kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45999,33   5,73   0.58%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Blok Masela menanti keputusan Istana


Senin, 21 Maret 2016 / 15:49 WIB
Blok Masela menanti keputusan Istana


Reporter: Dikky Setiawan, Febrina Ratna Iskana, Pratama Guitarra | Editor: Dikky Setiawan

​JAKARTA. Inpex Corporation gundah gulana. Perusahaan minyak dan gas (migas) asal Jepang tersebut hanya bisa pasrah. Pemerintah belum seirama memutuskan nasib pengembangan atau plan of development (POD) I Blok Masela.  

Pola pengembangan ladang gas di Maluku itu masih jadi kontroversi sejak lama. Pemantiknya adalah apakah Floating Liquefaction Natural Gas (FLNG) alias kilang akan dibangun di darat (onshore) atau di laut (offshore).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mendukung pembangunan fasilitas pengolahan di darat. Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said bersama SKK Migas menginginkan pembangunan dilakukan di laut sesuai rencana pengembangan yang dibuat oleh Inpex Corporation.

Alhasil, keputusan revisi rencana POD I Blok Masela menunggu ketuk palu dari istana. Presiden Joko Widodo telah menegaskan, final investment decision (FID) pengembangan Blok Masela diputuskan akhir 2018.

Perlu dicatat, yang dimaksud Presiden Jokowi adalah FID, bukan POD. Sejatinya, POD harus diputuskan pemerintah pada September 2015. Namun, hingga kini, keputusan POD tersebut belum juga keluar.

POD bertujuan untuk melihat tingkat keekonomian sebuah blok migas. Dengan disetujuinya POD, maka skema cost recovery muluar berlaku.

Artinya, semua biaya eksplorasi yang dilakukan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) akan diganti oleh negara melalui skema bagi hasil PSC (Production Sharing Contract).

Bagi pemerintah, POD adalah sebuah langkah penting pengambilan keputusan migas. Sebab, hal ini menyangkut pendapatan atau kerugian negara (akibat tidak ekonomis) selama masa pengelolaan blok migas.

Jika kepastian POD telah keluar, operator blok migas bisa bisa menyiapkan FID selama satu atau dua tahun. Jadi, jika FID Blok Masela diputuskan pemerintah pada 2018, maka pengelolaannya bisa dimulai pada 2020.

Namun, di tengah belum adanya kepastian soal POD Blok Masela, manajemen Inpex Indonesia telah mengeluarkan pernyatan mengejutkan.

Jika POD I tidak diputuskan secepatnya, Inpex mengkhawatirkan akan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya yang bekerja di Blok Masela.

Manager Communication and Relation Inpex Indonesia Usman Slamet mengatakan, pihaknya akan menyesuaikan kebutuhan pekerja.

"Artinya, jika POD belum diputuskan, kan tidak ada pekerjaan, kami menyesuaikan kebutuhanSumber Daya Manusia (SDM) dengan apa yang dikerjakan oleh perusahaan," kata Usman, Rabu pekan lalu (16/3).

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, dengan belum diputuskannya revisi POD I Blok Masela, maka INPEX Indonesia telah memutuskan untuk melakukan downsizing personil INPEX di Indonesia. 

Downsizing tersebut direncanakan hingga menjadi 40% dari total personil di Indonesia. "SKK Migas mengkhawatirkan hal ini akan dapat menimbulkan lay off," kata Amien di waktu yang bersamaan.

Menurut Amien, sebagi mitra operator inpex, Shell Indonesia juga menyebutkan bahwa CEO Shell telah meminta para engineer Shell di Belanda, Kuala Lumpur dan Jakarta, yang semula bekerja untuk proyek Masela segera mulai mencari pekerjaan baru di internal Shell global.

Jadi, kata Usman, Inpex Indonesia sebenarnya masih sangat mengharapkan keputusan persetujuan revisi POD dapat segera diberikan pemerintah secepatnya.

Kerugian negara

Namun, Inpex Indonesia juga menyatakan, jika keputusan tersebut diberikan saat ini dan pilihan sesuai rekomendasi SKK Migas, yaitu Offshore (FLNG) akan memiliki dampak tersendiri.

