Reporter: Agus Triyono, Hendra Gunawan, Noverius Laoli | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Indonesia tengah darurat asap. Saat ini asap dari kebakaran hutan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan sudah hampir melumpuhkan kegiatan ekonomi di kedua kawasan tersebut.
Menurut Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 65% udara Sumatera tertutup asap.
Hingga Sabtu (12/9) pekan lalu, terdeteksi masih ada 833 titik panas di Sumatera. Di mana 621 titik panas terkonsentrasi di Sumatera Selatan, Jambi 100, Bangka Belitung 45, Lampung, 25, Riau 14, Bengkulu 10, Sumatera Barat 12, Kepulauan Riau 5.
Sedangkan di Kalimantan terdapat 353 hotspot yaitu Kalimantan Selatan 110, Kalimantan Tengah 107, Kalimantan Timur 130, Kalimantan Barat 1, dan Kalimantan Utara 5.
Untuk memadamkan api di sejumlah titik kebakaran di enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan itu pemerintah telah mengerahkan 20 pesawat untuk menciptakan hujan buatan dan pengeboman air.
20 pesawat tersebut berasal dari BNPB berupa pesawat Casa C-212 Aviocar dan pesawat Air Tractor yang disewa oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari Australia.
Kebakaran hutan ini diduga dilakukan oleh perusahaan sawit. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, dugaan tersebut didasarkan pada pemeriksaan di lapangan, pengamatan udara dan foto koordinat lokasi kebakaran.
Dari hasil tersebut diketahui bahwa lokasi kebakaran berada di sekitar lokasi perkebunan perusahaan kelapa sawit.
Siti mengatakan, berdasarkan hasil penelusuran sementara, setidaknya ada 18 perusahaan kelapa sawit yang diduga terlibat pembakaran hutan. Perusahaan tersebut, dua berada di Sumatera Selatan, dua di Riau, Kalimantan Barat tujuh, dan Kalimantan Tengah sebanyak tujuh perusahaan.
"Dari jumlah tersebut, ada perusahaan besarnya," kata Siti tanpa mengungkapkan secara rinci ke-18 perusahaan yang dimaksud.
Ia hanya mengatakan, pihaknya akan berusaha memverifikasi dugaan awal tersebut. Jika hasil verifikasi tersebut akhirnya perusahaan kelapa sawit tersebut benar- benar terbukti membakar hutan, pihaknya akan menjatuhkan sanksi tegas.
Tak ada jaminan sanksi sepadan
Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto meminta penegak hukum agar tidak takut dalam mengusut pelaku di balik kebakaran hutan. Menurutnya, 99% kebakaran hutan sudah jelas-jelas itu disengaja.
Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia (Polri), sejak Januari 2015 hingga saat ini sudah ada 76 tersangka pembakaran hutan.
Namun, meskipun banyak pasal dengan sanksi pidana yang cukup berat, tapi ketika di pengadilan, vonis yang diberikan justru berbanding terbalik. Ada yang di vonis ringan hingga dibebaskan dari dakwaan.
Misalnya saja, vonis bebas terdakwa kasus pembakaran hutan dan lahan seluas 3.000 hektare di Kabupaten Kepulauan Meranti. Mereka antara lain General Manager (GM) dan Kepala Cabang PT Nasional Sago Prima (NSP), Erwin, dan Manager PT NSP, Nowa Dwi Priyono.
Mereka divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis, Riau pada Januari 2015 lalu. Padahal PT NSP jelas-jelas terbukti bersalah membakar lahan tersebut.
Erwin dituntut penjara enam tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar dengan subsider enam bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum. Sedangkan Nowa Dwi Priyono dituntut hukuman 1,5 tahun penjara dengan denda sebesar Rp 1 miliar dengan subsider enam bulan penjara.
Sementara itu Direktur Utama PT NSP Eris Ariaman dinyatakan bersalah dan dikenai denda hanya Rp 2 miliar.
Saat ini baru satu kasus yang di vonis dengan hukuman denda besar. Kasus itu adalah pembakaran hutan yang dilakukan oleh PT Kallista Alam. Oleh Mahkamah Agung perusahaan pembakar hutan ini didenda Rp 366 miliar. Tanah dan aset PT Kallista Alam juga disita.
PT Kallista Alam diketahui membakar hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pada pertengahan 2012 lalu. Gugatan lantas dilayangkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup yang dikuasakan kepada Jaksa Agung Basrief Arief dengan surat kuasa khusus Nomor 01/MEN.LH/09/2012 tertanggal 18 September 2012.
Dan pada 28 November 2013, Pengadilan Negeri (PN) mengabulkan gugatan dan menghukum PT Kallista Alam dengan memberikan denda Rp 366 miliar dan menyita tanah seluas 5.769 hektare di Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok, Kecamatan Darul Makmus, Aceh Barat dengan sertifikat HGGU No 27. Lahan yang terbakar seluas 1.000 hektare pun dilarang digunakan untuk usaha budidaya perkebunan sawit.
