbaik.

Senada dengannya, Kunta W.D Nugraha, Direktur Penyusunan APBN Kemkeu mengungkapkan bahwa penguatan data memang agenda prioritas. Pekerjaan itu sudah mulai dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan melakukan survei nasional secara mendalam pada tahun 2015.

Hasilnya? BPS memiliki 40% data orang-orang miskin yang bisa menggambarkan data keseluruhan orang miskin di Indonesia. “Namun tetap harus dilakukan validasi dan verifikasi,” ujar Kunta.

Kunta bilang, berdasarkan evaluasi pemerintah sebelumnya, skema penyaluran yang dianggap paling tepat sasaran adalah PKH dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan pra-syarat. “Bahkan oleh Bank Dunia kita juga dipuji,” ujar dia.

Dalam program PKH, memang ada banyak data pembanding. Misal, nama anak harus tercantum di daftar absensi sekolah. Lalu, harus jelas di sekolah mana si anak terdaftar.  Atau, untuk keluarga miskin, si ibu hamil harus ketahuan mengontrol kesehatannya ke puskesmas mana.

Andi ZA Dulung, Dirjen Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial (Kemsos), optimistis pemerintah mampu segera menyelesaikan basis data. Ia bilang, India dengan penduduk sekitar 1,2 miliar saja bisa memiliki basis data yang mumpuni. “Mereka menyelesaikannya dalam waktu kurang lebih lima tahun,” ujarnya.

Data juga yang menjadi syarat mutlak agar Kemsos lebih siap dalam menyikapi penambahan jumlah penerima PKH. Saat ini, pemerintah pusat meminta pemerintah daerah untuk mengumpulkan data di rentang waktu 2015 hingga 2017. “Walau kita sadar, data penduduk itu sangat dinamis dan sangat cepat berubah,” tutur Andi.

Terkait perkembangan bantuan sosial, selama ini dana bantuan ditransfer ke rekening penerima oleh bank milik pemerintah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Pertanyaan yang kerap muncul, apakah dana ini tidak rawan disalahgunakan si penerima? Andi menyebut, kemungkinan itu kecil karena pencairan dana tidak bisa di sembarang tempat.

Bagi yang masih membandel juga sudah ada ancaman berupa pencabutan bantuan. “Tapi memang praktiknya masih saja ada yang melanggar,” ujarnya.

Ke depan, Kemsos juga sedang mengkaji untuk menggunakan teknologi finansial (tekfin) untuk memaksimalkan penyaluran bantuan. Kendala mungkin timbul di pedesaan yang kebanyakan penduduknya belum melek teknologi.

Harry Hikmat, Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial (Kemsos) mengungkapkan salah satu upaya pemerintah untuk memastikan bantuan mengalir ke tangan yang tepat adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai.

Mekanisme penyaluran bantuan sosial secara non tunai bertujuan memastikan bantuan dapat tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat administrasi.

Hal ini dapat terjadi, karena seluruh bantuan sosial disalurkan melalui bank. Sistem perbankan menjadikan bantuan sosial mudah dikontrol, dapat dilakukan monitoring real time dan konsolidasi bantuan secara cepat.

Selain itu, penyaluran secara non-tunai juga merupakan upaya pemerintah dalam melakukan integrasi seluruh bantuan sosial ke dalam satu sistem. Seluruh penerima manfaat akan memperoleh Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang berfungsi layaknya kartu ATM sehingga penerima manfaat dapat mengakses layanan perbankan.

Seluruh bantuan sosial dapat diintegrasikan ke dalam satu layanan tersebut. Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), misalnya, berfungsi sebagai kartu kombinasi yang merupakan media penyaluran bansos dan subsidi dengan menggunakan kartu yang dikeluarkan perbankan.

Berbasis tabungan dimana data penerima akan terekam dalam kartu tersebut. “Fungsinya sebagai kartu tabungan dan dompet (e-wallet) untuk belanja dari alokasi kuota,” ujar Harry.