Salah satu dampaknya adalah jadwal FID proyek Masela yang bernilai investasi lebih dari US$ 14 miliar akan mundur lebih dari dua tahun, yaitu hingga akhir tahun 2020.

Saat ini, lanjut Usman, Inpex masih menunggu keputusan revisi POD yang sudah diserahkan. “Kami menunggu keputusan resmi revisi POD dari pemerintah agar kegiatan selanjutnya bisa segera dilanjutkan,” imbuhnya.

Berly Martawardaya, Ekonom INDEF sekaligus Dosen Ekonomi Energi dan Mineral di FE UI menilai, jika pemerintah terus menunda keputusan revisi POD I Blok Masela, bisa menyebabkan kerugian bagi negara.

Jika POD terus tertunda, kata Berly, maka secara otomatis bagi hasil untuk pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah akan semakin lama tertunda.

Menurut hitungan dia, setelah blok tersebut berproduksi dan dikurangi cost recovery, pemerintah bisa mendapatkan 45% dari hasil produksi.

Berdasarkan hail kajian lembaga penyelidikan ekonomi dan masyarakat Universitas Indonesia, penerimaan negara yang bisa didapat dari proyek Blok Masela dengan skema FLNG mencapai US$ 51,8 miliar dan pertumbuhan ekonomi sebesar US$ 126,3 miliar.

"Kalau tertunda setahun berarti juga tertunda setahun mendapatkan dana yang cukup lumayan tersebut. Contoh di Kutai Kartanegara saja setiap tahunnya bisa mendapatkan PDB daerah Rp 1 triliun. Berarti kalau semakin ditunda tadinya bisa dapat tahun ini, baru bisa dapat tahun depan atau tahun depannya lagi. belum bicara multiplier effect belum bicara masalah pekerjaan,"ujar Berly kepada KONTAN di Kantor INDEF Jakarta, Senin (29/2).

Belum lagi, Berly khawatir, penundaan pengembangan Blok Masela berdampak pada kepercayaan usaha di Indonesia. Apalagi, Inpex Corporation yang menjadi operator Blok Masela telah berada di Indoensia selama 16 tahun dan telah menanamkan dana investas ebesar US$ 15 miliar.

“Bagaimana dengan investor yang mau masuk yang mungkin menanamkan dana US$ 1 juta atau US$ 5 juta bisa tidak dianggap. Kekuatiran ini juga penting diperhatikan sebagai signal bagi bisnis community,” jelas Berly.

Sementara itu, Kepala Unit Percepatan Proyek Abadi, Ketut Budiartha mengatakan, keekonomian dari proyek Blok Masela akan dikaji ulang pada saat Inpex dan Shell melakukan Final Investment Decision yang ditargetkan bisa dilkakukan pada 2018 mendatang.

"Pada tahun 2018 direview lagi apakah masih layak untuk diteruskan walaupun harga LNG turun sedikit atau investasi naik sedikit. Ternyata keuntungan negara naik karena harga LNG naik atau justru penerimaan negara menurun karena investasi tinggi itu dikaji pada saat FID,"kata Ketut.

Begitu juga jika ternyata FID terlambat dilakukan maka akan dikaji sesuai dengan kondisi saat FID dilakukan. Namun, Ketut menyebut pemerintah juga harus memperhatikan jika pengambilan keputusan terlambat maka akan ada biaya yang harus ditanggung pemerintah.

"Kalau ini kan sudah mundur dari September 2015. Sementara keterlambatan keputusan itu juga ada biayanya, kalau setahun tidak diputuskan ada sekian miliar risiko pendapatan yang hilang," ujar Ketut.

Usman mengamini pendapat Berly dan Ketut. Menurut Usman, Inpex telah melakukan kajian yang mendalam dan sangat panjang untuk melakukan revisi POD I Blok Masela.

Inpex selaku investor telah mencapai kesimpulan bahwa opsi pengembangan lapangan gas Abadi di laut adalah opsi terbaik dari semua sisi baik itu dari sisi keekonomian, keteknikannya, multiplier effect, hingga risiko sosial terkecil.

