kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45997,15   3,55   0.36%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Arab Saudi lebih butuh Indonesia


Jumat, 03 Maret 2017 / 22:01 WIB
Arab Saudi lebih butuh Indonesia


Reporter: Adi Wikanto, Handoyo | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Sesuai jadwal, Raja Arab Saudi Salman Abdulaziz Al Saud beserta rombongannya akhirnya mendarat di Indonesia, Rabu (1/3) siang. Hingga hari ini (Jumat (3/3), Raja Salman dan rombongan sudah melakukan beragam kegiatan kenegaraan.

Salah satu yang penting dan ditunggu-tunggu pemerintah adalah penandatanganan nota kesepahaman kerjasama dua negara. Istana Bogor pun menjadi saksi, sebanyak 11 nota kesepahaman pun ditandatangani perwakilan kedua negara.

Mulai dari peningkatan pimpinan sidang komisi bersama, kerjasama budaya, pengembangan usaha kecil menengah antar negara, pengembangan kesehatan, teknologi hingga masalah haji.

Nah, salah satu yang menonjol adalah kerjasama proyek refinery development masterplan program (RDMP) Cilacap antara Pertamina dan Saudi Aramco senilai US$ 6 miliar. Arab Saudi juga berkomitmen memberi pinjaman lewat Saudi Fund Contribution to The Financing of Development Project senilai US$ 1 miliar.

Total nilai komitmen atas kerjasama investasi itu senilai US$ 7 miliar atau Rp 93,1 triliun (kurs US$ 1 setara Rp 13.300). Ini memang cukup besar, tapi sebenarnya mengecewakan.

Mengingat, desas-desus sebelum kedatangan, Sang Raja diperkirakan akan membawa dana US$ 25 miliar atau setara Rp 332,5 triliun untuk ditanam di Indonesia. 

Namun sebenarnya, berkaca dari sejarah, Indonesia memang bukan tujuan investasi bagi Arab Saudi. Malahan, banyak pihak meyakini kedatangan Raja Salman adalah bagian dari strategi manajemen pemasaran untuk ekspansi bisnis minyaknya.

Terhantam Minyak

Wajar saja, sudah dua tahun ini bisnis minyak lesu darah akibat harga yang ambrol. Padahal minyak adalah motor utama penggerak ekonomi Arab Saudi.

Harga minyak tahun 2015 rontok ke level US$ 49,49 per barel, padahal tahun sebelumnya sempat menembus di atas US$ 100 per barel. Tak ayal, perekonomian Arab Saudi pun terhantam dan hanya bisa tumbuh 3,48%.

Tahun 2016 pun semakin sengsara karena rata-rata harga minyak hanya US$ 40,76 per barrel. Arab Saudi mendapatkan pertumbuhan ekonomi 1,4%.

Lesunya bisnis minyak telah mendorong pemerintah Arab Saudi mengetatkan ikat pinggang. Gaji pegawai pemerintah dipotong dan subsidi juga dikurangi. Kendati demikian, defisit tetap membengkak mencapai 15 persen PDB. Utang pemerintah pun terus menumpuk menjadi 5,9 persen PDB.

Penerimaan negara dari minyak anjlok, anggaran negara minus hingga 15% mencapai US$ 98 miliar tahun lalu dan tahun ini diperkirakan US$ 87 miliar atau mencapai Rp 1.200 trilun.

"Arab Saudi memang masih kaya, tapi dengan minyak yang masih lemah, mereka harus mencari pelampung penyelamat dalam rangka menahan Arab Saudi dari turbulensi, mencari pembeli tetap dari minyak mereka dalam jangka panjang," kata Pengamat dan Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng kepada Tribunnews.com.

Nah, Indonesia adalah tujuan tepat bagi ekspansi pasar Arab Saudi. Sebagai negara yang masuk kelompok G20 dan pertumbuhan ekonomi tiap tahun di atas 5% (kecuali 2015), kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia selalu meningkat.

Disisi lain, produksi dalam negeri tak mampu mencukupi kebutuhan BBM domestik. Kebutuhan minyak mentah di Indonesia diperkirakan 1,5 juta barel per hari, tapi produksi dari dalam negeri hanya sekitar separuhnya. Produksi minyak mentah pun terus menyusut dari tahun ke tahun.

Sumber: Kementerian ESDM

Sumber: Kementerian ESDM

Obat ekonomi

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro pun sependapat, lawatan Arab Saudi ke sejumlah negara di Asia, termasuk ke Indonesia adalah mencari obat ekonomi. Selama ini, Arab Saudi lebih banyak menjual minyak ke Eropa dan Amerika Serikat, tapi dengan pelambatan ekonomi di Eropa dan shale oil di AS yang lebih murah, Asia adalah obat.

"AS yang menjadi pasar minyak mentah bagi Arab Saudi kini sudah bisa mencukupi kebutuhan sendiri," kata Komaidi seperti dikutip Kompas.com.

Di sisi lain belakangan ini impor minyak Indonesia dari Arab Saudi juga melemah. Sebagai raja minyak, tentu Arab Saudi ingin meningkatkan penjualan minyak ke Indonesia.

"Mungkin akan ada relokasi. Yang selama ini minyak mentah dibawa ke AS, akan dibawa ke Indonesia," imbuh Komaidi.

Sumber: Kementerian ESDM

Namun, apapun yang terlihat selama tiga hari ini, Presiden Joko Widodo berharap, kerjasama Indonesia dan Arab Saudi semakin erat pada mendatang. Indonesia diharapkan bisa menjadi mitra strategis bagi Arab Saudi pada tahun yang akan datang.

"Kunjungan Sri Baginda Raja ini menjadi titik tolak bagi peningkatan hubungan Indonesia dan Arab Saudi yang dipersatukan oleh Islam oleh persaudaraan dan hubungan yang saling menguntungkan," kata Jokowi, di Istana Bogor, Rabu (1/3).

Menurut Jokowi, Arab Saudi adalah mitra terpenting di kawasan Timur Tengah, baik hubungan antara masyarakat maupun hubungan ekonomi dan politik. Jokowi yakin Indonesia dapat jadi mitra strategis dalam visi 2030 Arab Saudi melalui kerjasama atara sesama negara muslim.

Meski tak menjanjikan angka kongkrit, Raja Salman juga mengutarakan hal yang sama. Saat berpidato singkat di DPR, Raja Salman juga mengharapkan, kunjungan kenegaraan ini bisa meningkatkan kerjasama dua negara. 

"Ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kerja sama di seluruh bidang yang diharapkan dapat memberi manfaat bagi kedua bangsa kita yang bersahabat" kata Salman.

Komaidi mengatakan, ini nantinya akan tampak dari investasi apa yang menjadi kecenderungan Arab Saudi di Indonesia. Investasi di hulu migas di Indonesia jelas lebih mahal dibandingkan investasi di hulu migas di negara-negara Teluk.

Oleh sebab itu, Komaidi hampir yakin Arab Saudi akan banyak bermain di proyek hilir, seperti kilang minyak. Kalaupun ada sektor lain, barangkali salah satunya pariwisata.

"Indonesia sekalian jadi pasar produk minyak mentah mereka. Selama ini kan mereka ke Eropa dan AS. Sementara saat ini AS sudah bisa mandiri, maka mungkin ini adalah relokasi. Yang selama ini minyak mentah dibawa ke AS, akan dibawa ke Indonesia," imbuh Komaidi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×