Terkait pengawasan di lapangan, Harry bilang sinkronisasi menjadi kunci. Nantinya, kartu tersebut akan terhubung dengan Basis Data Terpadu (BDT) seperti Nomor Induk Keluarga (NIK), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Indonesia Pintar (PIP).  Kemudian ada dashboard untuk memantau pemenuhan kebutuhan anggota PKH.

Lalu untuk menangani pelanggaran dibangun Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM), yang terintegrasi. Audit internal juga dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Sosial, dan audit dari lembaga pemeriksa lainnya seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Selain itu, pada PKH dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ada pendampingan insentif. Rasionya, satu orang penyuluh mendampingi 200 keluarga hingga 250 keluarga. “Berbeda dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang tidak ada pendampingan,” tegas Harry.

Dari sektor pertanian, juga muncul mekanisme penggunaan kartu tani untuk membuat penyaluran bantuan pupuk subsidi lebih tepat sasaran.

Nantinya kartu tani akan menjadi kartu multifungsi yang memuat informasi petani, lahan, informasi panen, kebutuhan sarana produksi pertanian (saprotan), maupun kartu debit untuk penerimaan tabungan, pinjaman, subsidi maupun bantuan.

Muhrizal Sarwini, Direktur Pupuk dan Pestisida Direktorat Jenderal Sarana Prasarana Kementerian Pertanian, meyakini upaya ini mampu meningkatkan efisiensi pemberian subsidi pupuk ke petani.

Ia bilang, mekanisme sebelumnya dengan pola Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) sebenarnya sudah cukup baik namun saat ini sedang diverifikasi lagi oleh penyuluh kemudian dimasukkan ke dalam kartu (digital).

“Sewaktu petani mau tebus pupuk, kartu digesek ke mesin Electronic Data Capture (EDC). Selanjutnya dashboard penyaluran pupuk harian dapat dimonitor oleh PT Pupuk Indonesia dan Kemtan,” ujarnya.

Koordinasi aparat

Untuk pengawasan di lapangan, pihaknya sudah bekerjasama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Muhrizal menceritakan beberapa waktu lalu ada upaya penyelewengan pengiriman pupuk subsidi di Kalimantan Barat (Kalbar). Namun karena dipantau aparat, upaya itu berhasil digagalkan.

Muhrizal juga menjamin bahwa si petani akan menggunakan pupuk tersebut sesuai kebutuhannya. Alasannya, dalam kartu tani sudah ada wallet khusus yang isinya kuota dan jika ditebus sesuai peruntukan maka akan berkurang. “Jadi petani bisa memesan sesuai kebutuhannya, namun bantuan ini tidak bisa diuangkan ya,” tegas Muhrizal.

Saat ini pihak Kemtan mengejar agar pendataan dan verifikasi RDKK berdasar nama dan alamat, bisa selesai mencakup seluruh Jawa pada akhir tahun. Harapannya, penebusan komplit di 2018 sudah bisa berjalan. Muhrizal yakin, jika pemerintah memiliki data yang kuat, maka bisa mengantisipasi pemberian pupuk salah sasaran.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menilai pemerintah lamban dalam menyelesaikan basis data.

Masalah ini adalah warisan dari rezim sebelumnya dan harusnya segera diselesaikan. Selama pemerintah tidak punya data yang valid, maka apapun mekanisme bantuannya tidak akan pernah efektif.

Enny juga mengkritik tidak adanya koordinasi dan sinkronisasi pemerintah dalam menyelesaikan kemiskinan. Anggaran tersebar di banyak kementerian namun tidak punya rencana jelas. Maka pemerintah disarankan membuat target, yang diikuti dengan program demi mencapai target tadi.

Bahkan Enny bilang, selama ini program pemerintah terkesan lebih memelihara kemiskinan daripada menguranginya. Harusnya, pemerintah fokus pada program penciptaan lapangan kerja, yang jelas lebih efektif mengurangi angka kemiskinan, ketimbang memberi bantuan.

Pasalnya penurunan angka pengangguran tak terlalu signifikan dari 7,15 juta di 2014 menjadi 7 juta, tahun ini.