"Kami berharap pemerintah segera memutuskan atau memberikan persetujuan terhadap usulan rencana pengembangan atau POD yang sudah kami sampaikan yang merupakan revisi POD pertama dulu,” katanya.

Usman menegaskan, sesungguhnya POD Blok Masela yang diajukan Inpex sudah pernah disetujui pemerintah. Karena itu, pihaknya merasa heran jika pemerintah belum juga mengeluarkan POD Blok Masela.

Awal mula kontroversi

Pendapat Usman memang tak bisa dipungkiri. Jika mau jujur, awal mula terciptanya polemik pengembangan Blok Masela, justru berawal dari tindakan pemerintah sendiri.

Pada Juli 2009, masyarakat dihebohkan dengan kabar bahwa rencana pengembangan Blok Masela sudah diteken pemerintah pada awal tahun itu.

Skema pengembangan kilang yang disetujui pemerintah adalah fasilitas kilang terapung (FLNG). Namun, Menteri ESDM saat itu Purnomo Yusgiatoro, buru-buru menyatakan bahwa POD tersebut bersifat sementara.  

Namun, kabar yang menyebutkan bahwa POD Blok Masela menyetujui pengembangan FLNG juga ditegaskan oleh regulator migas ketika itu, yakni BP Migas (sekarang bernama SKK Migas).

Pada awal November 2009, BP Migas mengumumkan telah menyetujui pegembangan Blok Masela melalui fasilitas kilang terapung (FLNG).

Kilang ini akan bertengger di antara riak ombak di Lauta Arafuru, dengan kedalaman laut 400-800 meter. Posisinya 150 kilometer Barat Daya dari Saumlaki, Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku.

Rupanya, pendapat Menteri ESDM dan BP Migas bertolak belakang dengan pernyataan Dirjen Migas Kementerian ESDM ketika itu, yakni Evita Legowo.

Saat itu, Evita menyebutkan bahwa pemerintah baru membuka tender konsultan independen yang akan mengkaji proyek pembangunan kilang LNG di Blok Masela.

Evita berharap konsultan ini memberikan masukan kepada pemerintah agar bisa mengambil keputusan yang terbaik. Dampak dari perbedaan ini, status FLNG pun masih simpang siur. 

“Menerima atau menolak POD kan dilihat dari aspek keekonomian dan keteknikan saja. Tapi laporannya belum sampai ke tangan saya,” kata Evita kepada KONTAN, November 2008 silam.

Aspek keekonomian lapangan Masela, ujar Evita, sangat dipengaruhi oleh lokasi terminal penerima gas alam. Ketika itu, Inpex bersama BP Migas sudah membahas tiga alternatif lokasi penampungan yang paling tepat sehingga harganya menjadi sangat ekonomis.

Pertama, mengambil lokasi di Darwin, Australia. Kedua menggunakan floating LNG yang ditempatkan di Laut Arafuru. Adapaun alternatif ketiga yakni membangun penampungan di pulau terdekat dalam wilayah Indonesia.

“Yang menjadi masalah, receiving terminal gas alam cairnya floating atau di darat. Kalau di Darwin, pemerintah agak keberatan karena bukan wilayah Indonesia sehingga repot mengaturnya,” imbuh Evita.

Toh, setahun kemudian, di bawah Menteri Energi Darwin Saleh, pada Desember 2010, rencana pengembangan Blok Masela disetujui melalui skema FLNG.

Namun, Inpex mengajukan revisi kepada SKK Migas empat tahun kemudian. Alasannya, ada penambahan kapasitas FLNG dari 2,5 juta metrik ton menjadi 7,5 juta metrik ton seiring ditemukannya cadangan baru gas hingga 10,73 triliun kaki kubik.

Sebelumnya, dalam proposal rencana pengembangan wilayah atau PoD, cadangan terbukti Blok Masela hanya 6,05 triliun kaki kubik (tcf) dan kapasitas FLNG 2,5 juta ton per tahun selama 30 tahun. 

Pada 2014 juga ditemukan cadangan baru yang cukup besar di Blok Masela, dari 6.7 tcf menjadi 11.9 tcf. Hal itulah yang kemudian membuat pemerintah segera melakukan kajian untuk mengelola blok tersebut.