PT Kallista Alam mengajukan banding atas putusan tersebut namun Pengadilan Tinggi Banda Aceh menolak permohonan. Akhirnya PT Kallista Alam mengajukan kasasi, yang juga ditolak oleh Mahkamah Agung. Perkara ini masuk pada 3 Maret 2015 dan divonis pada 28 Agustus 2015.
Vonis terhadap PT Kallista Alam tersebut tampaknya harus menjadi acuan bagi pengadilan untuk menghukum para tersangka pembakar hutan lainnya. Dengan begitu diharapkan bisa memberikan efek jera kepada pelaku.
Revisi aturan bakar lahan
Saat ini pemerintah tengah mempertimbangkan untuk merevisi UU Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengolahan lingkungan hidup. Sebab beleid itu ditengarai menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan selama 18 tahun terakhir.
Dalam UU ini masyarakat dibebaskan membakar lahan maksimal 2 hektare (ha). Itu terdapat dalam penjelasan Pasal 69 ayat 2 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Kenyataannya pembakaran kerap tak terkontrol sementara kewajiban membuat sekat bakar tak dilakukan yang membuat api merembet kemana-mana," ujar Siti Nurbaya, akhir pekan lalu.
Menurut Siti, alternatif membakar untuk membuka lahan dikarenakan cara tersebut sangat murah dan terjangkau oleh masyarakat. Jika menggunakan peralatan mekanis, dana yang dibutuhkan untuk membuka lahan bisa mencapai Rp 5 juta per hektare. “Kalau dibakar paling hanya ratusan ribu rupiah untuk lahan berhektare-hektare,” imbuhnya.
Sebagai solusi, pemerintah akan menyiapkan skema-skema insentif bagi masyarakat yang tidak membakar lahan. Skema tersebut misalnya dengan menyediakan pembiayaan tanpa bunga atau membantu pembukaan lahan secara mekanis. “Insentifnya seperti apa nanti akan didetilkan,” janji Siti.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Irysal Yasman menyambut positif rencana revisi UU tersebut. Dia juga menyarankan agar ketentuan hukum di bawahnya, seperti peraturan daerah, yang masih membolehkan masyarakat untuk membuka lahan dengan cara dibakar ikut direvisi.
“Adanya ketentuan yang membolehkan masyarakat membakar kontraproduktif dengan upaya pencegahan kebakaran,” katanya.
Irysal juga berharap pemerintah bisa meningkatkan kepastian lahan dan mendorong penyelesaian lahan-lahan sengketa. Sengketa lahan tersebut antar perusahaan, warga dengan perusahaan, ataupun warga dengan warga.
Pasalnya, lahan sengketa menjadi wilayah yang kerap menjadi awal munculnya api yang berimbas pada kebakaran di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikelola perusahaan, “Biasanya lahan yang disengketakan ini sengaja dibakar oleh oknum,” ujarnya.
Rugi lebih besar
Seperti diketahui bahwa kebakaran hutan yang menjadi agenda tahunan ini sangat merugikan berbagai industri. Mulai dari industri penerbangan, pariwisata, hingga aktivitas warga di kawasan tersebut.
Saat ini ada 15 bandara yang terpapar oleh asap. Tidak sedikit bandara yang memilih berhenti beroperasi sementara waktu demi faktor keselamatan.
Begitu pun dari sektor wisata. Asosiasi Biro Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) mengemukakan kabut asap telah menimbulkan kerugian hingga mencapai miliaran rupiah setiap hari di sektor pariwisata.
"Jumlah kunjungan turis ke Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan yang dilanda kabut asap mencapai 5.000 orang setiap hari, kalau satu orang berbelanja Rp 1 juta maka dunia pariwisata kehilangan uang Rp 5 miliar per hari," kata Ketua Umum Asita Asnawi Bahar.
Ia khawatir, akibat kabut asap, target kunjungan 10 juta wisatawan mancanegara ke Tanah Air tidak tercapai. Tidak hanya itu, target kunjungan wisata domestik sebanyak 275 juta perjalanan juga akan sulit tercapai dalam kondisi seperti ini.
Tak hanya pariwisata dalam negeri, industri pariwisata negeri tetangga seperti Singapura dan Malaysia pun ikut terpapar. Tak heran, ketika asap mulai memasuki wilayah udara Singapura, buru-buru pemerintah negeri Singa itu menawarkan bantuan untuk memadamkan api di Sumatera dan Kalimantan. Mereka pun tak ingin pemasukan dari industri pariwisata ikut menguap bersama asap.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menghitung, untuk provinsi Jambi saja, kerugian finansial yang diderita nilainya mencapai Rp 7 triliun hingga awal September 2015. Kerugian tersebut baru dihitung dari kerugian lingkungan, belum indikator lainnya.
Itu baru dari Jambi, belum provinsi yang lain. Seperti diketahui, darurat asap yang terjadi meliputi enam provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News