Salah satu kebijakan bantuan yang dikritik adalah keputusan pemerintah mengubah sistem penyaluran bantuan sosial dari skema penyaluran rastra (beras sejahtera) secara langsung menjadi penyaluran sistem non tunai. Skema ini mengubah metode sistem penyaluran subsidi beras.

Sekarang, pemerintah menyalurkan beras harga murah, nantinya bantuan itu menjadi dana untuk belanja di tempat pembelian bantuan pangan non tunai yang telah disediakan atau ditunjuk.

Enny bilang, dengan pemberlakuan skema baru itu, seharusnya pemerintah menjamin ketersediaan sarana dan prasarana yang diperlukan di semua wilayah Indonesia. Rumah Tangga Sasaran (RTS) mestinya mudah mengakses rastra. “Harus ada sarana dan prasarana memadai,” ujarnya.

Bagaimana masyarakat yang di pedesaan dapat dijangkau oleh sistem non tunai ini kalau di sana belum ada mesinnya? Ini yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah.

Selain itu, sistem pemberian bantuan dengan sistem nontunai juga punya kelemahan karena berpotensi disalahgunakan. Alih-alih membeli produk pangan, si penerima bisa memakainya untuk kebutuhan lain. “Tidak ada yang mengontrol bila setelah uang bantuan non tunai ditukar dengan pangan, lalu produk pangan tersebut tidak dijual lagi,” ujar dia.

Penyelewengan Dana Bantuan Sosial (Bansos)

2010
Penyimpangan dana di 19 provinsi senilai Rp 765 miliar. Masuk tiga besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan potensi penyimpangan dana bansos sebesar Rp 173,7
miliar, Sumatra Utara sebesar Rp 148,44 miliar, dan di Jawa Timur ditemukan penyimpangan senilai
Rp 89,31 miliar.
        
2010
Pemprov NTT menindaklanjuti 1.761 kasus penyelewengan bansos dengan nilai Rp 12 miliar. Sedangkan yang belum ditindaklanjuti sebanyak 1.516 kasus dengan total nilai lebih dari Rp 15 miliar.
        
2011
Pemerintah Banten mengalokasikan anggaran bansos untuk tahun 2011 sebesar Rp 51 miliar. Akan tetapi dari 160 penerima dana bansos, Pemerintah Daerah Banten hanya mencantumkan 30 nama lembaga atau kepanitiaan dan tidak didukung oleh alamat yang jelas. Sisanya, sebanyak 130 penerima atau 81,3% penerima bansos, hanya ditulis “bantuan sosial daftar terlampir.”                
 

2015
Penyelewengan dana bansos dan hibah di Provinsi Banten untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2014–2015 sebesar Rp 378 miliar.        
        
Penyelewengan Dana Bantuan Sosial (Bansos)
2010
Penyimpangan dana di 19 provinsi senilai Rp 765 miliar. Masuk tiga besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan potensi penyimpangan dana bansos sebesar Rp 173,7
miliar, Sumatra Utara sebesar Rp 148,44 miliar, dan di Jawa Timur ditemukan penyimpangan senilai
Rp 89,31 miliar.
        
2010
Pemprov NTT menindaklanjuti 1.761 kasus penyelewengan bansos dengan nilai Rp 12 miliar. Sedangkan yang belum ditindaklanjuti sebanyak 1.516 kasus dengan total nilai lebih dari Rp 15 miliar.
        
2011
Pemerintah Banten mengalokasikan anggaran bansos untuk tahun 2011 sebesar Rp 51 miliar. Akan tetapi dari 160 penerima dana bansos, Pemerintah Daerah Banten hanya mencantumkan 30 nama lembaga atau kepanitiaan dan tidak didukung oleh alamat yang jelas. Sisanya, sebanyak 130 penerima atau 81,3% penerima bansos, hanya ditulis “bantuan sosial daftar terlampir.”                
2015
Penyelewengan dana bansos dan hibah di Provinsi Banten untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2014–2015 sebesar Rp 378 miliar.        
        
Sumber: ICW & FITRA

* Artikel ini berikut seluruh artikel terkait sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN, pada Rubrik Laporan Utama edisi 28 Agustus 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Biar Bantuan Tidak Salah Tujuan"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×