Selain mengubah rencana pengembangan, Inpex juga dikabarkan berniat memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Masela yang akan berakhir 2028. Demi memaksimalkan investasinya, Inpex ingin memperpanjang kontrak hingga 2048.

Jadi, boleh dibilang, keputusan pemerintah pada 2009 yang menyatakan bahwa POD tersebut bersifat sementara telah memicu kontroversi awal pengembangan Blok Masela.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Energy and Resources Law, Ryad A Chairil menyatakan, dalam Undang-Undang Minyak dan Gas tidak mengenal persetujuan POD sementara.

Selain itu, langkah pemerintah dapat dianggap melanggar azas transparansi sebagaimana tertuang dalam Pasal 39 beleid tersebut. Sehingga, POD sementara akan membuat preseden buruk dan membuka peluang kontraktor lain untuk mendapat perlakuan serupa.

Untung rugi offshore dan onshore

Pertanyaanya sekarang, apa keputusan final pemerintah terkait pengembangan Blok Masela? Apakah pemerintah menyetujui POD Blok Masela dengan pola offshore atau onshore?

Entahlah. Yang jelas, dua menteri di kabinet Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih silang pendapat terkait dua pola pengembangan Blok Masela tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri ESDM Sudirman Said punya pendapat masing-masing terkait pengembangan Blok Migas dengan pola onshore maupun offshore.

Menurut Rizal Ramli, nilai investasi untuk kilang terapung atau offshore biayanya bisa sekitar US$ 22 miliar. Sementara untuk kilang land based LNG atau onshore hanya menghabiskan investasi US$ 16 miliar.

Rizal Ramli memastikan, Indonesia bisa mengalahkan Qatar dalam pengelolaan gas jika Blok Masela sudah beroperasi.

Menurut Rizal, Blok Masela merupakan ladang gas abadi yang dimiliki oleh Indonesia dengan cadangan gasnya yang bisa bertahan selama 70 tahun ke depan.

“Ladang yang di Masela disebut sebagai ladang abadi, potensinya tidak akan habis 70 tahun. Kalau dikelola dengan baik, kekayaan (gas) ini akan mengalahkan Qatar. Qatar itu hidup dari gas,” kata Rizal.

Rizal menuturkan, negara kaya akan gas dan hidup sukses dari gas adalah Qatar. Indonesia, kata Rizal, bisa menyaingi bahkan melebihi Qatar usai Blok Masela dioperasikan.

Adapun pendapat Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi lebih condong mendukung pengembangan kilang melalui offshore atau lepas pantai.

Menurut Amien, pembangunan fasilitas pengolahan darat justru membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan di laut.

“Ini harus dianalisis dengan baik karena menurut saya kalau onshore ditaruh pipa 600 kilometer juga dananya bisa bengkak jadi US$21 miliar,” katanya.

Sementara itu, berdasarkan kajian LPEM UI, satu tahun keterlambatan proyek Masela dengan skema terapung (FLNG) akan menimbulkan potensi kerugian bagi perekonomian berupa kehilangan PDB senilai US$ 4,2 miliar, pendapatan rumah tangga US$ 0,34 miliar, dan penciptaan lapangan tenaga kerja 22.678 orang.

Sedangkan, manfaat ekonomi dari FLNG dengan perkiraan belanja modal senilai US$ 14,8 miliar adalah menumbuhkan perekonomian (PDB) senilai US$ 126,3 miliar, menghasilkan penerimaan pemerintah 51,8 miliar dolar, meningkatkan pendapatan rumah tangga US$ 11,4 miliar, dan menyerap 657 ribu tenaga kerja.

Sementara, dari sisi maritim, skema kilang terapung Blok Masela memberikan tambahan pendapatan domestik bruto (PDB) senilai US$ 1,8 miliar, pendapatan rumah tangga US$ 563 juta, dan pembukaan lapangan pekerjaan 15.736 orang. 

Soal untung rugi pengembangan Blok Masela di darat atau di laut, Ketua Task Force Pembangunan MTB Connie Rahakundini Bakrie punya hitungan sendiri.

