kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Faisal Basri: Menkeu bisa pening karena Jokowi


Rabu, 08 Maret 2017 / 08:02 WIB
Faisal Basri: Menkeu bisa pening karena Jokowi


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menilai, dua tahun pertama pemerintah Jokowi-JK, perekonomian dijalankan secara ugal-ugalan.

"Dua tahun pertama, Jokowi ini ugal-ugalan. Growth turun, tapi (target penerimaan) pajak dinaikkan luar biasa," kata Faisal dalam diskusi bertajuk Indonesia's Economic Outlook 2017, di Jakarta, Selasa (7/3) malam.

Faisal mengatakan, pada tahun 2015 pemerintah mematok target penerimaan pajak APBN-P sebesar Rp 1.489 triliun atau 29,8% dari realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.147 triliun.

Target yang hampir mencapai 30% itu, menurut Faisal, mustahil direalisasikan mengingat perekonomian masih melambat.

Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014 hanya 5,02%, melambat dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 5,58%. Bahkan kalaupun dilakukan extra effort, ia memperkirakan penerimaan pajak hanya tumbuh sekitar 11%.

Pada tahun 2016 pemerintah kembali mematok target penerimaan pajak APBN-P sebesar Rp 1.539 triliun atau 24,11% dari realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.240 triliun.

Target pertumbuhan 24,11% ini cukup ambisius melihat realisasi pertumbuhan ekonomi 2015 kembali melambat hanya mencapai 4,79% dan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah sejak 2009.

'Keugal-ugalan' yang diulang ini pun menyebabkan realisasi penerimaan pajak 2016 hanya mencapai Rp 1.284 triliun. Itu pun, kata Faisal, sudah memasukkan penerimaan dari pengampunan pajak yang sebesar Rp 103,3 triliun.

"Jadi kalau tanpa tax amnesty, penerimaan pajak 2016 hanya Rp 1.180,7 triliun, turun 4,78% dibandingkan realisasi 2015," kata Faisal.

Tahun 2017, tax amnesty sudah berakhir. Pemerintah pun mencoba mengoreksi target penerimaan pajak dalam APBN 2017.

"Seolah-olah konservatif, penerimaan dan belanja sama-sama turun. Tetapi ternyata, masih agak ugal-ugalan," kata Faisal.

Hal itu ia lihat dari sisi belanja yang tidak mempertimbangkan kemampuan anggaran. Misalnya, untuk proyek kereta cepat ringan atau light rapid transit (LRT), perusahaan pelat merah disuruh membangun terlebih dahulu baru memikirkan pendanaanya kemudian.

Dia pun menyarankan agar PT Kereta Api Indonesia, yang menjadi salah satu konsorsium, tidak terlalu berharap pada Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 4 triliun, sebab sejauh ini belum dianggarkan dalam APBN 2017.

Entah akan dianggarkan dalam APBN Perubahan atau tidak. Memang kata Faisal, utang Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia relatif rendah.

Akan tetapi, jika waktunya mepet, maka pasar akan memberikan bunga tinggi dan bisa-bisa bunga utangnya lebih besar dibandingkan dengan belanja modal yang dibutuhkan.

"Lama-lama saya rasa Bu Sri Mulyani pening kepalanya. Karena rumusnya pak Jokowi, 'pokoknya'," kata Faisal. (Estu Suryowati)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×