Menurut Connie, Indonesia akan lebih diuntungkan jika pembangunan infrastruktur pada ladang gas abadi Blok Masela, Maluku ditetapkan di laut atau floating LNG (FLNG).

Perbandingan manfaat ekonomi, pembangunan di laut akan menguntungkan US$ 126,3 miliar atau Rp1.717 triliun, dan di darat hanya sekitar US$ 122 miliar atau Rp1.659 triliun (kurs Rp13.600 per US$).

Sedangkan penerimaan pemerintah jika di laut sekitar US$108,8 miliar atau Rp1.479 triliun, dan darat US$ 28,4 miliar atau Rp 386,2 triliun. “Ada extra USD90-an miliar kalau dilakukan terapung,” kata Connie.

Connie menambahkan, Inpex Corporation telah melaporkan akan menyerap sekitar 7.688 tenaga kerja baru jikalau pembangunan infrastruktur gas pada Blok Masela dilakukan sesuai dengan proposal POD FLNG yang diajukan Inpex.

Selain itu, kata Connie, pengembangan gas Blok Masela lebih baik di laut juga karena lebih sedikit membutuhkan lahannya, hanya sekitar 45 hektare. Sementara pipanisasi di darat butuh sekitar 600-800 hektare.

"Membebaskan lahan 50 hektare saja kepala adat berantem. Di darat lebih mahal karena unsur pendukung banyak. Kapasitas produksi sama. Lalu untuk konstruksi, kalau FLNG mulainya tahun 2019, kalau di darat tahun 2021,” tandasnya.

Kini, keputusan POD Blok Masela ada di tangan Presiden Jokowi. Seluruh rakyat Indonesia, terutama masyarakat Maluku menanti keputusan bijak dari Istana.

Perjalanan panjang pengembangan Blok Masela

16 November 1998: Penandatanganan PSC Blok Masela

2000: Lapangan Abadi ditemukan oleh sumur eksplorasi pertama

2008: Sertifikat Lemigas dengan cadangan 6,9 triliun cubic feet

Juli 2009: Kementerian ESDM menyetujui skema FLNG yang bersifat sementar

November 2009: BP Migas mengumumkan pengembangan Blok Masela melalui skema FLNG

Desember 2010: Persetujuan POD I untuk FLNG berkapasitas 2,5 juta ton per tahun

Januari 2012-April 2014: Drilling Sumur Abadi 8,9,10 untuk mengkonfirmasi besar cadangan gas

November 2013: Studi seleksi konsep pengembangan FLNG vs Onshor LNG

September 2014: Inpex mengajukan surat usulan revisi PoD I ke SKK Migas bahwa konsep FLNG 2,5 juta ton per tahun tidak lagi ekonomis dengan temuan cadangan gas yang lebih besar lagi di Lapangan Abadi.

Juni 2015: Penyerahan draf revisi POD I

April 2015: Pengajuan revisi PoD I dengan konsep FLNG berkapasitas 7,5 juta ton per tahun ke SKK Migas.

Maret 2015: Sertifikat Lemigas yang mengkonfirmasi cadangan gas 55% lebih besar dari tahun 2008 yaitu 0,7 tcf

9 September 2015: SKK Migas menyerahkan keputusan revisi PoD I Lapangan Abadi dengan konsep FLNG berkapasitas 7,5 juta ton per tahun ke Menteri ESDM Sudirman Said.

Selama Sep 2015 Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli meminta kajian FLNG dibatalkan.

6 Oktober 2015: Menteri ESDM dan SKK Migas mencari konsultan independen menilai konsep FLNG vs Onshore LNG.

9 Oktober 2015: Menteri ESDM menunjuk Poten and Patners untuk mengkaji FLNG atau Onshore LNG.

Desember 2015: Poten and Patners merekomendasikan memakai FLNG

Januari-Maret 2016. Presiden Jokowi mengambilalih keputusan apakah FLNG atau Onshore LNG dan sampai kini tak jelas keputusan pastinya. Inpex mengancam mengurangi 40%karyawan.

Sumber: Riset KONTAN diolah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×